Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah!
Suasana hening menyelimuti halaman rumah yang kini menjadi tempat berlangsungnya akad nikah.
Semua mata tertuju pada Abraham yang duduk tenang, bersanding dengan penghulu dan wali Aira.
Tangannya menggenggam dengan mantap, wajahnya penuh ketegasan namun lembut.
Dengan suara bariton yang tenang dan dalam, Abraham mengucapkan,
"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Kirana binti Alm Suherman dengan mas kawin berupa seratus juta dolar Amerika Serikat, dibayar tunai."
Hening sejenak. Lalu terdengar serempak dari para saksi,
“Sah! Sah!”
Tamu-tamu langsung bersorak pelan, beberapa ibu-ibu menyeka air mata haru.
Mama Abraham menangis dalam pelukan Papa. Aira yang duduk anggun di dalam ruangan, menunduk sambil menggenggam erat buket bunganya.
Air matanya jatuh pelan. Bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur dan bahagia yang tak bisa ia tahan.
Aira menunduk perlahan, lalu mencium tangan Abraham, lelaki yang kini sah menjadi suaminya.
Dalam genggaman tangannya, Aira merasakan hangat, aman, dan keyakinan bahwa masa depannya tak lagi sendiri.
Pak penghulu tersenyum hangat, kemudian mulai memberikan nasihat pernikahan kepada pasangan baru itu.
"Nak Abraham, Nak Aira... pernikahan bukan hanya tentang cinta. Tapi tentang komitmen, saling menjaga, dan menyayangi dalam segala keadaan. Ada hari bahagia, ada hari duka. Jangan saling meninggalkan saat badai datang, tapi berpegangan lebih erat lagi.Suami, engkau adalah imam. Maka tuntunlah istrimu dengan kasih, bukan dengan amarah. Istri, engkau adalah makmum. Maka ikutilah suamimu dengan cinta, bukan rasa takut.Semoga rumah tangga kalian menjadi sakinah, mawaddah, dan warahmah."
Semua tamu yang hadir mengangguk setuju, beberapa mata kembali berkaca-kaca. Aira memandangi Abraham, dan tanpa sadar bibirnya membentuk senyum kecil yang penuh makna.
Resepsi berlangsung hangat dan penuh kebahagiaan. Tamu-tamu berdatangan, membawa senyum dan doa untuk kedua mempelai.
Di sudut taman yang dihias seperti negeri dongeng, Dinda berdiri dengan wajah cemberut sambil menatap Aira dan Abraham dari kejauhan.
“Jadi ini alasan kamu tiba-tiba hilang dari radar,” gumam Dinda sambil menyilangkan tangan.
Anak buah Abraham tertawa kecil, “Kami cuma menjalankan misi, Mbak Dinda. Bukan menculik, tapi mengantar ke takdirnya.”
Dinda mendesis pelan, lalu berjalan cepat menghampiri Aira.
“Kamu diculik sama Pak Abraham ya!” tuduhnya dramatis.
Aira terkekeh kecil. “Iya Din, diculik ke pelaminan,” jawabnya lembut.
Tanpa menunggu lagi, Dinda memeluk Aira erat-erat, air matanya pecah.
“Aku doain kamu bahagia, ya. Kamu pantas dapet yang terbaik. Dan kayaknya... kamu udah nemuin orang itu.”
Aira membalas pelukan itu erat, terharu dengan kehadiran sahabatnya.
Kemudian Dinda mengulurkan tangan ke arah Abraham.
“Titip sahabat saya, Pak. Jangan pernah disakitin ya.”
Abraham menggenggam tangan Dinda dengan hormat.
“Terima kasih sudah menjaganya selama ini. Sekarang, biarkan aku yang lanjutkan.”
Dinda tersenyum, menahan haru. Di tengah suasana bahagia, harapan-harapan baik terus mengalir untuk pasangan pengantin baru itu.
Setelah resepsi, suasana terasa semakin hangat dengan kebahagiaan yang mengelilingi mereka.
Para tamu mulai pulang, meninggalkan rumah Abraham yang kini dipenuhi dengan bunga dan kenangan indah dari hari yang spesial ini.
Di tengah kebahagiaan itu, mama dan papa Abraham mendekati Aira dengan senyum lebar.
Mama mengeluarkan sebuah kotak cantik dari tasnya dan menyerahkannya pada Aira.
“Ini untuk bulan madu kalian,” kata mama dengan penuh kasih sayang, matanya berbinar.
“Jangan lupa, lekas bawa cucu ya.”
Aira terkejut dan sedikit malu, meskipun senyum lebar tak bisa ia sembunyikan.
“Terima kasih, Mama, Papa. Kami pasti akan menikmatinya.”
Abraham hanya tersenyum tenang dan memeluk Aira dengan mesra.
“Nanti aku akan bawa cucu kembar, Ma,” ujar Abraham dengan bercanda, membuat suasana semakin ringan.
Aira mencubit perlahan pinggang Abraham, geli mendengar candaan suaminya.
“Mas, jangan bicara begitu,” ujar Aira sambil tertawa.
Mama tersenyum dan memeluk Aira erat, “Semoga kamu selalu bahagia, Aira. Kita sangat senang menerima kamu sebagai bagian dari keluarga ini.”
Aira merasa begitu hangat dan diterima, hatinya penuh dengan rasa syukur.
“Terima kasih, Mama, Papa. Aku akan berusaha membuat Abraham bahagia,” katanya dengan suara yang penuh emosi.
Papa Abraham menepuk bahu Abraham dengan penuh bangga.
"Jaga Aira baik-baik, ya. Dia sekarang adalah bagian dari keluarga kita."
Suasana malam itu penuh dengan canda tawa dan kebahagiaan. Aira, yang dulunya penuh keraguan dan trauma, kini merasa dihargai dan dicintai.
Semua kenangan buruknya seolah mulai hilang, digantikan dengan harapan baru untuk masa depan bersama Abraham.
Begitu banyak cinta yang mengelilingi mereka. Ini adalah awal dari perjalanan hidup yang baru, penuh dengan kebahagiaan yang telah lama Aira impikan.
Malam pertama setelah pernikahan, Aira dan Abraham kembali ke kamar mereka.
Lampu-lampu lembut di kamar menciptakan suasana yang hangat dan intim.
Segala kecemasan dan ketegangan yang sempat Aira rasakan selama persiapan pernikahan seakan menguap begitu mereka berdua berada di dalam kamar yang nyaman ini.
Aira duduk di tepi tempat tidur, tangannya tergetar sedikit.
Meski pernikahan ini adalah impian yang menjadi kenyataan, rasa gugup tak bisa dihindari.
Abraham melihat Aira dengan penuh perhatian, lalu mendekat dengan langkah lembut.
“Aira,” suara Abraham pelan, penuh kelembutan.
“Kamu tidak perlu khawatir. Semua ini hanya tentang kita berdua. Tidak ada paksaan. Aku akan membuatmu merasa nyaman.”
Aira menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia merasa disayangi, tapi juga takut akan apa yang akan terjadi malam ini.
Dengan segala trauma masa lalu yang belum sepenuhnya hilang, ia masih merasa cemas.
“Mas,” suara Aira bergetar, “Aku tidak tahu apakah aku siap.”
Abraham menyentuh wajah Aira dengan lembut, menghapus air mata yang hampir jatuh.
“Kamu tidak perlu merasa terburu-buru. Aku di sini untukmu. Kita akan berjalan bersama, pelan-pelan, sampai kamu merasa siap.”
Aira mengangguk, mencoba untuk menenangkan diri. Abraham duduk di sampingnya, memegang tangannya dengan erat.
“Kalau kamu mau beristirahat dulu, aku akan di sini menunggumu,” kata Abraham, mencoba memberi Aira ruang.
Aira merasakan kehangatan yang tulus dari Abraham. Keberadaannya memberikan rasa aman yang sangat Aira butuhkan.
Dengan perlahan, Aira menghela napas panjang dan akhirnya berbaring di tempat tidur, sambil tetap memegang tangan Abraham.
“Aku merasa nyaman bersamamu, Mas,” kata Aira dengan suara yang lembut, namun penuh perasaan.
Abraham membalas dengan senyuman, lalu berbaring di samping Aira.
Mereka saling memandang dalam keheningan yang tenang, meresapi momen ini sebagai pasangan suami istri.
“Kalau kamu merasa siap, kita bisa melanjutkan malam ini dengan cara yang kamu inginkan,”
Abraham berbisik lembut, memberi Aira kendali penuh atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aira merasa hangat dengan ketulusan Abraham, dan perlahan rasa takutnya mulai menghilang. Dalam pelukan Abraham, ia merasakan kedamaian yang selama ini hilang.
“Terima kasih, Mas,” ucap Aira pelan, sambil mengeratkan pelukan mereka. “Aku merasa lebih tenang sekarang.”
Malam itu, mereka tidak terburu-buru. Mereka menikmati momen kebersamaan mereka, saling menguatkan satu sama lain, dan menikmati awal dari kehidupan baru yang penuh dengan harapan dan cinta.
Abraham membuka pakaiannya dan disaat akan melepaskan sabuknya,
"Jangan pukul aku!" Aira mengingat bagaimana Delon selalu memukulinya dengan sabuk.
Abraham terkejut mendengar kata-kata Aira yang penuh ketakutan. Ia berhenti sejenak, wajahnya berubah menjadi serius dan penuh kekhawatiran saat melihat reaksi Aira yang tiba-tiba.
Aira duduk di tepi tempat tidur, kedua tangannya gemetar, dan wajahnya tampak ketakutan.
“Sayang, aku tidak akan pernah memukulmu,” kata Abraham dengan lembut, mencoba menenangkan Aira.
