SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Perjalanan ke apartemen Maudy terasa panjang meski hanya dua puluh menit. Setiap lampu merah terasa seperti eterniti. Julian menatap jalanan Jakarta malam dengan pikiran yang berputar—tentang Laura yang terluka di rumah sakit, tentang Maudy yang menunggu di apartemennya, tentang keputusan yang sudah seharusnya dia buat sejak lama.
Apartemen Maudy ada di kawasan Kemang—tempat yang dulunya sering Julian kunjungi, tapi sekarang terasa asing. Dia parkir di basement, naik lift dengan jantung yang berdebar bukan karena nervous, tapi karena ingin cepat selesai.
Maudy membuka pintu sebelum Julian sempat mengetuk. Dia mengenakan dress rumahan biru muda, rambut tergerai, makeup minimal. Cantik seperti biasa.
Tapi Julian gak merasakan apapun. Tidak ada debaran jantung. Tidak ada perasaan hangat. Hanya... kehampaan.
"Julian," Maudy tersenyum lebar, melangkah untuk memeluk tapi Julian mundur sedikit.
"Kita perlu bicara," ujarnya dengan nada datar.
Senyum Maudy memudar sedikit. "Masuk dulu. Aku sudah siapkan kopi kesukaanmu—"
"Gak usah, Maudy. Ini gak akan lama."
Sesuatu di nada Julian membuat Maudy membeku. Dia menatap Julian dengan tatapan yang mulai panik. "Julian, apa yang—"
"Aku gak bisa lakukan ini lagi," potong Julian, langsung to the point. Gak ada gunanya menunda-nunda. "Kita—kita harus selesai di sini."
"Selesai?" Maudy tertawa, tapi tertawanya terdengar dipaksakan. "Julian, apa maksudmu selesai? Kita bahkan belum mulai lagi—"
"Dan kita gak akan mulai lagi," Julian menatapnya langsung. "Maudy, selama dua minggu ini aku mencoba. Aku benar-benar mencoba untuk merasakan apa yang dulu aku rasakan untukmu. Tapi aku gak bisa. Itu sudah pergi."
"Itu karena kamu belum kasih kita kesempatan yang bener!" Maudy melangkah maju, matanya mulai berkaca-kaca. "Julian, aku tahu aku salah meninggalkanmu dulu. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku sudah berubah! Lima tahun itu mengajariku banyak hal—"
"Dan lima tahun itu juga mengajariku sesuatu," potong Julian dengan lembut tapi tegas. "Mengajariku bahwa cinta sejati bukan yang lari saat kamu dalam masalah. Cinta sejati adalah yang tetap ada, yang diam-diam menjagamu, yang gak pernah minta apapun tapi kasih segalanya."
Maudy menatapnya dengan tatapan yang perlahan berubah jadi realisasi. "Ini tentang dia, kan? Tentang Laura?"
Julian gak menjawab, tapi diam nya adalah jawaban.
"Aku lihat cara kamu menatapnya waktu di acara launching," lanjut Maudy, suaranya bergetar. "Aku tahu sejak saat itu. Tapi aku pikir—aku pikir kalau aku berjuang lebih keras, kamu akan lihat aku lagi. Akan ingat apa yang kita punya—"
"Apa yang kita punya itu indah, Maudy," Julian berbicara dengan suara yang lebih lembut sekarang. "Dan aku gak akan pernah lupa kenangan kita. Tapi itu—itu masa lalu. Dan aku gak bisa hidup di masa lalu lagi."
Air mata Maudy mulai jatuh. "Kamu mencintainya?"
Julian diam sejenak, membiarkan pertanyaan itu menggantung. Lalu dia menjawab dengan jujur—untuk pertama kalinya mengakui dengan keras.
"Iya. Aku mencintainya."
Kata-kata itu keluar lebih mudah dari yang dia kira. Dan begitu keluar, Julian merasakan beban berat terangkat dari dadanya.
"Aku mencintai Laura," ulangnya, kali ini lebih yakin. "Aku mencintai cara dia diam-diam peduli tanpa pernah minta apapun. Aku mencintai cara dia bekerja keras untuk setiap hal yang dia lakukan. Aku mencintai kekuatannya yang dia sembunyikan di balik senyumnya. Dan aku—aku baru menyadari semua ini terlambat."
Maudy menangis diam-diam, air matanya mengalir perlahan. "Dia gadis yang beruntung," bisiknya akhirnya. "Untuk dicintai dengan cara itu."
"Bukan dia yang beruntung," jawab Julian. "Aku yang beruntung kalau dia masih mau memaafkan aku setelah semua kesalahan yang aku buat."
Mereka berdiri dalam keheningan beberapa saat. Tidak canggung, tapi lebih seperti... penutupan. Ending yang sudah seharusnya terjadi sejak lama.
"Aku harap dia tahu seberapa istimewa dia," ujar Maudy akhirnya, menyeka air matanya. "Dan aku harap—aku harap kamu bahagia, Julian. Kamu pantas bahagia."
