Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan ke Burga
Pagi-pagi buta aku berangkat menuju stasiun Ventbert mengingat tiket kereta api ke Burga sangat terbatas dan selalu terjual habis. Meski cuaca dingin dan fajar belum terlihat, tak menyurutkan tekadku untuk datang lebih awal. Aku tidak mau mengecewakan Daylen dan Gideon hanya gara-gara kehabisan tiket.
Benar saja, saat masuk stasiun sudah ada 5 orang yang mengantri membeli tiket kereta dengan tujuan Burga. Wajar saja, Burga adalah pusat perdagangan internasional semenjak perang berkecamuk. Kota itu adalah destinasi utama para pedagang di seluruh dunia.
Beberapa menit menunggu akhirnya giliranku tiba. Aku maju dan menyodorkan sejumlah uang. " Tolong satu tiket ke Burga, "
" Nama anda? " Tanya petugas loket sambil menyiapkan tiket pesananku.
" Yoha. "
Saat mendengar namaku, petugas loket tiba-tiba menatapku lalu mengambil buku di lacinya. " Boleh saya tahu pekerjaan anda tuan? "
" Aku seorang tentara, "
" Pangkat anda? "
" Sersan, "
Petugas itu menarik tiket pesananku dan menyodorkan 2 tiket yang sudah jadi.
" Saya hnaya membeli satu tiket, kenapa diberi dua? "
" Minggu lalu lalu ada tentara bernama Gideon memesan dua tiket ke Burga untuk nanti malam dengan atas nama Yoha. "
Gideon? Bisa-bisanya dia ke Ventbert tanpa menemuiku dan malah memesankan 2 tiket ini. Entah apa yang dia rencanakan tapi karena sudah dibelikan tidak mungkin jika tak kuambil tiket ini apalagi 1 tiket ke Burga harganya 100 Lyra.
" Terimakasih atas tiketnya. " Ucapku lalu berjalan meninggalkan loket karena sudah ada banyak orang yang mengantri lagi.
Di jalan pulang aku terus melihat 2 tiket di tanganku ini. Kenapa dia memesankan 2 tiket. Jika 1 tiket lagi untuk orang lain, mengapa juga di tulis dengan namaku. Tiket ini sangat mahal dan mubazir rasanya kalau aku hanya berangkat seorang diri.
Tapi jika mengajak orang lain, siapa?
Andai Silas masih hidup, pasti dia akan senang kuajak ke Burga.
Aku tak henti memikirkan tiket ini sampai di depan rumah dan kulihat pintu rumahku sudah terbuka. Aku berjalan lebih cepat ke rumah dan ketika ku tengok ternyata bibi Elis ada di dalam sedang memasak.
" Bibi? " Sapaku.
" Tumben sekali kau keluar pagi-pagi begini, "
" Aku habis membeli tiket kereta. " Jawabku sambil berjalan duduk ke kursi ruang tamu.
" Memangnya mau pergi ke mana sampai pagi-pagi sekali membeli tiketnya? "
" Aku mau menghadiri acara pernikahan temanku di Burga. Mereka bahkan repot-repot membelikanku dua tiket tapi aku bingung harus mengajak siapa, "
" Kenapa tidak mengajak Lena? Sudah sejak lama dia ingin ke Burga tapi aku dan Cooper tidak punya banyak uang untuk perjalanan ke sana. "
Bodohnya aku sampai lupa bahwa ada Lena. Aku menghela napas sambil mengelus dahi. " Benar juga kata bibi padahal ada Lena tapi aku malah bingung mau mengajak siapa, "
Bibi membawa semangkuk kari ke meja ruang tamu. " Kapan berangkatnya? Aku akan memberitahu dia, "
" Jam 7 malam nanti bi, "
" Baiklah aku pulang dulu, " Bibi melepas celemeknya dan berjalan mendekati pintu.
" Sebentar bibi ada sesuatu yang mau kuberikan kepadamu. " Aku beranjak dari duduk lalu berlari ke kamar untuk mengambil peti uangku.
Setelah kupikir matang-matang, aku memutuskan memberikan uang ini kepada keluarga orang tua angkatku. Aku menuruni tangga sambil membawa peti kecil ini kemudian ku letakkan di atas meja tepat di samping semangkuk kari yang sudah bibi siapkan.
" Peti apa ini Yoha? " Tanya bibi dengan wajah kebingungan.
Aku membuka petinya dan terlihat setumpuk uang kertas. " Ini gajiku selama aku menjadi prajurit. Semuanya ada sekitar hampir 400 ribu Lyra. Aku tidak tau harus kuapakan uang ini apalagi aku juga masih menerima gaji setiap bulan. Jadi akan lebih berguna kalau aku berikan ke bibi. "
" Apa..! Sebanyak ini? Jangan bercanda Yoha. " Kejut wanita paruh baya yang kupanggil bibi Elis itu.
