"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POLIGAMI TAK SEMUDAH MENUMPAHKAN BENIH KE LUBANG YANG LAIN
"Mai, sudah bangun?" Suara yang sudah kukenal betul itu terdengar oleh telinga, saat aku sadar tapi belum sepenuhnya.
"Kamu, nggak papa?" tanyanya lagi.
Perlahan aku membuka mata lalu melihat sekelilingku. Rupanya aku tertangkap lagi. Sial.
"Mana Mbok Darsih? Kamu nggak apa-apain kan Mas?" Entah mengapa, aku begitu mengkhawatirkan Mbok Darsih. Perkataan dokter ingusan itu mengena langsung ke hati. Bagaikan dua sisi mata uang yang membuatku kembali gamang. Pergi menyusahkan Mbok Darsih karena akan dianggap lalai, bertahan, menyusahkan diri sendiri. Maira... sudah sakit masih memikirkan orang lain. Tuhan, apa tidak bisa nurani ini sebentar saja dimatikan?
Aku bangkit dari pembaringan seraya memegangi kepala yang masih terasa berat. Ada yang mengganggu pergerakan dan tenyata ada infus yang terpasang di tangan.
"Ini kenapa pakai infus segala? Mana Mbok Darsih?"
"Nya." Seruan Mbok Darsih membuatku menoleh ke arah pintu karena dari sanalah suara itu terdengar.
"Mbok." Ia berlari memelukku, aku pun memeluknya erat
"Maaf, Mbok...."
"Saya yang seharusnya minta maaf, Nya." Tubuhnya gemetar, suaranya bergetar. Entah apa yang sudah Mas Pandu lakukan sehingga ia terlihat begitu ketakutan.
Aku melirik tajam ke arah Mas Pandu. Ia langsung mengalihkan pandang ke langit-langit kamar. Seolah sedang menghindar.
"Kamu marahin Mbok?" tanyaku pada Mas Pandu.
"Tadi kamu di parkiran, pingsan. Ada yang bawa ke sini. Dokter," jelas Mas Pandu tanpa menatapku.
Seketika mataku membulat. Dokter? Mungkinkah dia? Aku mengurai pelukan Mbok Darsih.
"Dokternya masih muda? Tinggi? Ganteng? Putih? Hidungnya panjang?" tanyaku tanpa sadar. Mas Pandu menatapku dengan dahi berkerut.
"Kamu punya kenalan dokter di sini? Kok Mas nggak tahu, Mai? Jadi, kamu mau lari sama dia? Mana orangnya?" tuduh Mas Pandu, tatapannya begitu tajam, menusuk hingga ke jantung. Ah, mulut... kenapa tidak bisa dikontrol.
"Bu--kan gitu, Mas. Cuma tanya aja. Kalau kenal dan
mau kabur, mana mungkin aku masih di sini." Ia masih menatapku menaikkan satu alisnya seolah tak percaya.
"Soalnya tadi aku sempat bersi tegang sama dokter muda. Kalau nggak percaya tanya aja Mbok Darsih, iya kan, Mbok?" jelasku lagi pada Mas Pandu lalu beralih pada Mbok Darsih.
"I--ya, Pak." Singkat Mbok Darsih menjawab dengan sedikit gugup.
"Kenapa? Kenapa bersi tegang? Digodain kamu sama dia
Aku tersentak. Tak habis pikir dengan ucapan Mas Pandu.
"Masalah kopi, Pak. Nyonya minum kopi dokter itu tanpa sengaja, karena nggak sabar nunggu saya beli." Mbok Darsih berusaha membela tanpa berani menatap Mas Pandu.
"Iya, dan kopinya mahal, terus aku nggak bawa uang untuk ganti, ribut, deh." Lanjut aku menjelaskan agar ia tak berbuat di luar nalar, mencari dokter yang aku sendiri tak mengenal bahkan tak tahu namanya. Mas Pandu seorang yang pencemburu sejak dulu hingga kini tak ada perubahan.
"Yakin?!" tanyanya menyelidik. Aku mengangguk cepat.
"Mbok Darsih nggak bawa uang. Mereka pun nggak bawa," lanjutku seraya mengangkat dagu ke arah luar, di mana Pak Tok dan Pak Danu berdiri saat ini.
"Terus?"
"Aku ganti kopi dari kantin rumah sakit."
"Astaga, mana orangnya? Biar aku bayar."
"Mana tau. Makanya aku tanya orangnya sama nggak sama yang bawa aku ke sini, soalnya terakhir kali yang ketemu aku, ya, dia. Aku jatuhin makanan setelah kopi, Mas."
"Hah?" Mas Pandu terheran-heran menatapku. Aku pun mengangguk dengan penuh rasa bersalah.
"Mbok juga nggak tau?" Kini pertanyaan kutujukan pada Mbok Darsih yang terus menundukkan kepala. Ia pun mengangkat wajahnya meski sedikit ragu.
"Tadi saya ke sini ditelepon bapak. Waktu Nyonya pingsan saya masih ada di depan, saya cegat Nyonya di luar gerbang depan, pak Totok belakang, dan Pak Danu gerbang depan yang kanan."
Mendengar hal itu, Mas Pandu terlihat geram. Mungkin masih marah pada Mbok Darsih dan yang lainnya.
"Maaf, ya, Mbok. Tadi aku tu ...."
"Mau kabur. Masih aja kamu, Mai. Pake ngomong dibuntuti orang jahat segala. Kamu tahu, tadi salah satu suster ngaduin mereka bertiga ke pihak keamanan begitu mereka sampe sini!" Mas Pandu menyela. Fix yang
Dimaksud Mas Pandu sudah pasti Suter di ruang pengambilan darah tadi. Aku tak tahu bagaimana menatap suster itu jika aku terus berada di sini dan jika tahu bahwa Mas Pandu suamiku sedangkan ketiga orang yang ia laporkan itu asisten kami.
"Kita pulang, ya, aku udah nggak papa," ujarku turun dari ranjang.
"Tunggu sampe infus habis, Maira." Mas Pandu mengangkat tubuhku dan mengembalikannya di atas tempat tidur.
"Kalau tau gini, kamu mending di rumah aja tadi!"
celetuknya lalu membuang muka.
Aku terdiam. Ia pun tak mau menatapku.
"Jadi, kamu udah bilang makasih belum sama dokter yang bawa aku?" Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Mas Pandu menggeleng, lalu menghela napas. "Mas ke sini, dokternya sudah pergi. Cuma ada Suster satu yang jagain kamu, ya, yang ngelaporin Mereka bertiga itu yang jaga kamu tadi. Mereka bilang dokter itu ada jadwal ke rumah sakit yang lainnya lagi katanya. Nanti coba Mas tanya lagi, sekalian biar Mas transfer uang kopi dan makan siang yang jatuh tadi."
"Terus, dari mana mereka menghubungi kamu, Mas?" Aku terus bertanya, untuk mencairkan suasana dan wajah tegang Mas Pandu dengan berbagai pertanyaan.
Mas Pandu mengangkat bahu, sebagai jawaban bahwa ia sendiri juga tidak tahu.
"Mungkin dari Suster yang lapor tadi, tanya temennya yang ngerawat Viona. Lagian, kan, sudah Mas bilang.
Nggak usah donor, akhir-akhir ini kamu makan sedikit banget soalnya, Mai."
"Mungkin karena stress aja pingsan. Buktinya aku memenuhi syarat jadi pendonor," ujarku yang tak mau membahas lagi tentang Viona atau menyalahkan hatiku yang terlalu payah ini.
"Mai
Suasana berubah hening saat Mas Pandu memanggil namaku dengan raut sendu.
"Saya permisi, Nya, Pak." Sementara hening menjeda, Mbok Darsih segera pamit keluar.
"Kenapa, Mas? Apa terjadi sesuatu pada bayinya?"
Tiba-tiba dadaku berdetak, saat mata Mas Pandu menampakkan embun. Pikiranku pun langsung tertuju pada bayi tak berdosa itu.
"Makasih, ya, Mai. Maaf...."
***
Namanya Namira Putri Pandu. Ia terlelap di pangkuanku. Sengaja, aku membawanya ke kamarku, agar mereka tahu rasanya kehilangan. Ini adalah langkah awal pembalasanku. Merebut anak ini dari orang yang telah merebut suamiku. Sahabat tapi maut itu masih dalam tahap pemulihan sehingga belum banyak melakukan perlawanan.
Ya, satu minggu yang lalu, Namira beserta Viona dibawa pulang dari rumah sakit dan sejak insiden melarikan diri, sejak itu pula aku tak lagi diijinkan keluar sama sekali oleh Mas Pandu. Masalah dokter yang kumaksud masih belum Mas Pandu ketahui. Sebab, dokter itu berpesan pada Suster menolak memberikan nomor rekening itu.
"Ma, aku udah sehat, Ma." Suara teriakan Viona terdengar nyaring dari arah luar. Ini adalah saat yang aku tunggu. Jika aku tak bisa keluar dari tempat ini, setidaknya mereka harus sadar diri dan sadar posisi. Jika aku mengalah mereka akan terus bertingkah, menindas, dan semena-mena, menggunakan anak ini sebagai senjata untuk menyingkirkan aku sebagai istri pertama. Maka aku harus menguasai senjata mereka agar mereka rak bisa lagi melawan.
"Maira." Bersamaan dengan teriakan Viona memanggil namaku, pintu dibuka kasar, Viona terlihat sangat geram, menatapku pun dengan tajam.
Memang selama mereka pulang, Mas Pandu dan Namira tidur di kamarku, asi pun aku menyuruhnya untuk dipompa dan diberikan kepadaku setelah siap. Mas Pandu menurut karena aku beralasan agar Viona bisa beristirahat dengan tenang pasca melahirkan yang bahkan hampir meregang nyawa.
Lalu apa kabar dengan Miranti? Wanita tua itu bertekuk lutut terhadapku sekarang. Ia tak banyak bicara dan selalu menuruti apa mauku. Namun, yang belum bisa dia lakukan adalah membantuku keluar dari tempat ini. Dia terlalu takut dengan Mas Pandu. Entah, apa yang terjadi, sampai Mas Pandu ditakuti seperti itu. Yang aku tahu, Miranti cukup kaya, seharusnya tidak takut berlebihan pada Mas Pandu.
"Mai, kasih anak aku." Ia terus mendekat, cepat aku
mengangkat tangan. Lalu Miranti mencekal tangan Viona.
"Sttt... jangan berisik. Kamu itu nggak bisa ngurus Namira. Lihat dirimu, bahkan kamu nggak bisa menjaga perilaku. Teriak-teriak saat dia sedang tidur," ujarku tak beranjak dari kursi goyang bersama Namira.
"Mai, Namira anak aku, Mai ...."
"Dan Mas Pandu suamiku. Belum hilang ingatan, kan apa yang sudah kamu lakukan?" tandasku lalu tersenyum sinis.
"Mai, ini nggak ada hubungannya dengan Mas Pandu.
Dia darah dagingku."
"Sttt... Diam! Darahku ada di tubuhmu sekarang.
Lupa?!"
Ia terlihat kesal, giginya bergemelutuk, dan kedua tangannya mengepal kuat. Aku suka.
"Nyonya Miranti. Tolong anaknya dikondisikan, ya!" perintahku pada sang ibu yang terlihat panik di belakang maduku.
"Gila kamu, Mai."
"Emang."
"Sayang... Maira bener, kamu harus banyak istirahat. Lagi pula kan Pandu belum dapat babysitter. Jadi, ada baiknya Maira bantu, Sayang," ujar sang Mama menengankan seraya memegang tangan putrinya agar tak mendekat ke arahku, sementara aku ingin muntah mendengarnya.
"Ih, Ma, Mama apa-apaan? Namira anak aku, darah daging aku. Cucu Mama. Semalam pun aku belum tidur dengan dia dan Mas Pandu, Ma. Ini akal bulus Maira pasti, Ma. Mas Pandu juga, kenapa semua terhasut sama perempuan ini?!" teriak Viona seraya menghempaskan tangan Miranti.
