Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28. Nikmati Masa Belum Sah
Ruangan itu mendadak terasa sempit. Udaranya hangat, entah karena sinar matahari pagi yang menembus tirai atau karena pernyataan Arslan barusan yang masih menggema di kepala Nayaka.
Gadis itu menelan ludah. Matanya bergerak ragu, bibirnya terbuka tapi tak langsung bisa bicara.
“Kamu serius?” tanyanya pelan, suaranya agak bergetar.
Arslan mengangguk, tak ada senyum, tak juga tatapan lembut. Tapi dari sorot matanya, Nayaka tahu pria itu sedang jujur sepenuh-penuhnya.
Nayaka memutar tubuh, menunduk, tangannya refleks mengelus lengan sendiri. Degup jantungnya seperti melompat-lompat tak karuan.
“Aku... aku jadi bingung harus senang atau deg-degan,” ucapnya sambil memaksakan tawa kecil.
Arslan masih berdiri tenang, tangannya bersedekap. Tapi dagunya sedikit menunduk, menyimpan sesuatu yang tak biasa. Gusar canggung atau gugup juga?
Nayaka melangkah mendekat, tapi kali ini langkahnya tak segesit tadi. Ada jeda, ada tarik-ulur dalam dirinya. Lalu ia berhenti dua langkah di depan pria itu.
“Jadi kamu yakin karena aku?” tanyanya lagi, suara lirih.
Arslan menghela napas. “Aku tidak punya penjelasan lain. Selama ini tubuhku mati rasa. Sampai kamu datang,” jawabnya.
Nayaka mengernyit pelan. Ada rasa senang tapi juga takut.
“Kalau aku adalah memicu reaksi itu berarti aku juga bisa bikin kamu kehilangan kendali?” katanya setengah bergumam.
Arslan menatapnya dalam. “Itu yang sedang aku hindari,” sahutnya serius.
Nayaka menunduk, tersenyum malu, pipinya mulai merona.
“Mas... aku juga bukan anak kecil. Tapi kalau kamu merasa belum siap, ya aku ngerti kok,” ujarnya lembut.
Arslan mendekat, menatap lurus ke matanya. “Aku bukan belum siap. Aku sedang belajar untuk tidak menjadikanmu pelampiasan ego yang selama ini tertahan,” katanya.
“Dan kalau kamu memang jadi satu-satunya alasan tubuhku bangkit, aku nggak mau rusak momen itu cuma karena dorongan sesaat,” lanjutnya.
Nayaka terpaku. Tangannya menggenggam ujung jas putih Arslan dengan perlahan.
“Mas... tahu nggak?” katanya lirih.
“Apa?”
“Kalimat barusan lebih bikin aku gemetaran daripada saat kamu pegang tanganku di ruang operasi,” imbuhnya dengan mata berkaca.
Arslan menunduk. Hidungnya nyaris menyentuh dahinya. Tapi ia tak bergerak lebih jauh. Hanya menatap dalam, tenang, seolah sedang menahan sesuatu.
“Kalau kamu gemetaran, biar aku yang tenang. Satu dari kita harus tetap waras,” ujarnya.
Nayaka tertawa kecil sambil menutup wajah. Malu. Tapi juga jatuh cinta lebih dalam.
Setelah beberapa detik sunyi, Nayaka menarik napas pelan. Ia menatap wajah Arslan dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya.
“Tiga hari lagi kita nikah,” katanya pelan.
Arslan hanya menoleh sekilas tanpa komentar seperti biasa.
Nayaka mencubit ujung jasnya pelan, lalu menatap penuh harap.
“Gimana kalau kita nikmatin hari ini dulu? Nggak usah mikirin kerjaan, nggak usah mikirin stres. Kita jalan sampai malam,” ucapnya dengan senyum kecil.
Arslan mengangkat alis, seolah baru saja mendengar sesuatu yang tidak biasa.
“Kemana?” tanyanya singkat.
“Dufan,” jawab Nayaka cepat.
Arslan menatapnya datar. “Taman hiburan?”
Nayaka mengangguk cepat. “Iya, yang ada bianglalanya, roller coaster, kora-kora, dan aku bisa jerit-jerit sambil pegangan tangan kamu tanpa dicurigai orang.”
Arslan menghela napas, tapi sorot matanya melembut. “Kamu tahu aku nggak suka keramaian,” katanya.
“Tapi kamu suka aku, kan?” goda Nayaka cepat.
Arslan memalingkan wajah, menahan senyum yang nyaris muncul.
“Jawaban yang tidak relevan,” sahutnya pelan.
Nayaka tertawa kecil. “Ya udah. Aku anggap itu setuju,” serunya riang sambil mengambil ponsel dari saku.