"Kamu juga, Maudy," Julian tersenyum tipis—senyum perpisahan. "Suatu hari kamu akan nemuin seseorang yang akan cinta kamu tanpa bayangan masa lalu. Dan saat itu datang, jangan lari. Bertahanlah."
Maudy mengangguk, tidak bisa bicara lagi.
Julian berbalik dan pergi, menutup pintu apartemen Maudy—dan bersamanya, menutup chapter masa lalunya. Di koridor, dia bersandar sejenak pada dinding, menarik napas dalam.
Selesai. Akhirnya selesai.
Sekarang—sekarang dia harus ke Laura.
***
Julian kembali ke rumah sakit dengan langkah cepat. Sudah hampir tengah malam, tapi dia gak peduli. Dia harus lihat Laura, harus bilang semua yang harus dia bilang.
Felix masih di ruang tunggu, tertidur di kursi dengan posisi yang gak nyaman. Julian membangunkannya dengan lembut.
"Laura?" tanya Julian cepat.
"Sudah dipindah ke ruang rawat. Lantai tiga, kamar 308. Masih tidur," jawab Felix, mengucek matanya. "Kamu sudah—"
"Sudah," potong Julian. "Sudah selesai dengan Maudy."
Felix menatapnya dengan seksama, lalu mengangguk puas. "Bagus. Sekarang pergi ke dia. Dan kali ini, jangan bodoh lagi."
Julian hampir berlari ke lantai tiga. Kamar 308 ada di ujung koridor, tenang dan gelap kecuali lampu kecil di sudut. Dia masuk dengan perlahan, gak mau membangunkan Laura kalau dia masih tidur.
Laura terbaring di ranjitan rumah sakit dengan infus di tangan kirinya. Perban di pelipis dan tangan. Wajahnya pucat tapi damai dalam tidur. Napasnya teratur, pelan.
Julian duduk di kursi samping tempat tidur, menatap wanita yang—entah sejak kapan—sudah mengisi setiap sudut hatinya tanpa dia sadari.
Tangannya bergerak perlahan, menyentuh jari-jari Laura yang gak terbungkus perban. Hangat. Masih hidup. Masih di sini.
"Maafkan aku," bisiknya di kesunyian kamar. "Maafkan aku karena terlalu bodoh untuk menyadari apa yang sudah ada di depan mataku selama ini."
Laura tidak bergerak, masih tertidur lelap.
"Aku gak tahu kamu mencintaiku sejak kuliah," lanjut Julian, suaranya bergetar. "Gak tahu kamu diam-diam menjagaku, mendukungku, berharap aku akan lihat kamu. Dan aku—aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri sampai gak sadar ada seseorang yang dengan tulus, tanpa pamrih, mencintaiku."
Dia menarik napas, air matanya mulai mengalir.
"Tapi sekarang aku tahu. Dan sekarang aku sadar—Laura Christina, kamu adalah orang yang paling berharga dalam hidupku. Bukan karena kamu mencintaiku. Tapi karena kamu mengajariku bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat. Bagaimana rasanya punya seseorang yang akan rela mengorbankan segalanya, bahkan untuk sekadar membuatku bahagia."
Julian mengangkat tangan Laura, menciumnya dengan lembut.
"Aku gak minta kamu memaafkan aku sekarang. Aku tahu aku sudah menyakitimu terlalu banyak. Tapi aku janji—aku janji akan buktiin kalau kamu bukan pilihan kedua. Kalau kamu adalah satu-satunya pilihan. Kalau dari semua orang di dunia ini, kamu adalah orang yang aku pilih, setiap hari, tanpa ragu."
Laura bergumam pelan dalam tidurnya, kepalanya sedikit bergerak. Julian membeku, takut membangunkan.
Tapi Laura tidak bangun. Dia hanya bergumam nama—namanya sendiri—dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar.
"Julian..."
Hati Julian seperti diremas. Bahkan dalam tidur, bahkan dalam mimpi, Laura masih memikirkannya.
Dia duduk di sana sepanjang malam, memegang tangan Laura, menunggu dia bangun. Tidak tidur, hanya menunggu—karena dia sudah membuang terlalu banyak waktu untuk hal yang salah, dan sekarang dia gak akan buang satu detik pun lagi.
Saat fajar mulai menerobos jendela kamar rumah sakit, Laura mulai bergerak. Kelopak matanya berkedip perlahan, mencoba terbiasa dengan cahaya. Dia mengerang pelan, merasakan sakit di tubuhnya.
"Pelan-pelan," ujar Julian lembut, tangannya masih memegang tangan Laura. "Kamu di rumah sakit. Kamu aman."
Laura memutar kepalanya—perlahan karena gegar otak—dan menatap Julian. Matanya membesar, bingung kenapa Julian ada di sana.
