ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Sebuah Awal yang Sebenarnya
Matahari masih malu-malu muncul dari balik tirai awan ketika rumah megah keluarga Leonhart mulai dipenuhi kesibukan. Udara dipenuhi aroma bunga segar, rempah lembut dari dapur, dan suara-suara pelan dari para staf yang berjalan cepat, memastikan tak satu pun detail tertinggal. Semua terasa seperti mimpi yang perlahan menjadi nyata, mewah, megah, dan sedikit menekan.
Di kamar tamu sayap timur, Elina duduk di depan cermin besar berbingkai emas. Gaun pengantinnya, hasil rancangan eksklusif dari desainer keluarga Leonhart, tergantung rapi di balik pintu, menunggu saatnya dipakai. Jemarinya gemetar pelan saat menyesap teh kamomil, mencoba menenangkan jantungnya yang tak henti berdetak kencang. Semua ini terasa begitu nyata... dan juga tidak nyata. Pernikahan yang semula hanyalah kesepakatan kini berdiri di ambang altar.
Tak jauh darinya, dua penata rias sedang merapikan rambutnya, menyematkan helai demi helai mutiara kecil yang memantulkan cahaya pagi. Wajah Elina tampak tenang, namun sorot matanya menyimpan badai. Bukan karena takut... tapi karena ia tahu, selepas hari ini, segalanya tak akan pernah sama lagi.
Di kamar lain, Adrian berdiri sendiri di depan jendela, sudah berpakaian rapi dalam tuksedo hitam klasik dengan dasi kupu-kupu. Ia tampak tenang, bahkan terlalu tenang, hingga Samuel, yang datang membawa sepatu Adrian, berkata pelan, "Ini mungkin hanya pura-pura, tapi jangan lupa tersenyum seperti pengantin sungguhan, Tuan."
Adrian mengangguk samar, namun matanya memandang kosong ke taman belakang, tempat altar pernikahan akan berdiri di bawah lengkungan mawar putih. Apakah ini benar? Sebuah pernikahan untuk menyenangkan neneknya, melindungi putrinya, dan menyelamatkan seorang wanita dari kehancuran. Sebuah perjanjian dengan konsekuensi yang belum bisa sepenuhnya ia duga.
Sementara itu, di balkon atas, Elizabeth Leonhart berdiri tegak, memandang seluruh persiapan dengan mata tajam. Ia telah menyusun semuanya, pesta ini, tamu-tamunya, dan bahkan pilihan musik yang akan dimainkan saat pengantin berjalan menuju altar. Tapi hatinya belum sepenuhnya tenang. Ada sesuatu dalam cara Elina diam dan Adrian terlalu tenang, yang membuatnya merasa... bahwa ia belum mengetahui segalanya.
Tapi untuk pagi ini, ia memutuskan untuk diam.
Toh, jika ini hanya kebohongan, waktu akan membongkarnya.
Namun jika tidak, jika ternyata dua anak itu benar-benar belajar mencintai, maka mungkin, hanya mungkin, ia telah membuat pilihan yang benar.
...****************...
Upacara Pernikahan
Langit telah terbuka sempurna, memberi jalan bagi cahaya matahari yang hangat menari-nari di antara dedaunan. Taman belakang kediaman Leonhart kini berubah menjadi tempat suci yang menakjubkan. Lengkungan mawar putih dan melati berdiri anggun di tengah rerumputan hijau, dihiasi kain renda tipis yang berkibar pelan tertiup angin. Musik lembut mengalun dari sudut taman, mengiringi tamu-tamu yang mulai duduk di bangku yang tersusun rapi.
Di antara para tamu, tampak beberapa wajah bangsawan dan pebisnis ternama, serta tentu saja... keluarga Hartford. Elizabeth Leonhart duduk di barisan terdepan, matanya tajam mengamati setiap gerakan, namun tangannya dengan lembut menggenggam tangan mungil Claire yang duduk tenang di sampingnya dalam gaun putih kecil yang serasi dengan ibunya, wanita yang segera akan resmi menjadi bagian keluarga mereka.
Lalu musik berubah.
Semua kepala menoleh.
Elina muncul.
Ia melangkah perlahan, menggenggam buket bunga putih dan ungu muda, mengenakan gaun yang jatuh anggun di tubuh rampingnya. Riasannya sederhana namun begitu elegan, dan tatapannya lurus ke depan, menemui pria di ujung altar yang berdiri menantinya. Hanya beberapa langkah... dan seluruh hidupnya bisa berubah.
Adrian terpaku.
Bukan karena gaunnya, bukan karena kecantikan Elina yang terpahat sempurna oleh tata rias, tapi karena aura keteguhan yang terpancar dari wanita itu. Seolah ia tak lagi berdiri sebagai wanita yang menyimpan luka dan keraguan, tetapi sebagai sosok yang... tanpa ia sadari telah mengambil tempat dalam hidupnya, dalam hidup Claire... dan mungkin, dalam hatinya.
Ketika Elina berdiri di sampingnya, Adrian menyambutnya dengan senyum tenang. "Kau terlihat luar biasa," bisiknya, nyaris tanpa suara.
Elina menoleh sedikit, membalas lirih, "Dan kau terlihat... terlalu siap untuk kebohongan ini."
Adrian tersenyum samar.
Upacara berlangsung khidmat. Pendeta memimpin dengan suara tenang, memadukan doa dan janji yang menggema pelan di udara pagi. Saat kata-kata "apakah kau bersedia..." dilontarkan, baik Elina maupun Adrian menjawab dengan mantap. Tidak ada keraguan. Tidak ada suara gemetar.
Saat cincin disematkan ke jari manis Elina, ia sempat menatap kilau logam itu, seperti menatap janji yang terlalu mulia untuk hidup yang pernah kelam.