Aku terbahak dalam hati melihat perselisihan antara dua orang yang seharusnya saling mengasihi, ini belum apa-apa Viona.
"Viona, Sayang. Kamu kemarin tu bener-bener bikin khawatir kita semua...."
"Udah, bilang aja Nyonya kalau anaknya mau koit dan kalau nggak ada darahnya Maira inalillahi gitu. Masih bagus bisa lihat anak kamu tiap hari, kalau mati mana bisa, Vi," selaku memotong ucapan Miranti yang tidak langsung ke poinnya.
Viona semakin marah.
"Kalau aku bisa, aku akan keluarkan darah kamu dari tubuhku, Mai. Jijik aku. " Air matanya akhirnya luruh.
"Viona, jangan gitu, harusnya kamu berterima kasih.
Kalau Pandu tau kamu seperti ini terhadap Maira. Dia pasti akan marah, Nak." Miranti mencoba menenangkan.
"Ma, Mama tu kenapa jadi belain dia? Siapa anak Mama sebenernya? Aku apa Maira?" Viona semakin mengeraskan suara, ia menangis semakin keras. Suara Viona yang terdengar mengejutkan dan membuat Namira kaget lalu menangis.
"Hentikan, keluar!" setakku pada akhirnya Lalau beranjak dari kursi goyang menenangkan Namira.
"Kenapa ini?" tanya Mas Pandu yang tiba-tiba datang dari balik pintu. Perdebatan kami membuatku tak sadar dan tak mendengar kedatangan Mas Pandu.
Viona bergegas menemui Mas Pandu dengan air mata yang terus mengalir sementara aku sibuk menenangkan Namira.
"Mas...."
"Viona teriak-teriak Mas, dia nggak bisa bikin anaknya sendiri tenang. Namira kaget dan nangis." Aku mengadu sebelum ia mengadu terlebih dahulu dengan memotong kalimat yang bahkan baru satu kata keluar dari mulut Viona.
"Viona, kamu kenapa? Jangan cari masalah, dong, Vi. Kamu seharusnya berterimakasih sama Maira. Karena dia kamu selamat. Dia juga mengurus Namira dengan baik demi agar kamu bisa istirahat, malam nggak tidur, ganti popok, kasih susu Kurang apa Maira, Vi? Kenapa nggak berubah, suka bikin masalah terus?!" hardik Mas Pandu, lalu mendekat ke arahku. Melihat Namira yang kini terisak-isak dengan mata terpejam. Sementara di seberang sana, Viona terlihat bergeming menatap kami.
"Cup cup cup, anak Papa, kaget, ya...."
"Mas! Jangan jadikan anakku sebagai penawar dari kemandulan istrimu! Menjadi anak yang kalian impi-impikan. Aku nggak rela, Mas! Aku ibunya!" teriak Viona lagi. Seketika, Mas Pandu menatap nyalang ke arah Viona dan Namira kembali harus menangis karena kaget oleh teriakan Viona.
Mas Pandu segera melangkah cepat ke arah Viona. Mencekal lengannya dan membawanya keluar. Miranti berusaha mencegah namun gagal.
"Keluar, belajar bicara baik dulu, sebelum kamu mendidik anakmu!" ujar Mas Pandu di depan pintu. Lalu menutupnya kasar.
Mas Pandu berbalik ke arahku, napasnya memburu. Ia berusaha menundukkan kepala, mencoba menurunkan emosi yang kini merajainya. Mungkin, sekarang dia sadar bahwa poligami tak semudah menumpahkan benih ke lubang yang lain.
"May, apa yang dikatakan Viona, jangan kamu ambil hati, ya, Mai." Mas Pandu bergegas mendekat ke arahku setelah emosi itu terlihat menurun. Jujur, kata-kata mandul itu menyakitkan, bahkan dadaku sempat berdetak cepat ketika kata itu terlontar. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya itulah Miranti dan Viona, mulut pedas bagai petasan banting. Murahan.