"Julian?" Suaranya serak. "Kenapa kamu—laptop—aku harus—"
"Lupakan laptop itu," potong Julian dengan tegas. "Lupakan proyek. Lupakan semua. Yang penting sekarang adalah kamu. Hanya kamu."
Laura menatapnya dengan tatapan yang masih bingung, masih dipenuhi obat penahan sakit. "Tapi aku gagal. Aku gak bisa lindungi data—"
"Kamu gak gagal," Julian berbicara dengan suara yang penuh emosi. "Kamu sudah melakukan lebih dari yang seharusnya. Terlalu banyak, malah. Dan itu salahku karena gak bisa lindungi kamu dengan baik."
Air mata mulai mengalir di pipi Laura—entah karena sakit fisik atau emosional. "Aku cuma pengen—aku cuma pengen ngebuktiin aku berharga—"
"KAMU BERHARGA!" Julian hampir berteriak, frustrasi dengan betapa tidak bisanya Laura melihat nilai dirinya sendiri. "Kamu sangat berharga, Laura! Bukan karena proyek atau data atau pekerjaan. Tapi karena kamu adalah KAMU!"
Laura menatapnya dengan mata yang penuh air mata, tidak percaya dengan kata-kata Julian.
"Aku sudah selesai dengan Maudy," lanjut Julian, memutuskan untuk langsung jujur. "Aku pergi ke tempatnya tadi malam dan aku akhiri semua. Karena aku gak bisa terus bohong—pada dia, pada kamu, terutama pada diriku sendiri."
Laura terdiam, napasnya tertahan.
"Aku mencintaimu, Laura," Julian akhirnya mengatakannya—kata-kata yang sudah terlalu lama tertahan. "Aku mencintaimu dengan cara yang gak pernah aku bayangkan bisa aku rasakan lagi. Dan aku minta maaf karena terlalu bodoh untuk menyadarinya lebih cepat. Minta maaf karena bikin kamu ngerasa kayak pilihan kedua, padahal kamu harusnya jadi satu-satunya."
Laura menangis diam-diam, tubuhnya bergetar dengan emosi yang terlalu besar untuk ditampung.
"Tapi aku gak minta kamu jawab sekarang," lanjut Julian, mengusap air mata Laura dengan ibu jarinya. "Aku gak minta kamu langsung maafin aku atau langsung percaya. Aku cuma minta—beri aku kesempatan untuk buktiin. Buktiin kalau aku serius. Buktiin kalau kamu adalah prioritas utama. Buktiin kalau aku gak akan bikin kamu ngerasa kayak bayangan lagi."
Laura menatapnya dengan mata yang penuh luka dan harapan yang bercampur jadi satu. "Bagaimana aku tahu ini bukan karena kamu kasihan? Karena aku terluka? Karena kamu ngerasa bersalah?"
"Karena aku sudah ngerasa seperti ini jauh sebelum kamu terluka," jawab Julian dengan jujur. "Aku cuma terlalu pengecut untuk akuin. Terlalu takut untuk lepas masa lalu. Tapi sekarang—sekarang aku gak takut lagi. Yang aku takut adalah kehilangan kamu."
Keheningan mengisi kamar, hanya terdengar bunyi mesin monitor yang teratur.
"Aku capek, Julian," bisik Laura akhirnya, suaranya hancur. "Aku capek mencintai sendirian. Capek berharap. Capek jadi yang kedua."
"Aku tahu," Julian memegang wajah Laura dengan kedua tangannya, memaksa Laura menatap matanya. "Dan aku janji—aku JANJI—kamu gak akan pernah ngerasa seperti itu lagi. Gak dengan aku. Gak kalau aku yang di sampingmu."
"Janji itu murah, Julian."
"Maka biarkan aku buktiin dengan tindakan," Julian menatapnya dengan intensitas yang membuat napas Laura tercekat. "Biarkan aku tunjukkan setiap hari, setiap saat, kalau kamu adalah segalanya bagiku. Biarkan aku jadi orang yang kamu layak dapat sejak sepuluh tahun lalu."
Laura menutup matanya, air mata terus mengalir. Sepuluh tahun menunggu. Dua bulan berharap. Dan sekarang, akhirnya, kata-kata yang selama ini dia impi-impikan keluar dari bibir Julian.
Tapi apa cukup? Apa kata-kata cukup untuk menyembuhkan semua luka?
"Aku butuh waktu," bisiknya akhirnya, membuka mata dan menatap Julian. "Aku butuh waktu untuk percaya lagi. Untuk gak takut lagi."
"Ambil waktu sebanyak yang kamu butuh," jawab Julian tanpa ragu. "Aku akan tunggu. Berapa lama pun. Karena kamu—kamu layak ditunggu."
Dan untuk pertama kalinya sejak malam yang hancur itu, Laura tersenyum—senyum kecil, rapuh, tapi tulus.
Mungkin mereka belum okay. Mungkin masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi setidaknya sekarang, mereka punya sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Kejujuran. Kepastian. Dan harapan untuk awal yang baru.