Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Selesai mandi, Sani mengoleskan body lotion ke beberapa bagian tubuh, memakai bathrobe lalu menyemprot parfum di tempat-tempat yang semestinya. Tak lupa, memakai lipbalm agar bibirnya terlihat segar dan berwarna pink alami. Rambutnya yang basah, sudah ia sisir rapi. Belum ngapa-ngapain sudah keramas, ya mau gimana lagi, rambutnya yang kaku karena hairspray, harus dikeramas.
Setelah merasa penampilannya sempurna, Sani keluar dari kamar mandi. Bathrobe yang panjangnya hanya sepaha tersebut, menutupi tubuhnya yang tak pakai apa-apa. Bibirnya menyunggingkan senyum, namun senyuman tersebut seketika lenyap melihat Yusuf berpakaian rapi.
"Kamu mau kemana?" kening Sani mengernyit, berjalan menghampiri Yusuf yang sedang mengancingkan lengan kemejanya.
"Maaf ya Sayang, aku harus pergi," Yusuf tampak terburu-buru.
"Pergi? Pergi gimana maksudnya?" Jujur, Sani bingung dengan situasi ini.
"Aku harus ke Solo sekarang."
"Sekarang!" Sani sampai melongo.
"Iya, sekarang. Ada masalah dengan anak perusahaan disana, dan besok pagi ada rapat dadakan. Urgen banget."
"Ta-tapi apa harus malam ini juga berangkatnya?"
"Iya, besok pagi aku sudah harus sampai disana." Yusuf berjalan ke arah cermin, lalu merapikan rambutnya.
"Kenapa gak naik pesawat besok pagi aja?"
"Irene bilang gak ada tiket untuk besok pagi. Jadi kami pergi dengan mobil malam ini," Yusuf menatap Sani dari cermin.
"Bersama Irene?" kening Sani kembali mengkerut.
Yusuf menghela nafas panjang, membalikan badan lalu mendekati Isani. "Emang kenapa? Biasanya kan aku juga selalu sama kamu kemana-mana, pas masih jadi sekretaris aku," ia lalu tersenyum. "Kamu cemburu?" menyentuh dagu Isani.
"Bukan cemburu, tapi... "
Yusuf memeluk Sani, mengecup keningnya. "Aku selalu profesional saat kerja. Nggak akan ada apa-apa antara aku dan Irene, karena cintaku hanya untuk kamu."
"Tapi apa ya harus kamu yang pergi malam ini, gak bisa diwakilkan orang lain? Ini malam per_ah sudahlah," Sani tak mau terkesan begitu mengharapkan disentuh malam ini. Tapi apakah wajar, jika laki-laki meninggalkan istrinya di malam pertama?
"Maafkan aku, Sayang," Yusuf mengeratkan pelukannya, mengecup puncak kepala Sani beberapa kali. "Andai saja bisa, aku juga gak mau pergi malam ini. Aku pemimpin disini, banyak orang yang menggantungkan rezeki di perusahaanku, jadi sudah kewajibanku untuk menjaga iklim perusahaan agar selalu bagus."
"Kalau begitu, aku ikut saja," putus Isani yang tak ingin menghabiskan malam pertama sendirian di hotel.
"Aku pengennya juga ngajakin kamu, tapi Solo lumayan jauh ditempuh dengan jalur darat," Yusuf membelai rambut panjang Sani yang masih basah. "Seharian ini kamu udah capek bangetkan, udah, gak usah ikut. Kamu istirahat saja, tidur. Besok siang aku balik pakai pesawat."
"Aku gak capek kok, aku ikut kamu aja ya. Lagian nanti juga bisa tidur di mobil."
Yusuf menggeleng, "Enggak, kamu disini aja. Aku gak mau kamu sakit karena kecapekan. Aku janji, besok balik ke Jakarta. Besok, kamu hubungi Pak Jamal jika mau cek out, dia akan nganter kamu ke rumah aku. Kamu tunggu aku di rumah ya," bujuk Yusuf, punggung tangannya mengusap lembut pipi Isani yang terasa dingin.
Ponsel Yusuf yang ada di atas ranjang berdering, ada telepon dari Irene.
"Irene udah nunggu aku di depan, aku berangkat dulu ya," Yusuf mengecup kening Isani.
"Apa harus sekarang juga, gak bisa satu atau dua jam lagi?"
Yusuf menggeleng, "Sekali lagi, maafin aku. Aku menyesal gak bisa menghabiskan malam ini sama kamu. Tapi aku janji, besok akan aku bayar lunas semuanya," memegang tengkuk Isani, mencium bibirnya sekilas.
Meski berat hati dan kecewa, Isani memaksakan tersenyum di depan Yusuf. "Hati-hati, kabarin aku kalau udah sampai."
Yusuf mengangguk, mengambil tas lalu meninggalkan kamar.
Seketika, kamar yang begitu mewah dan indah dengan hiasan kamar pengantin, terasa begitu dingin. Isani duduk di sisi ranjang, menyentuh beberapa kelopak mawar yang ada di ranjang. Bisa dibilang, salah satu hal yang paling dinantikan oleh pasangan pengantin baru adalah malam pertama, namun dirinya, ia justru ditinggal sendirian pas malam pertama. Ah, kenapa dada rasanya sesak sekali.
Enggak, dia gak boleh sedih, Isani berusaha melapangkan dadanya. Yusuf tidak sedang meninggalkannya, suaminya itu terpaksa pergi karena kewajiban sebagai pemimpin. Besok sudah pulang, gak ada yang harus didramatisir, dibikin sedih.
Isani menarik nafas dalam, menghembus perlahan. Merapikan bantal, lalu rebahan. Tubuhnya terasa lelah, namun matanya tak ingin terpejam. Irene, kenapa wanita itu muncul di kepalanya. Apakah ia sedang cemburu saat ini? Cemburu karena suami yang harusnya menghabiskan malam pertama dengannya, justru bersama wanita lain. Meski untuk pekerjaan, rasa cemburu tetap ada. Apa ini yang dulu dirasakan Dafa, saat dirinya kerap kali pergi bersama Yusuf?
"Hah, tagihannya belum dibayar?" Sani kaget saat keesokan harinya, dia ditagih biaya kamar saat sedang cek out.
"Benar, Bu," sahut receptionist dengan sopan.
"Berapa tagihannya?" Sani yakin pasti tidak murah, mengingat semalam ia menginap di kamar president suite, belum lagi biaya tambahan untuk dekorasi kamar pengantin.
"135 juta."
Sani menghela nafas panjang saat jumlah yang disebutkan melebihi ekspektasinya. "Sebentar ya, saya telepon suami saya dulu." Ia mengambil ponsel di dalam tas, menghubungi nomor Yusuf. Sampai dua kali panggilan, tidak dijawab. Sepertinya suaminya tersebut sangat sibuk.
Tak ada pilihan lain, Sani mengambil kartu debit barunya, kartu debit berisi uang mahar dari Yusuf. Menggunakan uang mahar untuk membayar tagihan hotel.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup