NovelToon NovelToon
Istri Siri Mas Alendra

Istri Siri Mas Alendra

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Duda / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:26.3k
Nilai: 5
Nama Author: fitTri

Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.

Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesawat Kertas 2

🌸

🌸

“Sudah selesai, Syl?” Seperti biasa Alendra turun dalam keadaan sudah rapi. Stelan jas lengkap dengan dasi, rambut hitam lurusnya yang klimis dan aroma maskulin segera menguar memenuhi ruangan. Pesona eksekutif mapan memang selalu terpancar dari dirinya. 

“Sudah, Pak. Sama kopinya juga. Tapi hati-hati takutnya masih panas.” Asyla yang masih sibuk di dekat kompor pun menjawab, dengan Tirta yang dalam gendongan.

“Kamu sedang apa?” Biasanya wanita itu mendekat ketika dirinya sampai di ruang makan untuk menyodorkan sarapan, tapi kali ini segalanya sudah siap di meja.

“Lagi angetin sayur yang kemarin, Pak.” Asyla tanpa menoleh.

“Memangnya masih ada?”

“Ada dikit. Kalau misalnya buat makan Tirta boleh?” Asyla yang semula fokus pada panci berisi sayur sop itu mendongak, namun dia hampir saja terlonjak karena terkejut saat Alendra sudah berada di dekatnya.

“Kamu masak sambil gendong Tirta, apa nggak bahaya?” Kedua tangan pria itu terulur untuk meraih balita dalam gendongan Asyla.

“Nggak, Pak. Saya udah biasa kok.” Namun wanita itu sedikit mundur untuk menghindar. Rasanya sikap majikannya sudah terlalu jauh, dan mengapa pula dia berbuat begitu?

“Kalau belum selesai, sini saya pegang dulu Tirta nya.”

“Umm … nggak apa-apa, Pak.”

“Bahaya. Anak seumuran Tirta sedang aktif-aktitnya. Bagaimana kalau tiba-tiba dia megang panci panas?”

“Udah biasa kok, dan dia ngerti kalau ssya lagi kerja begini suka diam.”

“Apa? Kamu sering gendong Tirta kalau lagi masak begini?”

“Ngga sering juga. Tapi kadang-kadang kalau dia lagi pengen digendong ya saya gendong.”

“Tapi ‘kan bahaya, Syl. Bagaimana kalau dia kecipratan minyak panas?”

“Selama ini nggak pernah kok.”

“Mungkin belum, bukan berarti nggak akan. Lebih baik mencegah daripada kejadian. Sini, Tirta.” Alendra masih berusaha meraih anak itu dari dekapan ibunya.

“Nggak usah, Pak. Ini sedikit lagi selesai kok. Lagian nanti pakaian Bapak kusut kalau gendong Tirta.” Namun Asyla pun tetap berusaha menolak. Dia tidak mau anaknya merasa terlalu nyaman bersama orang yang bukan siapa-siapanya. Lagipula tidak etis juga jika sang majikan menjadi begitu dekat dengan anak pembantunya. Dia sadar diri, apalagi ini menyangkut soal status sosial.

“Nggak apa-apa, selesaikanlah dulu.” Tetapi Alendra tidak mau kalah. Lalu terjadilah perebutan di antara dua orang dewasa tersebut.

“Mmm … mau Bapak!!” Lalu rengekan Tirta membuat mereka terdiam. Kedua tangan bocah itu terulur ke arah Alendra tanda dia menginginkan pria itu untuk menggendongnya. Dan hal tersebut menerbitkan senyum penuh kemenangan dari majikannya tersebut.

“Nah, saya bilang juga apa, kan? Tirta nya juga mau sama saya.” Alendra pun kini benar-benar merebut Tirta dari gendongan Asyla.

“Sana selesaikan dulu pekerjaanmu!” Pria itu segera membawa anak art nya tersebut duduk di kursi makan.

***

“Tumben Bapak beli di kantin? Nggak ada yang bikinin bekal, Pak?” Listy yang menemukan Alendra sedang mengantri di prasmanan pun segera mendekat.

“Sengaja nggak bawa tadi.” Pria itu menjawab. Nampan di tangannya hanya berisi botol air mineral dan mie goreng saja. 

“Tumben?”

“Iya, art saya lagi repot.”

“Repot apa? Bukankah itu memang pekerjaannya, ya? Seharusnya nggak jadi alasan, kan?” Listy pun mengisi nampan nya dengan beberapa jenis makanan.