" Serius bibi. Aku sudah mendengar dari Lena, kalau bibi punya impian untuk membuka kedai kue kan? Dengan uang ini bibi bisa merubah bekas klinik bibi dan oaman menjadi kedai kue. " Balasku seraya menutup kembali peti itu. " Aku juga ingin meminta satu permintaan kepada bibi, "
" Apa permintaanmu ada hubunganya dengan obat penenang di bawah bantalmu? "
Aku tersenyum kecil dan sedikit kaget bibi menemukan obat itu. " Bibi sudah tau ya, "
" Kenapa tidak berhenti saja dari militer? Bukankah kau sudah lelah? " Bibi duduk di sampingku dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kali aku melihat bibi seperti ini.
Padahal aku hanya dia rawat selama 4 tahun, tapi aku dapat melihat rasa khawatir dan takutnya.
" Maaf bi, selama pembunuh ibuku masih hidup aku tidak akan pernah dan tidak akan bisa berhenti. Walau harus kulewati ribuan medan perang sekalipun, aku tidak akan mundur dan aku pasti akan membalaskan kematian ibuku. " Jawabku dengan tekad kuat seraya membalas tatapan bibi Elis.
Bibi Elis menghela nafas panjang, " Baiklah jika itu keputusanmu. Aku hanya bisa mendukung dan berdoa agar kau selalu diberi keselamatan. "
" Tolong rahasiakan ini dari paman dan Lena. "
" Ya, ku yakin mereka berdua akan sangat mengkhawatirkanmu jika tau. Dan terimakasih, dengan uang ini aku bisa mewujudkan impianku dan Lena. "
Aku tersenyum kecil lalu menyentuh bahu ibu angkatku itu. " Aku yang harusnya berterimakasih. Bibi dan paman telah merawatku dan membuatku punya tempat yang bisa kusebut rumah dan keluarga lagi, walau hanya empat tahun aku merasakan itu. "
Bibi Elis menyentuh pipiku, air matanya berlinang keluar. " Meski kau bilang begitu, sebagai seorang ibu sangat sedih rasanya jika anaknya cepat atau lambat akan pergi ke medan perang lagi. "
" Bibi tidak perlu berfikir sejauh itu. Sekarang aku di sini dan bibi bisa bersama anakmu ini setiap hari. " Balasku dengan memegang tangan bibi.
" Tolong jaga dirimu dan jaga Lena saat di Burga. Kalau begitu aku pulang dulu. " Pungkas bibi yang berjalan keluar sambil melambaikan tangan.
" Terimakasih bibi atas makananya. " Sahutku.
Setelah menyantap sarapan yang dibuat bibi, aku kemudian pergi ke perpustakaan kota. Kebetulan perpustakaan Ventbert buka 24 jam. Mereka buka selama itu agar masyarakat bisa mengunjungi dan membaca buku kapanpun selain itu dari yang dijelaskan dokter Kai, membaca buku bisa mengurangi setres.
Aku ke sana untuk membaca buku tentang klan Akaichi untuk mencari petunjuk tentang kebutaan Lena. Sebenarnya beberapa hari lalu aku sudah membaca dan mendapatkan beberapa petunjuk salah satunya tentang mata air surga yang konon disimpan di rumah pemimpin klan Akaichi. Air surga sendiri dikatakan bisa menyembuhkan segala penyakit dan membatalkan kutukan klan.
Tapi, keberadaan air itu masih belum bisa dipercaya karena tidak ada yang pernah menemukanya dan entah terbuat dari apa karena jelas nama itu hanya julukan semata.
Dari buku yang kubaca, beberapa peneliti pernah mencari keberadaan air tersebut dan hasilnya nihil karena konon reruntuhan klan Akaichi sering didatangi para bandit yang mencari sisa-sisa harta klan.
Tapi, aku mendapat petunjuk tentang ramuan rahasia klan Akaichi yang dikatakan hanya boleh diminum oleh pemimpin klan saja dan kemungkinan besar, ramuan itulah yang kemungkinan diminum ibu kandung Lena. Dan jika benar, artinya mata Lena bisa sembuh dengan obat air surga itu. Hanya saja dikatakan kalau bagi yang memiliki energi sihir maka bakatnya akan lenyap setelah meminum air itu.
Aku sudah mendapat petunjuk lengkap tinggal mencari waktu yang tepat untuk pergi ke reruntuhan di bukit Lurv. Hanya saja wilayah itu dibawah kekuasaan Varaya. Mungkin akan jadi misi yang sulit.
