Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MOTOR BARU
Pulang kantor, aku kaget karena ada sebuah motor gede terparkir di depan kontrakanku. Semakin dekat dengan kontrakan ternyata Mas Akbar, dan sedang mengelap tatakan motor.
"Motor siapa?" tanyaku datar. Hampir seminggu setelah kita bertengkar via chat perkara sepupu menikah, aku dan dia tak berkomunikasi. Palingan dia sudah tak tahan untuk menyalurkan hasrat makanya dia datang ke kontrakan. Sayangnya, aku sedang datang bulan juga. Aku pastikan malam ini tak ada acara mendesah.
"Motorku lah," jawabnya angkuh. Hanya kujawab Oh saja, lalu kubuka pintu kontrakan. "Keren gak?" tanyanya sumringah.
"Keren," jawabku datar, sembari melepas baju kerja dan segera mandi.
"Kok kamu jawabnya gitu, gak suka kalau suami kamu beli motor baru?" tanyanya saat aku hendak masuk ke kamar mandi. Menghela nafas sabar memupuk rasa sabar setengah mati, agar tidak menimbulkan pertengkaran.
"Aku biasa saja, Mas. Ya udah tiap hari juga pasti ada yang beli motor baru kan," ujarku sewajar mungkin.
"Ya gini nih, yang bikin aku gak betah sama kamu. Selalu saja tidak menghargai pencapaianku."
"Kamu maunya aku gimana? Wao keren, motor kamu bagus banget, begitu kah? Sedangkan aku jadi istri kamu saja gak pernah kamu kasih uang bulanan. Selama ini aku tidak seperti istri loh, apa-apa sendiri. Niat gak sih kamu menjalin rumah tangga sama aku."
"Kamu bego. Sudah berapa kali aku bilang, kamu punya uang, kamu kerja, ya ngapain aku kasih uang bulanan, sedangkan kamu saja enggak pernah melayani aku layaknya istri mengambilkan nasi buat suami, setrika baju, nyuci baju. Kodrat perempuan itu di kasur, sumur dan dapur, bukan kantor!"
Handuk ku simpan lagi, aku berkacak pinggang menatap dia, bakal aku lawan sekarang. Sudah muak rasanya aku menghadapi suami yang kabel merah otaknya konslet. "Dengar ya, Mas. Dengar baik-baik. Kodrat perempuan itu ada empat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, selebihnya sama dengan laki-laki. Ya ngaca aja kenapa aku gak bisa melayani kamu, kamu lebih suka ngetek sama ibu kamu, daripada hidup berdua bareng istri. Kalau kamu kasih alasan kontrakan di sini kecil, ya kamu cari kontrakan yang lebih gede kek. Namanya rumah tangga itu hanya istri dan suami, bukan istri dengan keluarga suami. Sekarang kamu bisa beli motor di atas 40 juta, tapi kasih nafkah pada sang istri 1% saja dari harga motor itu, kamu gak sanggup. Setidaknya buat makan istri kamu. Enggak sama sekali. Terus kamu dilayani seperti raja, tolong pakai otak ya. Justru seorang raja tidak akan pernah menyuruh ratunya ribet dengah urusan rumah tangga, hanya diminta untuk melayani hasratnya saja. Sekarang kamu menganggap dirimu raja atau bos pada ku?"
Akbar diam, mungkin tak bisa berkata apa-apa juga. Dulu saat pacaran saja dia masih bisa mengajak makan, tapi pernikahan hampir 5 bulan, sekali saja dia tak pernah mengajakku makan. Ah sudahlah, percuma menuntut karena ujung-ujungnya dia akan kasih ultimatum, soal pekerjaan. Lebih baik aku mandi, agar badanku segar, dan otakku pun tenang.
Selama aku mandi, terdengar suara seseorang menutup pintu, pasti Mas Akbar keluar. Merasa tersindir dengan ucapanku mungkin biar sajalah.
Aku pun menggoreng telor untuk makan malam, aku campur dengan beberapa sayur kujadikan omelet begitulah. Sembari makan malam, kubuka ponsel, ternyata Mas Akbar mengirim pesan sebelum aku pulang tadi.