“Ya namanya juga kerjaan rumah tangga. Kan nggak ada selesai nya. Hari ini dikerjakan besok ada lagi. Begitu seterusnya.”

“Makanya saya bilang, kan udah kerjaannya. Seharusnya bisa memanage nya sendiri.”

Alendra hanya mendenguskan napas. Dia terdiam sebentar untuk melihat tempat mana yang masih kosong. Dan pada saat menemukan kursi pavoritnya dia sedikit tersenyum.

“Sebelah sana masih kosong, Pak.” Listy menunjuk ke arah yang sama, lalu dia mendahului pria itu berjalan ke sana. Segera duduk di kursi seperti biasa sementara Alendra mengikutinya dengan malas. Terpaksa karena sepertinya sudah tidak ada lagi tempat yang kosong.

“Dasar tidak sopan!” gerutunya dalam hati dengan wajah masam yang begitu kentara.

“Malam tahun baru nanti Bapak ada rencana?” Listy memulai obrolan begitu mereka berhadapan.

“Rencana apa?”

“Nggak tau, mungkin liburan?”

“Liburan?”

Perempuan 27 tahun itu mengangguk.

“Liburan ke mana?”

“Nggak tau, mungkin ke Lembang. Bukannya tempat tinggal Bapak dekat ke Lembang, ya?”

“Ya sepertinya. Tapi belum tau juga. Saya belum ke mana-mana sejak pindah ke sini.”

“Wah? Sayang sekali. Di sana ‘kan banyak tempat liburannya, Pak.”

“Iya, banyak. Tapi macet juga. Jalan depan villa saya juga kadang sering macet kalau mus liburan. Kan malas kalau keluar malah lama di perjalanan.”

Listy tertawa, “jadi Bapak nggak pernah ke mana-mana dong?”

Alendra menggelengkan kepala sementara mulutnya bergerak mengunyah makanan.

“Kalau misalnya malam tahun baru nanti saya ajak pergi mau nggak?” Tanpa basa-basi perempuan itu langsung mengutarakan maksudnya.

”Hum? Pergi ke mana?”

“Ya jalan-jalan. Liburan tahun baru gitu.”

“Nggak tau ah, saya malas. Macet dan capek juga. Mending tidur.”

Listy terdiam sebentar. Pikirannya berputar, dengan cara apa lagi agar dirinya bisa membuat pria di depannya mau setidaknya pergi bersama. Rasanya gemas sekali karena setelah beberapa kali memberi kode tetapi dia tidak pernah mengerti.

“Saya sudah selesai. Duluan, ya?” Alendra bangkit setelah meneguk habis air mineralnya. Membawa nampan kosong ke sisi lain kasir kemudian pergi tanpa pamit kepada Listy yang tertegun di tempat duduknya.

“Aneh sekali laki-laki itu, ya? Kenapa dia nggak paham-paham sih?” 

***

Tirta yang semula hanya duduk di teras dengan cepat merangkak ketika melihat mobil memasuki carport, sementara Asyla buru-buru menutup pintu gerbang.

Alendra segera turun, dan dengan langkahnya yang panjang-panjang dia segera menghampiri balita beumur satu tahun tersebut.

“Kenapa kamu membiarkan Tirta merangkak di sini?” Pria itu berjongkok setelah menyerahkan tas kerjanya kepada Asyla, dan dengan cekatannya dia menepuk-nepuk celana yang dikenakan Tirta. Membuang daun kering dan rumput kecil yang semula menempel.

“Paving blok nya kotor, Nak. Seharusnya kamu diam saja di teras.” Lalu Alendra bangkit sambil menggendongnya.

“Pesawat. Bapak, pesawat.” Anak itu berceloteh sambil menepuk-nepuk dada Alendra. Dia ingat kemarin sore lelaki berjas hitam itu mengeluarkan mainan kertasnya dari sana.

“Kamu ingat, ya? Hahaha.” Alendra tertawa. Dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan riang menanggapi segala ucapan anak itu.

“Pesawat, pesawat!!” 

“Iya, iya tunggu.” Lalu dia menurunkannya ke sofa. Melepaskan jas dan dasi, kemudian membuka kancing bagian atas pada kemeja dan lengannya.

Setelahnya, Alendra duduk di samping Tirta seraya mengeluarkan sesuatu dari saku jas. Berupa mainan pesawat kertas yang dia janjikan kemarin, tapi kali ini bentuknya lebih besar.

“Yeeeee, pesawat!!” Membuat Tirta berjingkrak kegirangan.

Ada rasa bahagia di dalam dada saat melihat anak itu bereaksi. Kebanggaan juga muncul setelahnya karena dapat membuat orang lain merasa gembira. Padahal dirinya hanya melakukan hal sederhana.

“Padahal nggak usah.” Asyla yang kembali ke lantai bawah setelah meletakkan tas di ruang kerja segera berkomentar.

“Apa?” Membuat Alendra yang sedang menikmati momen itu memalingkan perhatian.

“Bapak nggak usah menuruti kemauan Tirta.”

“Kenapa nggak usah? Cuma pesawat kertas kok, bukan apa-apa.”

“Tetap saja. Itu artinya Bapak telah membuat Tirta berpikir kalau dia bisa mendapatkan sesuatu yang diminta.”

“Berat sekali pikiran kamu, Syl. Padahal bukan hal besar. Bayangkan kalau hari ini saya nggak bawa pesawatnya, gimana kecewanya Tirta waktu dia bertanya.”

“Ya nggak apa-apa, namanya juga anak kecil.”

“Tapi dia ingat.”

“Dia bakalan cepat lupa, Pak.”

“Tapi perasaannya kecewa.”

“Kecewanya akan cepat reda.”

Alendra terdiam.

“Maaf. Bapak sangat baik sama kami. Memperlakukan saya dan Tirta seolah kami ini bukan orang asing, padahal kita kenal hanya karena urusan pekerjaan. Tapi saya takut kalau itu akan membuat kami terlalu nyaman, terutama Tirta.”

“Maksud kamu?” Kening Alendra berkerut tajam, sedangkan Asyla hanya tersenyum.

“Bapak adalah majikan saya, sedangkan saya hanya pembantu. Jadi saya mohon jangan terlalu baik sama kami, terutama sama Tirta.”

“Saya nggak terlalu baik. Saya hanya ingin jadi manusia yang memperlakukan manusia lainnya dengan baik.”

“Tapi saya pembantu.”

“Memangnya kalau pembantu tidak boleh diperlakukan baik? Mama dan papa saya bahkan menganggap keluarga pak Pardi seperti saudaranya. Ingat membelikan mereka baju kalau lebaran, mau membelikan kambing buat kurban kalau idul adha, bahkan mama membantu membayar pendidikan anak-anaknya.”

“Kalau itu ‘kan beda. Pak Pardi sudah lama ikut keluarga Bapak, sedangkan saya?”

“Apa bedanya? Kalian sama-sama manusia.”

Asyla menarik dan menghembuskan napas pelan-pelan.

“Orang tua saya nggak pernah mengajarkan untuk bersikap seperti itu pada siapapun. Mereka malah berpesan agar saya selalu baik sama orang lain. Apalagi sama pegawai yang di rumah. Karena hidup kita tergantung sama mereka. Urusan makanan, pakaian dan kebersihan mereka yang urus. Ya, walaupun dibayar tapi bukan berarti kita bisa seenaknya.”

Asyla terdiam.

“Lagipula saya suka anak-anak. Kamu tau kenapa?”

“Mana ada orang yang nggak suka anak-anak?”

“Ada. Saya yakin ada.”

“Nggak mungkin.”

“Ada, Syl. Contohnya mantan istri saya.”

“Hah?”

“Dia nggak suka anak-anak, dan nggak mau punya anak. Makanya kami memutuskan untuk nggak punya anak. Alasannya takut nggak bisa mengurus dan mendidik mereka. Awalnya karena trauma masa lalu sehingga itu yang menjadikannya menganut childfree.”

“Childfree?”

“Bebas anak kalau secara harfiah. Tapi intinya, dia tidak bersedia punya anak karena berbagai alasan dalam hidupnya. 

Takut tidak bisa mengurus, takut menyakiti, takut menelantarkan, dan selebihnya tidak mau diganggu dengan rengekan dan permintaan receh, dan lain-lain.”

“Mau hidup bebas.”

“Ya, begitulah.”

“Terus Bapa setuju?”

“Ya setuju.”

“Apa enaknya menikah tapi nggak mau punya anak? Terus tujuan nikahnya mau apa? Biar bisa berhubungan suami istri doang?” Dengan polosnya Asyls berbicara.

“Pikiran sebenarnya hanya dia yang tau, Syl. Tapi bukankah setiap orang punya hak untuk mengatur hidupnya masing-masing? Dan dia juga bebas untuk melakukan apapun yang diinginkan.”

“Kok aneh ada orang seperti itu?”

“Tidak aneh. Karena kehidupan di kota di zaman sekarang memang banyak yang seperti itu. Alasannya macam-macam.”