Ketika pendeta berkata, "Kini, kalian sah sebagai suami istri," dan suara tepuk tangan serta musik kembali mengalun, Claire berlari kecil mendekat ke mereka dan merentangkan tangan. "Mama!" serunya dengan antusias, tanpa ragu.
Elina menunduk dan memeluk bocah itu dengan air mata mengambang di pelupuk mata.
Di barisan terdepan, Elizabeth Leonhart menunduk pelan, menutup mulutnya dengan kipas gading. Ia tidak tersenyum, namun matanya melembut.
Apakah ia telah membuat pilihan yang benar?
Mungkin belum sepenuhnya percaya. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang tidak bisa dibohongi: kedekatan tulus antara Elina dan Claire, dan tatapan yang, meski hanya sekejap, menyimpan kehangatan di mata cucunya.
Dan bagi Elizabeth Leonhart, itu mungkin saja awal dari sebuah kepercayaan.
...****************...
Usai upacara sakral yang begitu hening dan menyentuh, suasana berubah menjadi lebih hidup di area resepsi yang berada di sisi lain taman keluarga Leonhart. Sebuah area terbuka telah disulap menjadi pesta taman berkelas, dengan meja-meja bundar berbalut linen putih gading, pusat hiasan bunga peony dan mawar biru, serta kristal bening yang memantulkan cahaya senja yang mulai turun.
Alunan musik klasik mengisi udara, dimainkan oleh kuartet gesek di bawah kanopi bunga. Para tamu berseliweran dalam balutan gaun malam dan setelan terbaik mereka. Gelas-gelas sampanye terangkat, dan suara obrolan lembut mengisi udara, meski beberapa mata tajam tetap memperhatikan sang pengantin wanita dengan rasa ingin tahu dan bisik-bisik samar.
Elina berdiri di sisi Adrian, mengenakan gaun pengantinnya yang anggun, kini tampak lebih tenang. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat ia menyalami tamu-tamu satu per satu. Beberapa dari mereka adalah kolega bisnis Adrian, beberapa lainnya kerabat jauh yang hanya mengenal Elina dari kabar-kabar yang belum tentu akurat. Tapi Elina tidak goyah. Ia belajar dari Adrian, untuk diam dan menjaga sikap.
Claire, dalam balutan gaun putih kecilnya, menjadi pusat perhatian tak terduga. Bocah itu lincah, senyum manisnya memecah ketegangan. Dia menari kecil di dekat panggung musik, lalu kembali berlari menghampiri Elina dan meraih tangannya.
"Mama cantik sekali hari ini," bisiknya polos.
Elina hanya bisa membungkuk dan memeluknya. Kehangatan yang sederhana... namun benar-benar nyata.
Tak lama kemudian, pelayan membawakan hidangan pertama, dan para tamu mulai mengambil tempat duduk. Elizabeth Leonhart duduk di meja utama, pandangannya tajam namun tidak sekeras biasanya. Ia menyaksikan segalanya dengan diam, kecermatan seorang wanita yang tahu bahwa pernikahan cucunya bukan pernikahan biasa.
Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain.
Saat Elina tertawa kecil mendengar celoteh Claire, saat tangan Adrian secara spontan menyentuh pinggang Elina untuk membantunya berdiri dari kursi, dan ketika pandangan mereka saling bertaut beberapa detik terlalu lama, Elizabeth mencatat semuanya.
Dan entah kenapa... ia tak segera membantahnya.
Setelah makanan utama disajikan dan gelas-gelas mulai kosong, Elizabeth Leonhart berdiri. Semua suara meredup, dan perhatian tertuju padanya.
Dengan anggun, wanita itu mengangkat gelasnya. "Kepada Adrian Leonhart, cucu yang telah tumbuh menjadi pria terhormat... dan kepada istrinya yang baru saja menjadi bagian keluarga ini," katanya, suara tenang namun penuh penekanan.
Lalu ia menoleh perlahan pada Elina. "Aku harap kau tahu, menjadi istri seorang Leonhart bukan sekadar gelar. Itu tanggung jawab. Dan menjadi ibu dari Claire, bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng."
Elina menatap balik dengan hormat. "Saya tahu," jawabnya singkat tapi mantap.
Lalu, Elizabeth menambahkan dengan nada lebih lembut, “Namun… karena Claire telah memilihmu, dan Adrian bersikeras padamu, maka aku... memberikan restu ini. Dan karena kau berani menolak pesta megah pilihanku beberapa waktu lalu—maka sekarang aku pastikan pernikahan ini menjadi pesta yang tidak akan pernah dilupakan siapa pun di kota ini.”
Seketika tepuk tangan menggema. Adrian menghela napas, senyum miringnya muncul. Claire bersorak, "Horeee!"
Dan Elina? Ia hanya memandang Elizabeth... menyadari bahwa itu adalah ujian yang telah ia lewati. Sebuah awal, bukan akhir.
Pesta pun dilanjutkan dengan dansa pertama pengantin.
Adrian menggandeng Elina ke tengah lantai dansa. Musik lembut mengalun. Cahaya lilin dan lampu gantung kristal menciptakan kilau magis.
Saat mereka berdansa, Adrian berbisik, "Kau menahan dirimu dengan baik. Nenekku tidak mudah diluluhkan."
Elina menjawab pelan, "Aku tidak sedang mencoba meluluhkan siapa pun. Aku hanya berusaha menjadi diriku sendiri."
Adrian menatapnya dalam. "Dan itu... alasan kenapa aku memilihmu."
Di balik semua sandiwara, sesuatu tumbuh perlahan.
Dan malam itu... mungkin bukan hanya pesta pernikahan.
Tapi juga pesta penyambutan sebuah awal yang sebenarnya.