Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 13
Hampir lima menit Zahira menangis tanpa henti. Setelah ibunya mengusap-usap pundaknya dengan lembut, barulah ia merasa sedikit lega. Memang seperti itulah ibunya—selalu mampu memberi ketenangan saat hatinya terluka.
“Minumlah, Nak. Tenangkan dirimu dulu,” ucap Edi lembut, suaranya penuh kasih sayang yang tulus, mencoba meredakan gejolak di hati putri sulungnya.
Zahira merasa beruntung—di tengah semua luka dan kegagalan yang ia bawa pulang, ayah dan ibunya tetap menyambutnya dengan penuh kasih. Tak ada amarah, tak ada cemooh. Hanya pelukan dan ketulusan.
Namun mendadak, rasa bersalah menyelinap dan menghimpit dadanya. Dua puluh tahun menikah dengan Hendro, nyatanya tak memberi perubahan apa pun pada kondisi rumah orang tuanya.
Padahal, rumahnya di Jakarta begitu megah. Ia bisa saja membangun rumah terbesar di desa ini, memberi kenyamanan bagi bapak dan ibunya di masa tua. Tapi nyatanya, ia terlalu sibuk mengabdi pada keluarga suaminya, hingga lupa bahwa ia pun masih punya kewajiban sebagai anak.
Kesadaran itu menyakitkan—dan menyesakkan.
Selama 20 tahun pernikahannya, Zahira bisa menghitung dengan jari berapa kali Hendro benar-benar memberikan uang untuk orang tuanya. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, tak sepeser pun ia mampu mengirimkan bantuan. Padahal, jika dibandingkan dengan kedua adiknya, taraf ekonomi Zahira yang paling tinggi.
Namun apa daya, itu semua adalah uang suaminya. Zahira tidak pernah diberi kuasa atas penghasilan Hendro. Selama berumah tangga, ia hanya diberi uang secukupnya—untuk belanja dapur, kebutuhan anak, dan keperluan rumah tangga lainnya.
Tak ada ruang untuk menyisihkan, apalagi memberi. Keinginan untuk membantu orang tua hanya bisa dipendam dalam diam, tertahan oleh sistem yang mengikatnya sebagai istri yang bergantung penuh pada suami. Kini, penyesalan itu datang—menamparnya ketika ia menyadari betapa sedikit yang telah ia berikan, sementara cinta orang tuanya tak pernah berkurang sedikit pun..
“Bu… Pak…” ucap Zahira lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar di dadanya.
“Aku… bercerai dengan Mas Hendro,” lanjutnya pelan, menunduk, seolah tak sanggup menatap wajah kedua orang tuanya.
Keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Waktu seolah berhenti, menyisakan detak jantung Zahira yang berpacu kencang. Ia tahu kata-kata itu akan mengubah banyak hal—dan ia siap menanggung segala risikonya, meski itu berarti kehilangan kehormatan di mata keluarganya. Tapi ia tak bisa lagi berpura-pura kuat. Hari ini, ia memilih jujur… dan pulang apa adanya.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka.
Kret... kret...suara lantai bambu mengerang saat seseorang berlari masuk dengan langkah cepat dan tak sabar.
Zahid, dengan dada telanjang dan napas sedikit tersengal, langsung memeluk Zahira erat. Tanpa aba-aba, ia mencium kening dan pipi kakaknya berulang kali, seperti anak kecil yang baru saja diberi kabar gembira.
Zahira terdiam. Ini seperti melihat Zahid versi sepuluh tahun yang lalu—adik kecilnya yang dulu manja dan selalu lengket padanya, kini telah tumbuh menjadi pria dewasa bertubuh kekar, tapi dengan tingkah laku yang tak berubah.
“Horeee… Yes! I love you, Kakakku!” seru Zahid sambil tertawa terbahak-bahak. Ia mencium pipi Zahira sekali lagi, lalu keluar rumah begitu saja, seolah tak terjadi apa-apa.
Zahira hanya bisa terpaku.
Apa-apaan ini? batinnya.
Kenapa adiknya begitu senang mendengar kabar bahwa rumah tangganya hancur?
Ia menghela napas panjang. Luka yang tadi mulai mereda kembali menganga. Ternyata, saudara sedarah pun tak selalu menjadi tempat bersandar. Empati yang ia harapkan tak datang, justru yang muncul adalah tawa—seakan kehancuran hidupnya adalah lelucon atau bahkan kemenangan kecil bagi mereka.
Zahira menunduk, menahan perih di dada. Ia benar-benar pulang dalam keadaan hancur… dan sendirian.
Belum juga reda rasa kesal dan keterkejutan Zahira atas sikap Zahid, tiba-tiba Zaenab dan adiknya itu datang kembali. Zaenab menyerahkan anaknya kepada Yusni, lalu tanpa banyak bicara, memeluk Zahira erat. Tapi berbeda dengan Zahid yang penuh canda, pelukan Zaenab disertai tangis—bukan tangis sedih, melainkan tangisan haru.