“Dan alasan istri Bapak?”

“Dia trauma. Dulu orang tuanya berpisah dan tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengurusnya. Dia pindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain tapi tidak pernah merasa nyaman.”

“Duh?”

“Ya … walaupun pada akhirnya dia hamil juga.”

“Lah?”

“Tapi sama orang lain. Hahaha.” Alendra tertawa getir.

“Kok bisa?”

“Bisa, Syl. Kalau nafsu sudah menguasai akal dan pikiran, apapun yang semula tidak mungkin bisa dilakukan menjadi mungkin.”

“Istri Bapak selingkuh?”

“Begitulah.”

“Terus dia hamil?”

“Ya.”

“Sama selingkuhannya?”

“Iya.”

“Mereka nikah nggak?”

“Sudah menikah begitu kami bercerai.”

“Ya Allah …. Sekarang anaknya sudah besar?”

“Belum lahir, masih dalam kandungan. Kalau dilihat dari besar perutnya mungkin sebentar lagi.”

“Astagfirullah!! Baru dong?”

Alendra menganggukkan kepala sementara Asyla menatap wajah majikannya itu lekat-lekat.

“Jangan kasihani saya, saya nggak apa-apa kok. Cuma … agak sakit di sini karena setelah berkorban begitu banyak ternyata saya dikhianati.” Pria itu meraba dada sebelah kirinya sambil terkekeh. Ada rasa ngilu setiap kali dia mengingat apa yang telah dilakukan demi istri tercinta walau nyatanya berakhir sia-sia.

“Saya nggak kasihan, cuma —”

“Wajah kamu nggak bisa bohong, Asyla. Bukankah saya terlihat menyedihkan?”

“Nggak.” Asyla menggelengkan kepala. “Bapak ganteng, mapan juga. Punya rumah besar dan mobil yang bagus. Pasti banyak perempuan yang mau dinikahi.” 

“Hmm ….”

“Nggak apa-apa, Pak. Cuma cerai, bukan mati. Bapak masih bisa nikah lagi.” Wanita itu dengan penghiburannya.

“Kamu pikir segampang itu?”

“Ya gampang. Bapak nggak punya anak, jadi pasti nggak ribet. Nggak harus memikirkan apa-apa selain diri Bapak sendiri.”

Alendra merebahkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan dilipat di dada. “Kamu sendiri kenapa nggak nikah lagi? Kan masih muda. Gampang juga. Bukankah kemarin juragan Somad itu mau menikahi kamu?”

“Nggak mau, Pak. Apalagi sama juragan Somad.”

“Iya. Kenapa?”

“Selain sudah tua dia istrinya banyak. Jahat juga sama orang. Dia suka minjemin uang tapi bunganya besar, kalau nggak bisa bayar dia ngambil rumah atau tanah.” 

“Memangnya selain juragan Somad nggak ada yang mau sama kamu?” Alendra terus bertanya, dan dka mulai menikmati percakapan ini.

“Ada beberapa orang. Kakak ipar saya bahkan terang-terangan nawarin nikah.”

“Terus kenapa nggak diterima?”

“Dia punya istri, yang tke itu.”

“Oh, iya iya. Nah, yang lainnya?”

“Saya nya yang takut.”

“Takut kenapa? Seperti perawan saja takut!” Alendra berkelakar. Senyaman ini obrolan mereka walaupun yang dibahas adalah hal yang sedikit pribadi.

“Saya kan punya anak.”

“Apa hubungannya?”

“Saya takut suami baru nggak sayang sama Tirta.”

“Nggak mungkinlah. Kalau sayang dan mau menikahi ibunya, pasti sayang juga sama anaknya.”

“Belum tentu, Pak. Kebanyakan cuma mau sama ibunya, sedangkan sama anaknya nggak.”

“Oh ya?”

“Iya. Ada tetangga saya yang gitu. Pas sebelum nikah janji mau urus anaknya sama-sama. Tapi setelah nikah malah nyuruh anaknya dititip di neneknya karena nggak mau terganggu.”

“Duh?”

“Makanya, mendingan nggak punya suami aja daripada harus jauh dari anak.”

“Kalau ada yang bisa terima kamu sepaket dengan Tirta bagaimana?” Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, membuat Alendra terdiam karena terkejut dengan ucapannya sendiri.

“Ya itu lain cerita, Pak.”

“Kamu … mau menikah lagi?” Lagi-lagi Alendra merasa terkejut dengan ucapannya. Bisa-bisanya dia berkata demikian pada sang asisten rumah tangganya sendiri.