“Aku pesen mobil ya, Mas. Tapi jangan nyetir sendiri. Nanti kamu malah ngelamun kayak biasa. Hari ini aku yang atur,” imbuhnya.
Arslan mengamati gadis itu yang begitu lincah menekan layar ponselnya. Sinar matanya tak seperti biasa hangat dan tenang. Untuk sesaat, bahkan dirinya lupa bahwa dulu ia pernah berpikir tak akan bisa mencintai siapa pun lagi.
Lalu tiba-tiba ia bicara, pelan.
“Aku belum pernah ke Dufan.”
Nayaka terdiam. Ia menoleh dengan senyum lembut.
“Berarti hari ini kamu akan punya satu kenangan baru sama aku,” ucapnya pelan.
Arslan tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, langkahnya mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, ia mengelus ubun-ubun Nayaka sebentar.
Sederhana. Tapi cukup membuat Nayaka terdiam, senyumnya mengembang seperti anak kecil yang dapat kejutan.
Hari itu mungkin tak sempurna. Tapi bagi mereka berdua cukup jadi hari yang tak akan terlupakan.
Dufan sore itu riuh tapi hangat. Langit merona keemasan, selaras dengan raut wajah Nayaka yang tak bisa berhenti nyengir sejak turun dari wahana Halilintar.
Rambutnya berantakan, tapi tawanya justru makin lantang, membuat beberapa orang di sekitar melirik kagum atau bingung.
"Mas... serius, kayaknya jantungku masih loncat-loncat," katanya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.
Arslan menoleh sekilas, tak tertarik untuk ikut heboh. "Makanya jangan maksa naik kalau nggak kuat," ujarnya datar.
Nayaka cemberut, lalu menyikut pinggang lelaki yang berdiri di sampingnya itu.
"Gimana aku bisa nolak kalau yang nawarin Mas Arslan? Tadi tuh bukan karena takut, tapi karena deg-degan liat Mas dari samping. Ganteng banget sih," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Pria itu hanya menghela napas. Jari-jarinya sibuk membersihkan kacamata hitamnya yang tadi sempat terjatuh.
Mereka berjalan berdampingan, sesekali tangan Nayaka menggantung santai di lengan jas kasual Arslan, yang tetap tak banyak merespons. Tapi matanya sempat melirik, meski cepat disembunyikan lagi di balik ekspresi kosong.
Beberapa saat kemudian, mereka duduk di salah satu food court terbuka. Aroma ayam goreng dan bumbu saus menyelimuti udara.
"Mas mau yang pedas atau manis?" tanya Nayaka sambil berdiri di depan counter makanan.
"Yang pedas," jawab Arslan singkat.
Nayaka mengangguk cepat, lalu menoleh dengan senyum jahil. "Jangan nyesel ya kalau tiba-tiba kepedesan terus nyari aku buat disuapin," serunya.
Arslan menoleh perlahan, lalu menatap lurus wajah Nayaka. "Kalau kamu masih godain aku terus, Nay... aku bisa lupa kalau kita lagi di tempat umum," katanya tanpa suara tinggi, tapi tajam dan dalam.
Wajah Nayaka langsung berubah. Pipi yang tadi sempat merah karena terik, kini justru memanas karena kalimat pria itu.
"Noted, Mas," gumamnya sambil melipir ambil makanan.
Mereka makan di bangku kayu panjang, bersebelahan. Nayaka lahap, tak peduli kalau wajahnya belepotan saus. Justru Arslan yang akhirnya menyodorkan tisu.
"Berantakan banget," ujarnya pelan.
"Jangan cuma kasih tisu, sekalian aja lapin," sahut Nayaka menggoda.
Arslan terdiam. Lalu dengan gerakan perlahan, ia mengambil tisu itu kembali dan menyeka sudut bibir Nayaka dengan tangannya sendiri.
Jantung gadis itu mencelat entah ke mana. Dunia seolah berhenti, hanya ada sentuhan hangat di pipinya dan wajah datar milik lelaki yang sedang menatapnya lekat.
"Udah bersih," katanya pelan, lalu kembali makan.
Nayaka tertegun bibirnya menganga sedikit, lalu tertawa kecil.
"Aduh Mas, gawat. Aku kayaknya makin cinta deh," ucapnya lirih sambil menggigit nugget.
Arslan tak menjawab, tapi matanya memandangi wajah gadis itu lebih lama daripada biasanya. Di balik ketegasan dan sikap dinginnya, ada sesuatu yang mulai retak. Entah itu pertahanan atau mungkin ketenangan.
