NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:58.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jarak yang tak bernama

Satu bulan telah berlalu sejak malam itu—malam ketika Rendi memeluk Alisya tanpa kata, menyembunyikan sesuatu yang belum sanggup ia ceritakan. Dan kini pagi datang dengan tenang, tapi udara di dalam rumah justru terasa padat, seolah waktu sendiri enggan bergerak.

Di kamar mereka yang dipenuhi aroma pakaian bersih dan debu matahari pagi, Alisya membungkuk, melipat baju-baju Rendi satu per satu. Tangannya cekatan, tapi matanya kadang melayang ke arah suaminya yang hanya berdiri menatapnya dari dekat jendela. Wajah Rendi tampak sayu, seolah pikirannya tidak benar-benar ada di sini—melainkan melayang ke tempat yang jauh, ke waktu yang belum pasti.

Alisya menyadarinya, namun ia memilih diam. Ia tahu, cinta tak selalu bisa memaksa mulut untuk berkata-kata.

“Sudah semua ini, Yah,” ucap Alisya pelan, menyerahkan koper yang sudah tertutup rapi. Suaranya datar, tapi matanya mengandung haru yang tak bisa disembunyikan.

Rendi menerimanya, tapi belum sempat menjawab, sepasang tangan mungil memeluk kakinya erat.

“Yah... Ayah kenapa sekarang kerja lama banget? Nggak kayak dulu…” tanya Rasya, dengan wajah polosnya yang tak tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa. Matanya memandang Rendi dengan ketulusan yang menelusuk.

Rendi menunduk, memeluk Rasya erat. Suaranya nyaris patah saat menjawab, “Iya, sayang… Ayah harus kerja agak lama. Tapi kamu janji ya, jagain Bunda. Ayah titip kamu di rumah Nenek dulu.”

Rasya mengangguk, meski wajah kecilnya tampak tak rela. Di sisi lain, Alisya mendekat, memeluk Rendi perlahan.

“Hati-hati, sayang,” bisiknya, menahan getar di dada.

Rendi mengangguk, menggenggam tangan istrinya. Hangat, seperti biasanya—tapi ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mulai menjauh.

Saat hendak berbalik, Alisya berkata, “Nanti aku ingetin kamu soal suplemen lewat Bunga ya. Biar kamu nggak lupa.”

Rendi menoleh. “Ke aku aja, sayang…” lirihnya, seraya mengusap kepala Alisya dengan lembut. “Aku masih ingin kamu yang urus aku, bukan orang lain.”

Namun kalimat itu menggantung di udara. Karena keduanya tahu, jarak telah mulai tercipta—dan kadang, bukan karena keinginan.

Di perjalanan menuju bandara, Rendi berhenti di sebuah sudut jalan, tempat di mana Bunga telah menunggu. Bunga mengenakan blazer abu-abu sederhana dan membawa tas laptop. Wajahnya bersih, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketegangan.

Mereka tak banyak bicara. Mobil melaju, dan hanya suara mesin serta napas yang teredam yang menemani perjalanan.

“Maaf, Pak…” lirih Bunga akhirnya, menatap jendela. “Seharusnya kita bisa lebih profesional soal proyek ini. Tapi saya tahu... saya salah. Mungkin caranya.”

Rendi tak menjawab. Wajahnya menyimpan amarah yang dingin, bukan karena kebencian—melainkan karena kecewa yang belum punya nama.

Sesampainya di bandara, mereka menitipkan mobil, dan melangkah menuju gate keberangkatan. Rendi membawa kopernya sendiri, juga koper kecil milik Bunga. Ia tak ingin terlihat seperti pria yang bisa menyepelekan, meski hatinya sedang compang-camping.

Mereka duduk di kelas bisnis, satu baris berdua, namun rasanya seperti duduk berjauhan. Bunga menoleh, melihat Rendi termenung dengan pandangan kosong ke arah jendela.

Ia tak sanggup menahan kantuk. Namun saat ia terlelap tanpa selimut, sebuah sentuhan lembut membuatnya membuka mata perlahan. Selimut telah menyelimuti tubuhnya—bukan dari pramugari, melainkan dari tangan yang pernah membuatnya merasa aman.

Rendi duduk diam, masih menatap keluar. Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Bunga. Ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar, “Maaf, Mas…”

Rendi menoleh sedikit, tapi tidak menatapnya langsung.