“Nggak tau. Mungkin kalau dia bisa sayang sama Tirta akan saya pertimbangkan. Tapi ….”

Kedua orang itu terdiam.

“Nggak mungkin, Pak.”

“Kenapa?”

“Kepikiran lagi. Kalau misal ada yang bisa  nerima, terus keluarganya gimana? Karena jarang sekali ada yang bisa terima seorang janda sama anaknya.”

“Pikiranmu itu ….”

“Serius. Saya ini nggak punya rumah, nggak punya siapa-siapa. Terus kalau nikah lagi mungkin harus keluar dari sini. Mending kalau suami dan keluarganya bisa terima saya dan Tirta dengan baik. Tapi gimana kalau nggak bisa? Saya takut dapat keluarga seperti Ambu.” Ada lengkung senyum pilu terbentuk di bibirnya, dan itu membuat Alendra merasa terenyuh.

“Lagian … saya punya hutang sama Bapak, dan 20 juta itu bagi saya sangat besar. Jadi, gimana mau pergi dan ninggalin hutang? Saya takut hidup nggak berkah.” Asyla meraih tubuh kecil Tirta dari sofa.

“Jadi saya minta, Bapak jangan berlebihan baiknya. Apalagi sama Tirta. Karena waktu saya masih panjang untuk kerja biar bisa bayar hutang. Saya takut selama itu bisa membuat kami terlalu nyaman, Pak.” Lalu dia beranjak meninggalkan Alendra.

🌸

🌸

Ehm ...🤭🙈

1
Attaya Zahro
Ngelunjak banget sih si Listy..dah numpang tahun barunan bisa²nya mau terima beres aja.Dikasih jantung minta hati,dasar ga tau diri.
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Dzulfan Ahlami
cie cie akuh GK rela kamu disuruh2 sama aku juga gak mau 🤪🤪🤪love love ah kang duda sekebon pisang
rahmalia maricar
suruh masuk lagi syla nya mas Ale,, jangan sampe disuruh² sama orang laen apalagi ama si listy,, ga rela pokokna
rahmalia maricar
ini si ulet bulu ngapain lagi sih kegatelan banget nyari mas Ale smpe ke paviliun segala tibang nyari gula,, sok bossy lagi bakar² pake minta dibantuin,, dikasih numpang taun baruan juga harusnya udah sukur jgn ngelunjak 😏😏
Al fathiya
ya ampun... udah sedekat itu adek bayik sama si bapak, gimana nanti tanggapan teman-teman bapak Ale ya
Ratu Tety Haryati
Terima kasih Upnya, Teh Fit🥰🥰🙏

Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.
Djuniati 123
lahhh udah pantes tuh jd Bpk mas ale😁
𝐙⃝🦜尺o
jadi bapak beneran buat Tirta aja pak ale
Annie Gustava
dan bunga2 pun mulai bersemi ya pak ale. duh tirta knp ngomongin nen depan bapak seh, kan jd salting
aurel chantika
tolong ya Tirta kalau Bilang nen jangan didepan pak ale ntar dia pingin juga nen 🤣🤣🤣🤣
Mammi Rachmah
Bapak Al dgr kta Nen lngsng traveling, jdi nya lngsng ngjk Tirta maen pswat tempur 😂 Mak fit kurang nih bacanya bntar amat y double up. dong😘🤭
Ruwi Yah
setiap kali mendengar tirta bilang nen otak kamu udah traveling ya pak duda
☠ᵏᵋᶜᶟ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳ɳҽˢ⍣⃟ₛ♋
Ale udah cocok jadi bapak
☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ
Ale langsung aja ngajak main Tirta begitu denger Tirta ngerengek minta nen🤣🤣
takut jantung gak aman lagi ya Le
Rose Dee
lanjuuutt mak
buracitooo
Mas Ale simulasi jadi bapaknya Tirta.
nanti Asyla beres² rumah, Mas Ale ngasuh Tirta..
Dzulfan Ahlami
bapak maneger udah Spil Spil jadi bapak latihan ya nanti klu udah sah udah pinter ngemong anak Ama ibu ya🤭🤭🤭
Endang Priya
si bapak kala dengar kata nen. mendadak oleng dan tegang rupanya. saling mengisi kekosongan satu sama lain. Tirta dan bapak Ale.
rahmalia maricar
mendadak panik denger kata nen ya mas Ale 😅😅😅
rahmalia maricar
Kata nen bikin mas dude jadi traveling 🤣🤣😂😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!