Langkah Nayaka sempat terhenti begitu melihat sekelompok orang berdiri tak jauh dari wahana bianglala. Dia menyipit, mencoba mengenali wajah-wajah yang rasanya familiar.
"Eh... Mas... itu... Aylara sama Audra, kan?" bisiknya cepat, sambil menarik pelan lengan jas Arslan.
Pria itu ikut menoleh, dan matanya langsung tertumbuk pada dua perempuan cantik yang sedang bercanda dengan seorang pria berkacamata bulat dan cewek berambut merah menyala. Disisi lain, ada juga pasangan yang duduk di pagar pembatas, tertawa lepas.
“Kiara dan DJ Raymeer…” gumam Nayaka lirih.
Belum sempat mereka balik badan, Audra sudah melambaikan tangan duluan.
"Nayakaaa!" serunya nyaring.
Nayaka yang tadinya mau kabur pelan-pelan, langsung cengengesan. “Yah, ketauan...” ucapnya kecil, lalu melambai.
Dalam sekejap, mereka semua sudah saling mendekat. Pelukan singkat, sapa basa-basi, dan tawa yang sempat membeku karena momen ‘tak terduga’ itu pun mencair perlahan.
"Eh, nggak nyangka banget kita ketemunya di sini, loh!" ujar Aylara sambil melirik Arslan dari atas sampai bawah. "Masih ganteng dan dingin seperti biasa, Dok," imbuhnya setengah menggoda.
Arslan hanya mengangguk kecil, tanpa ekspresi. Matanya sesekali melirik Nayaka yang tampak girang ngobrol sama Kiara dan Odelia.
DJ Raymeer menyodorkan tangan. “Dokter Arslan, saya Ray. Temannya Kiara,” ucapnya ramah.
“Arslan,” jawabnya pendek, menjabat singkat lalu menarik tangan kembali.
Uwais yang sedari tadi diam, akhirnya ikut angkat suara. “Dufan jadi ajang reuni nih kayaknya.”
"Ya dan kita bawa pasangan semua. Lucu juga ya," celetuk Odelia sambil melirik Arslan dan Nayaka yang berdiri sedikit berjarak, seperti dua kutub magnet yang belum saling tarik.
Audra mendekat ke Nayaka, lalu membisik pelan, “Serius, Nay kalian berdua makin kelihatan kayak pasangan beneran sekarang. Nggak cuma tunangan formalitas.”
Nayaka menahan tawa, lalu berbisik balik, “Emang dia keliatan suka aku, ya? Soalnya aku doang yang baper dari kemarin-kemarin.”
Audra tertawa kecil, “Dia emang kaku, tapi liat deh matanya ngikutin kamu terus.”
Dan benar saat Nayaka iseng melirik, mata Arslan langsung berpaling.
Sementara itu, Kiara asyik selfie bareng Raymeer dan Aylara sibuk nge-vlog, bikin suasana makin ramai. Nayaka pun makin jadi, ikut lompat-lompat sambil bilang, "Yuk naik wahana bareng! Seru nih!"
Semua setuju. Hanya Arslan yang menatap Nayaka tanpa bicara.
"Mas nggak mau?" tanyanya sambil menggenggam tangan pria itu.
Arslan mengangguk pelan. “Kalau kamu mau, aku ikut.”
Satu kalimat itu cukup buat Nayaka tersenyum sepanjang sore.
Sehabis shalat Isya berjamaah, Arslan dan Nayaka duduk di teras, ditemani sepiring kacang goreng dan jagung rebus yang masih mengepulkan uap. Malam itu angin berhembus pelan, membawa suasana tenang.
“Sayang,” tanya Arslan sambil memecahkan kulit kacang, “kenapa ya banyak yang suka baca, tapi jarang banget ninggalin komentar atau ulasan?”
Nayaka menoleh sambil tersenyum kecil. “Entahlah, Mas. Mungkin mereka nggak nyangka kalau komentar itu penting banget. Padahal buat penulis, satu kalimat dukungan aja rasanya udah bikin hati hangat. Mak Daeng itu selalu bilang, komentar itu ibarat seteguk air di tengah haus, bikin semangatnya balik lagi.”
Arslan mengangguk pelan, lalu menatap langit malam. “Kalau mereka tahu betapa berartinya, mungkin mereka nggak akan ragu buat nulis satu-dua kalimat. Kita doakan aja, semoga makin banyak yang hatinya tergerak biar Mak Daeng bisa terus nulis dan kita semua bisa terus menikmati ceritanya.”
Nayaka tersenyum sambil mengaminkan, “Amin ya rabbal alamin.”
Malam tetap tenang, tapi di hati mereka, ada harapan sederhana bahwa setiap pembaca yang lewat, mau meninggalkan jejak kecil yang berarti besar.