“Ini bukan sepenuhnya salah kamu… atau mungkin memang ini salahku,” ucapnya perlahan. “Dua minggu terakhir ini... semuanya berubah. Hidupku… berubah.”

Ia menarik napas panjang.

“Alisya pun… dia berubah. Tapi aku tahu, dia berubah karena aku duluan yang menjauh.”

Bunga menggigit bibirnya. Ia ingin bicara, tapi tahu ini bukan waktunya.

Rendi menutup matanya sejenak. “Biar aku selesaikan dulu proyek ini. Setelah itu… aku akan bicara pada Alisya. Tentang semuanya. Tentang rentang ini… tentang kamu dan aku.”

Suara roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan baru dimulai—bukan hanya ke Yogyakarta, tapi ke arah takdir yang belum mereka tahu akan bermuara ke mana.

Dan langit pun menutup hari dengan warna kelabu. Sunyi, tapi penuh tanda tanya.

...****************...

Matahari Yogyakarta terasa lebih terang dari biasanya. Di bawah langit biru yang nyaris tak berawan, Rendi berdiri di tengah-tengah lahan proyek, mengenakan helm putih dan rompi pengaman. Matanya menatap tajam rencana bangunan yang tergelar di atas meja lipat. Wajahnya serius, dan setiap geraknya terukur. Di tempat ini, ia bukan suami, bukan ayah, bukan laki-laki dengan perasaan yang membias. Ia hanya Rendi—manajer proyek yang harus menyelesaikan semuanya tepat waktu.

“Pak Rendi, ini denah plumbing ada yang nggak cocok sama realisasi fondasi lantai dua,” kata Suryo, salah satu teknisi senior.

Rendi mendekat, mengamati gambar teknis, lalu menoleh ke Mandor. “Tolong tim plumbing diubah jalurnya mulai dari titik sini. Kita nggak bisa ubah fondasi karena sudah cor. Siapkan laporan revisi malam ini.”

“Baik, Pak.”

Sesekali, ia melihat ke arah Bunga yang tengah berdiskusi dengan tim administrasi dan pengawas vendor. Wanita itu tampak sibuk—terlalu sibuk, bahkan. Sudah dua hari ia nyaris tak berhenti bekerja, menyusun laporan, menghitung ulang anggaran, hingga ikut turun ke lapangan.

Rendi sempat ingin menegur, tapi menahan diri. Bagaimana pun juga, Bunga sedang mencoba menebus kesalahan—atau mungkin, menenangkan hatinya sendiri.

Siang itu, saat makan siang dibagikan, Bunga hanya meneguk air putih. “Saya nggak lapar, Pak,” katanya singkat saat Rendi mengingatkan.

Ia menanggapi dengan anggukan singkat. Tapi dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak selesai.

Senja mulai turun. Proyek hari itu nyaris selesai. Semua laporan telah dikumpulkan, site visit berjalan lancar, dan Rendi baru saja menandatangani surat persetujuan material.

Ia kembali ke penginapan dalam lelah yang panjang. Bangunan tua bergaya kolonial tempat mereka menginap itu terletak di tepi kota, jauh dari keramaian, namun nyaman dan bersih. Saat membuka pintu kamar kerjanya di penginapan, Rendi mendapati Bunga masih duduk di meja, dengan laptop menyala dan berkas-berkas berserakan. Wajahnya pucat.

“Bunga…” panggil Rendi pelan, “kamu belum makan?”

Bunga tidak menjawab. Kepalanya tertunduk di atas meja.

Rendi melangkah cepat. “Bunga?!”

Saat ia menyentuh bahu wanita itu, tubuh Bunga ambruk ke lantai.

“Bunga!”

Rendi panik. Ia segera mengangkat tubuhnya, menepuk pipinya perlahan. “Bangun... Bunga… Hei, dengerin aku...”

Bunga membuka matanya sebentar, tapi napasnya pendek, tubuhnya lemas seperti kapas basah.

Saat itu juga, ponsel Rendi berdering. Nama ‘Alisya’ muncul di layar.

Ia ragu sejenak. Tapi ia tahu, tidak menjawab justru akan membuat keadaan lebih buruk.

“Halo, Sayang?” suara Alisya terdengar pelan di seberang, “Kamu gimana di sana? Udah makan?”