Tangisan yang mengingatkan Zahira pada momen puluhan tahun lalu, saat Zaenab memeluknya karena bangga melihat kakaknya menjuarai lomba puisi tingkat kabupaten.
“Alhamdulillah… kita harus merayakan ini,” ucap Zaenab sambil tersenyum di tengah isaknya.
Zahira mengerutkan dahi, benar-benar bingung. Apa-apaan ini? Kenapa kedua adiknya justru tampak gembira mendengar kabar perceraiannya?
“Kenapa kalian begitu senang mendengar aku bercerai?” tanyanya heran, nada suaranya campuran antara marah dan bingung.
“Hahaha! Bagaimana kami nggak senang? Akhirnya kakakku yang paling cantik ini bebas dari keluarga sombong itu!” ucap Zahid lantang, penuh semangat.
“Iya! Akhirnya Kakak sadar juga! Kami… kami sangat senang sekali!” sambung Zaenab sambil menghapus air matanya, yang kini bercampur dengan tawa kecil.
Zahira menatap mereka dengan wajah kesal. “Kalian benar-benar adik-adik tak berakhlak,” ucapnya, nyaris tak percaya.
Namun bukannya marah, kedua adiknya malah tertawa terbahak-bahak.
Tawa yang begitu lepas. Tawa yang nyaris dua puluh tahun tak pernah terdengar di rumah itu.
Dan meskipun hatinya masih terluka, Zahira tahu… mungkin, di balik cara mereka yang aneh, terselip cinta yang tak pernah benar-benar pergi.
“Kenapa kalian senang mendengar aku bercerai?” tanya Zahira dengan nada bingung sekaligus terluka.
Zaenab dan Zahid saling pandang, lalu menoleh ke arah kedua orang tuanya. Edi mengangguk pelan, seolah memberi restu agar kebenaran akhirnya diungkapkan.
“Karena keluarga Mas Hendro… benar-benar nggak menghargai kita sebagai keluarga, Ka,” ucap Zaenab lirih.
“Maksud kalian?” tanya Zahira, dahinya berkerut, perasaannya tak menentu.
Zaenab menghela napas panjang, lalu mulai bercerita sambil menahan isak, “Dulu waktu Kakak melahirkan Angga dan Anggi, kami jauh-jauh datang dari desa ke kota. Kami ingin menyaksikan kelahiran keponakan kami. Tapi apa yang kami terima? Mereka malah mengusir kami. Kami nggak pernah minta apa pun, Ka… tapi ibu mertua Kakak bilang dia menyesal punya besan orang kampung. Bapak dan Ibu juga diusir. Katanya, kami nggak pantas berada di rumah mereka.”
Zahira terdiam, matanya membesar. Perlahan, potongan-potongan sikap dingin adik-adiknya yang selama ini membingungkannya mulai menyatu, membentuk gambaran yang jelas.
“Bahkan… Angga dan Anggi terang-terangan malu mengakui aku sebagai pamannya,” sambung Zahid dengan nada geram, matanya berkaca-kaca.
Zahira menunduk, hatinya terasa remuk. Ia baru mengetahui semua fakta ini, setelah bertahun-tahun hidup dalam kebohongan yang dibungkus rapi oleh senyuman.
“Kenapa kalian nggak pernah cerita ke aku?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.
“Karena Bapak dan Ibu melarang,” jawab Zaenab. “Mereka takut mengganggu kebahagiaan Kakak. Soalnya waktu itu Kakak kelihatan bahagia banget dengan keluarga Kakak.”
Zahira menoleh ke arah kedua orang tuanya. Edi kembali mengangguk pelan, wajahnya tenang tapi dalam sorot matanya ada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Zahira terdiam. Luka hatinya makin dalam. Ternyata, selama ini ia tak hanya kehilangan dirinya… tapi juga kehilangan waktu, keluarga, dan kepercayaan yang tak pernah ia sadari telah dikorbankan.
“Zahira, kamu ke sini naik apa?” tanya Yusni dengan nada heran.
Zahira terbelalak, lalu menepuk jidatnya sendiri. “Aduh!” serunya panik. “Zahid! Cepat panggil Bang Adit! Dia pakai jaket ojek, bawa motor NMAX, aku tinggalin di pos ronda! Dia yang nganterin aku ke sini!”
Mendengar itu, Zahid langsung menatap kakaknya dengan ekspresi kaget dan geli.
“Astaga, Kakak ini bener-bener nggak punya akhlak!” serunya sambil tertawa, lalu berlari cepat ke arah pos ronda.
Sementara itu, Zahira hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, separuh malu, separuh geli sendiri. Setelah semua kejadian dramatis pagi itu, ia bahkan lupa kalau Adit—teman lamanya yang setia—masih menunggu di luar rumah, dalam dingin dan sepi.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.