“Aku tidak akan pernah menyakitimu seperti itu. Delon tidak bisa melakukannya padamu lagi.”
Aira menghela napas berat, merasa hatinya semakin tertekan dengan kenangan buruk itu. Ia ingat betul bagaimana Delon sering memukulnya, bahkan hanya karena alasan sepele.
Hanya dengan mendengar sabuk yang akan dilepas, kenangan itu datang begitu saja.
Abraham perlahan mendekat, duduk di samping Aira, dan meraih tangannya.
"Aira, aku sangat menyesal mendengar semua itu. Aku janji tidak akan menyakitimu. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi semuanya bersama."
Aira memandang Abraham dengan mata yang masih basah oleh air mata.
“Aku hanya... takut, Mas. Takut kalau itu akan terulang lagi,” katanya dengan suara pelan, penuh ketakutan yang dalam.
Abraham menatapnya dengan penuh empati, menahan rasa marah dan kecewa atas perlakuan Delon yang telah menyakiti Aira.
“Aku mengerti, Aira. Tapi percayalah padaku, aku tidak akan pernah melukaimu. Ini adalah awal baru untuk kita, dan aku akan menjagamu.”
Dengan lembut, Abraham mengusap air mata Aira yang jatuh.
Ia menarik tubuh Aira ke dalam pelukannya, memeluknya erat untuk memberi rasa aman.
“Tidak ada yang bisa menyakiti kamu lagi. Aku akan selalu ada di sini untuk melindungimu,” bisik Abraham, mencoba meyakinkan Aira dengan tulus.
Aira merasa perlahan ketakutannya mereda. Ia tahu bahwa Abraham berbeda. Ia merasa aman dalam pelukan Abraham, meski kenangan buruk itu masih membekas. Perlahan, ia mulai percaya bahwa malam ini akan berbeda.
Setelah beberapa menit berdiam diri dalam pelukan Abraham, Aira akhirnya mengangkat kepala, menatap Abraham dengan mata yang masih sedikit ragu.
“Mas, aku... aku akan berusaha untuk lebih percaya,” ujar Aira dengan suara lembut.
Abraham tersenyum, meletakkan ciuman lembut di kening Aira.
“Aku akan menunggumu untuk sepenuhnya merasa nyaman. Tidak ada yang terburu-buru, Aira.”
Malam itu, keduanya saling berbicara dan memberi ketenangan satu sama lain.
Perlahan-lahan, Aira mulai merasa lebih tenang, merasa aman dalam perlindungan Abraham.
Ketakutannya perlahan menghilang, digantikan dengan rasa cinta dan rasa aman yang telah lama ia rindukan.
Malam pertama bagi Aira dan Abraham adalah momen yang penuh perasaan.
Setelah segala kecemasan dan trauma yang Aira alami, malam itu menjadi momen yang penuh dengan harapan dan kasih sayang.
Aira, meski masih sedikit ragu dan cemas, merasa sedikit lebih tenang di pelukan Abraham, yang selalu mengerti dan menghargai setiap perasaan yang ada dalam dirinya.
Abraham, dengan penuh perhatian, menyadari betapa pentingnya momen ini bagi Aira.
Ia tidak ingin ada sedikit pun rasa ketakutan atau tekanan. Ia ingin Aira merasa nyaman, bahwa malam ini adalah tentang kebersamaan, bukan sekadar fisik, tetapi juga emosi dan rasa aman.
"Sayang, aku di sini, dan kita tidak terburu-buru," bisik Abraham lembut, menatap Aira dengan penuh kasih.
"Aku ingin kamu merasa nyaman."
Aira menatapnya, hatinya berdebar-debar, tapi ada rasa percaya yang perlahan tumbuh.
Ia mengangguk pelan, menyadari bahwa ini adalah langkah besar dalam hidup mereka bersama.
Perlahan, mereka saling mendekat, menyatu dalam kehangatan yang penuh kasih sayang.
Malam pertama mereka bukan hanya tentang tubuh, tapi lebih tentang penyembuhan dan pemulihan.
Abraham, yang begitu sabar dan pengertian, terus memberi Aira rasa aman dengan cara yang paling lembut.
Momen itu, meskipun sederhana, begitu dalam maknanya.
Ketika mereka akhirnya bersandar dalam keheningan, saling berpelukan, Aira merasa bahwa malam ini adalah awal yang baru bagi hidup mereka.
Sebuah awal untuk membangun kepercayaan, cinta, dan kebahagiaan yang selama ini hilang.
"Aku mencintaimu, Aira," ujar Abraham, sambil menatap Aira dengan lembut.
"Aku juga mencintaimu, Mas," jawab Aira, matanya berbinar, penuh harapan untuk masa depan yang cerah bersama Abraham.
Dan malam itu, mereka tidur dalam pelukan, dengan rasa aman yang telah lama Aira cari.