Benar kata dokter Kai walau aku sibuk memikirkan sesuatu saat membaca buku, tapi ini seperti hiburan bagiku dan melupakan sesaat suara berisik di kepalaku.
***
...Tok... Tok... Tok......
Kudengar suara ketukan pintu rumahku saat sedang mempersiapkan perlengkapan untuk ke Burga. Aku telat mempersiapkannya karena seharian penuh kuhabiskan waktuku di perpustakaan.
Segera aku ke ruang tamu dan membuka pintu. Dari balik pintu, Lena sudah berdiri dengan gaun hitam sederhana dan membawa tas kecil. Dia cukup cantik memakai baju itu walau tanpa riasan apapun di wajahnya.
Walaupun terlihat cantik, aku pun terdiam sejenak dan memegang dahiku.
" Kenapa kakak diam? Apa ada yang salah dengan penampilanku? " Tanya Lena.
" Tidak, kau terlihat cantik, tapi pesta pernikahanya masih 2 hari lagi selain itu kita akan tiba di Burga besok pagi. " Jelasku.
" Terus bagaimana ini? Ibu tidak memberitahuku tentang itu. Apa aku ganti pakaian dulu dan membawa tas lebih besar? " Kata Lena dengan panik.
" Kakak jangan diam teru. Aku harus bagaimana? " Lanjut Lena kali ini dia sepertinya mulai kesal.
" Kalau ini musim panas tidak masalah kamu memakai baju itu, tapi masalahnya sekarang musim dingin. Tunggu di sini biar kuambilkan pakaian hangatku. " Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengambil mantel militer yang kugantung di lemari kamar.
Beberapa menit kemudian aku kembali lalu mengenakan mantelku ke Lena. " Untuk baju-baju yang lain kita beli di Burga saja. "
" Baiklah. Kalau begitu mari berangkat. "
Kami cepat-cepat menuju stasiun karena kereta sebentar lagi berangkat. Aku menggandeng tangannya sambil mendengarkan dia berbicara banyak hal hingga tanpa sadar, kereta kuda yang kami sewa tekah sampai di stasiun.
Kereta ke Burga hanya memiliki 6 gerbong saja dan saat kami berdua masuk hanya tersisa 2 kursi terakhir di gerbong paling belakang. Tidak seperti kereta api yang mengarah ke kota lain yang berdesak-desakan, kereta jurusan Burga hanya boleh diisi penumpang sesuai jumlah kursi duduk saja. Rata-rata para pejabat atau pedagang saja yang mau bepergian ke Burga dengan kereta api. Sementara orang-orang biasanya ke Burga menggunakan kereta kuda dan rela menempuh jarak yang jauh selama berhari-hari karena memang harga tiket mahal dan belum bertambahnya kereta api dengan jalur ke Burga.
Di dalam gerbong aku memasukkan tasku ke bawah kursi dan kupersilahkan Lena duduk di samping jendela. Dia tersenyum manis dengan menambahkan candaan. Aku merasa semakin akrab dengan Lena tapi juga masih merasa bingung dengan apa yang kurasakan.
Aku melihat Lena menatap keluar jendela dengan senyum kecil di wajahnya, seakan-akan dia sedang menikmati pemandangan dari kebutaannya. Kereta api berangkat tepat pada waktunya dan aku merasakan getaran mesin yang kuat saat kereta mulai berjalan. Suara roda yang berderit terdengar di seluruh gerbong, namun tetap saja tidak mengganggu kenyamanan kami.
" Hari ini dingin sekali ya? " Gumamku mencoba memecahkan suasana canggung yang beberapa saat tadi muncul antara kami.
" Iya kak. Oh ya mantel hangat yang kakak pinjamkan berapa harganya? Seumur hidupku ini pertama kali aku memakai pakaian tebal dan hangat begini, " tutur Lena sembari mengusap jaket yang dia pakai.
" Itu mantel militer dan tidak ada yang jual. " Jawabku.
" Pantas hangat. Apakah di medan perang sedingin itu sampai dibuatkan mantel begini? "
" Mantel militer ada dua. Untuk formalitas dan untuk kebutuhan perang. "
" Jadi yang kupakai adalah untuk acara formal ya? "
Aku mengangguk beberapa kali. " Ya itu yang biasa kugunakan saat ada acara militer saja, "
Perjalanan menuju Burga memakan waktu yang cukup lama karena harus melewati jalur memutar dan singgah di beberapa kota dulu. Itulah mengapa kereta ini baru sampai besok pagi. Namun aku tidak merasa bosan. Aku menikmati setiap momen yang kami lewati bersama, dari pemandangan di luar jendela hingga percakapan ringan yang kami lakukan di dalam kereta.
^^^To be continue^^^