Ayo ajak aku kencan pakai motor baru.
Aku habis beli motor, tapi credit sih.
DP pakai tabunganku, 20 juta.
Cicilan per bulan 970ribu.
Aku tersenyum saja, apa maksudnya coba kasih rincian begini, rincian gaji aja gak pernah dikasih tahu, tapi kalau cicilan dengan inisiatif kasih tahu. Mungkin biar aku gak menuntut nafkah, karena uangnya habis buat cicilan motor gitu kali ya.
Mahal ya, terus nafkah aku jadinya berapa? Udah 5 bulan loh aku gak kamu kasih nafkah.
Gak bakal aku kasih nafkah selagi kamu kerja.
Wah. Kalau aku gak bekerja, emang cukup ya kita makan pakai sisa gaji kamu.
Kamu emang Bangsat!!!
Aku tertawa ngakak, sangat suka kalau mas Akbar marah begini. Chat ini langsung aku screenshoot, aku masukkan ke dalam drive dan aku buatkan folder khusus sebagai bukti tertulis kalau memang dia tak pernah menafkahiku.
Berhadapan dengan orang seperti Mas Akbar, harus ada bukti nyata biar tidak bisa mengelak kalau perbuatannya salah. Maka, sekarang aku akan pakai otakku untuk melawannya, karena aku sudah muak menjadi istrinya. Oke, aku akan bertahan, sembari mengumpulkan bukti yang cukup agar aku bisa menggugat dia ke pengadilan.
Semakin hari aku semakin jauh dengan Mas Akbar, dia sudah tak pernah ke kontrakan lagi. Aku juga tak mencari, bebas sekali pulang pergi untuk kerja dan ke rumah ibuku. Sungguh aku serasa seperti jomblo tanpa aturan dari Mas Akbar. Ternyata lega juga ya hidup bebas dari Mas Akbar, tahu gini aku sudah gak nikah dan putus saja saat pacaran.
Cuma kembali lagi pada sebuah pilihan, aku belum cukup tangguh saat itu bila memutuskan Mas Akbar. Khawatir dia bunuh diri, aku akan terseret juga. Sedangkan kalau sekarang aku cerai, mungkin dia sadar kalau hidup denganku itu ribet dan tak cocok dengan dirinya.
Suami kamu ya, Mir? Sebuah pesan masuk di jumat sore, aku sedang berada di parkiran motor, menyempatkan buka ponsel dulu sebelum memakai jas hujan. Pesan itu dikirim oleh Dika, teman kuliahku.
Iya. Jawabku tak perlu kepo dengan apa yang dilakukan Mas Akbar saat itu.
Keren ya kamu, meski jadi istri tak membatasi suami untuk menyalurkan hobi touring, padahal ini agak lama loh, minggu sore baru pulang.
Lihatlah, aku tak perlu mencari tahu aktivitasnya, ada saja yang memberi tahu, Dika sama dengan Melda yang menolak keras aku pacaran dengan Mas Akbar saat itu. Menurut Dika sesuai dengan kaca mata cowok, Mas Akbar dinilai cowok egois yang gak perhatian sama cewek. Nah, Dika juga heran aku mau sama dia. Hufh, biasalah manusia akan ada masa bodohnya, dan pacaran sampai menikah dengan Mas Akbar adalah kebodohan terbesarku.
Suka-suka dia lah, Dik. Yang penting selamat. Balasku cuek, ya memang suka-suka Mas Akbar, yang penting dia tidak merepotkanku.
Yoi. Dia mah terlihat sayang sama kamu banget, semua yang touring ada yang bawa pasangan, tapi dia gak mau kamu capek kali ya, makanya kamu gak diajak.
Aku tak paham, Dika ini sedang menyindir karena aku gak diajak, atau memang memuji suamiku yang sangat melindungiku. Ah terserahlah, lagian kalau aku sampai diajak touring juga gak mungkin, dia mah gak suka aku ikut campur urusannya.
Ya semoga selamat saja, batinku santai.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.