Rendi menarik napas panjang, mencoba menyusun kata. Ia tak ingin bohong—tapi tak juga ingin membuat Alisya gelisah.

“Iya... aku baik. Maaf tadi nggak sempat jawab chat kamu. Baru beres banget dari site. Capek juga hari ini,” ucapnya sambil menatap Bunga yang masih setengah sadar dalam pelukannya.

“Oh... kamu kayaknya capek banget, ya. Tapi kok suaramu beda?” tanya Alisya, nadanya mulai khawatir.

Rendi menggenggam ponsel lebih erat. Lalu akhirnya ia berkata jujur, meski memilih kata-katanya hati-hati.

“Sayang... aku harus bawa Bunga ke rumah sakit. Dia pingsan. Mungkin kecapekan. Dia kerja terus dari pagi, nggak sempat makan. Aku juga... mungkin terlalu fokus dan nggak sadar dia sekuat itu.”

Hening di seberang. Lalu suara Alisya muncul lagi, lirih.

“Dia nggak apa-apa?”

“Masih lemas. Tapi aku langsung bawa dia ke RS terdekat. Ini dekat dari penginapan. Nanti aku kabari lagi, ya.”

Alisya menghela napas, terdengar berat. Tapi ia hanya berkata, “Hati-hati, ya... Aku tunggu kabarnya.”

Klik.

Rendi menyelipkan ponselnya ke saku, lalu segera mengangkat tubuh Bunga, membawa wanita itu ke mobil sewa yang terparkir di luar. Di bawah langit yang mulai gelap, mobil itu melaju dengan lampu temaram, membelah jalanan kota tua yang sepi.

Rendi tak berkata apa-apa sepanjang jalan. Namun dalam hatinya, satu suara berulang-ulang menggumam:

"Aku harus menyelesaikan ini… sebelum semua yang kupunya berubah jadi kehilangan."

1
Lulu-ai
wah terharu aku😊😁
Lee Mbaa Young
manisnya Bagas..
Hanipah Fitri
Alisha, bukalah hatimu untuk Bagas agar ada yg menjagamu selamanya
Hanipah Fitri
yg salah dapat balasan yg setimpal begitu pula dgn bapaknya Rendi
Hanipah Fitri
aku kepingin Bagas bahagia bersama Alysha
Hanipah Fitri
Bagas belum punya nyali tuk bicara sama Alisha bahwa iya sangat menyayangi nya
Hanipah Fitri
alisha nya sama Bagas aja deh

justru cinta yg sesungguhnya bukan Rendy terhadap Alisha, justru Bagas yg mempunyai cinta tulus, hati lapang tanpa dibalut nafsu terhadap Alisha.

Thor jodohin Rendi dgn Alisha ya...
Randi biarkan saja biar ini menjadi pembelajaran buat para laki laki yg gak punya pendirian seperti Rendi yg mau diatur oleh org lain, tanpa mempertahankan keluargamya
Hanipah Fitri
tak terasa air mata ini turun lagi.
cerita mu bagus thor
Hanipah Fitri
ikut netes air mataku.
terharu ...
Hanipah Fitri
lanjutkan
Hanipah Fitri
Bagas nanti dilamar aja Alisha nya, jangan banyak berpikir lain lain, perempuan itu bisanya cuma menunggu
sutiasih kasih
km sdh tau kualitas alisya.... tpi km dgn sengaja mngujinya.... dan akhirnya km harus bnar" khilangan rumah tempatmu pulang rendi...
Lee Mbaa Young
Asal gk balikan ma bunga Bangkai saja, ku doa kan semoga bhgia.
Tp kl balikan ma si pelakor ku doakan tmbh berat karma nya.
pelakor ttp jahat, dia Berubah krn mnderita coba kl bhgia pasti dah haa hihi di atas luka alisha. untung saja bayi haram itu mati jd gk Ada ikatan lagi dng rendi dan anak alisha.
Hanipah Fitri
lanjut
Hanipah Fitri
Bagas nanti kalau alisha sdh lahiran kau lamar ya tuk jadi pendamping hidup mu
Hanipah Fitri
lanjut
Hanipah Fitri
ikut nangis
Hanipah Fitri
Alisha ketemu org baik
Hanipah Fitri
up
Hanipah Fitri
Alisha jodohkan saja sama Bagas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!