NovelToon NovelToon
Istri Kontrak Sang Duda Kaya

Istri Kontrak Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Kaya Raya
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: NurAzizah504

Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.

Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.

Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.

Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Cinta dan Martabat

Malam hari, di ruang kerja Radit di kantor pusat. Ia baru saja tiba setelah melakukan perjalanan dinas yang ternyata selesai sehari lebih cepat dari rencana awal. Sayangnya, ia tidak bisa langsung ke rumah karena ada satu dua hal yang perlu ia urus di kantor.

Radit menurunkan laptopnya perlahan ke meja. Kantung matanya jelas terlihat—sudah dua hari dia begadang mengejar target. Namun yang membuatnya tiba-tiba mengangkat kepala adalah suara lembut dari arah pintu masuk.

"Novi?"

Novi berdiri di sana, masih mengenakan rok krem dan kemeja biru muda. Matanya tampak berat, seperti sudah berpikir lama sebelum akhirnya datang.

Radit berdiri dan menghampirinya. "Kamu ngapain ke sini? Ke kantor aku malam-malam?"

"Maaf. Aku lancang mendatangi Mas Radit ke kantor. Tapi, aku harus bicara," ujar Novi pelan. "Soal Rumi."

Sekejap, sorot mata Radit berubah tajam. "Rumi kenapa?"

Novi menarik napas panjang. Ia menatap Radit, lalu menunduk sejenak—berperang antara janji pada Rumi dan hatinya yang tak tega.

"Aku tahu aku nggak seharusnya campur tangan. Tapi Mas Radit harus tahu," katanya akhirnya, suara pelan tapi jelas. "Rumi disakiti. Waktu Mas Radit pergi ke luar kota, mama Mas Radit datang ke rumah, bawa seorang wanita. Kalau nggak salah, namanya Reva. Mereka melabrak Rumi, ngatain dia mandul. Mereka ... mereka bahkan tahu soal hasil pemeriksaan dokter."

Radit menegang. Rahangnya mengeras. "Apa?"

Novi buru-buru menambahkan, "Rumi nggak pernah cerita karena dia nggak mau Mas Radit khawatir. Dia takut ganggu kerja Mas Radit. Tapi aku lihat sendiri gimana hancurnya dia waktu itu. Dia cuma senyum, tapi matanya kosong banget. Dan aku tahu, dia lagi pura-pura kuat."

Radit perlahan duduk kembali, matanya menatap kosong ke depan. Tangannya mengepal di atas lutut.

"Jadi mereka tahu," gumamnya lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Padahal kami belum bilang ke siapa-siapa."

"Maaf, Mas. Aku nggak tahan lihat dia terus nyembunyiin luka. Mas Radit satu-satunya yang bisa buat dia ngerasa aman."

Radit mengangguk pelan. "Nggak, Nov. Kamu benar datang ke sini."

Ia berdiri lagi, kali ini penuh ketegasan. Matanya tajam, wajahnya tegang.

"Aku akan pulang sekarang."

Saat itu juga, Radit mengemudikan mobilnya untuk pulang.

Suasana rumah senyap, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Rumi baru selesai mengisi tumbler biru pastelnya dengan air segar.

Ceklek.

Radit masuk dengan langkah berat. Koper kecil ditarik setengah hati. Wajahnya kusut, mata merah seperti kurang tidur. Rumi menoleh cepat, kaget.

"Mas Radit?" bisiknya. "Kok, udah pulang? Bukannya besok, ya?"

Radit tidak langsung menjawab. Ia menatap Rumi beberapa detik. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Luka. Marah. Dan hancur.

"Dinasnya selesai lebih cepat," gumamnya, suaranya serak.

Rumi mencoba tersenyum. "Yaudah, aku siapin teh ya—"

"Nggak usah," ucap Radit cepat. Suaranya terdengar parau. "Aku pulang bukan buat teh. Aku pulang buat minta satu hal, kejujuran."

Rumi membeku. Tangannya yang memegang tumbler biru pastel perlahan gemetar.

"Mas, aku ... aku nggak ngerti maksud Mas Radit."

"Kamu ngerti," potong Radit pelan, tapi nadanya menyayat. "Kamu tahu aku tau. Semuanya, yang terjadi di belakang aku."

Hening.

Rumi hanya menunduk. Bibirnya bergetar.

"Aku nunggu kamu cerita, Rum." Radit mengatur napas. Tapi suaranya mulai pecah. "Aku nunggu kamu ngomong, langsung ke aku ...."

Matanya mulai berkaca-kaca.

"Tapi kamu malah pura-pura nggak terjadi apa-apa. Kamu tersenyum, kamu kerja, kamu bersikap seolah baik-baik saja padahal hatimu lagi hancur banget."

Rumi tak sanggup menatapnya. Tapi langkah Radit mendekat. Tangannya mengangkat dagu Rumi, memaksa istrinya menatapnya.

"Rum, mereka nyakitin kamu. Mama, Reva, mereka hina kamu. Mereka ngerendahin kamu kayak bukan siapa-siapa. Di rumah ini. Di tempat kita seharusnya bahagia."

Air mata mulai jatuh dari mata Radit. Bahunya bergetar.

"Aku ... aku suamimu, Rum. Gimana aku bisa nerima itu? Gimana aku bisa tenang tahu kamu nangis sendiri, nahan semuanya sendiri, dan aku nggak ada?"

Rumi menangis. Isak kecilnya ikut pecah.

Radit tak kuat lagi. Ia memeluk Rumi erat-erat. Badannya gemetar. Isaknya tertahan di dada.

"Aku sayang kamu banget, Rum. Jangan jauhin aku dari rasa sakitmu. Jangan lindungin aku dengan cara kayak gini. Biar kita sakit bareng, ya? Jangan kamu sendiri ...."

Rumi membalas pelukannya. Di tengah tangis mereka, cinta itu terasa makin kuat. Makin nyata.

Keesokan pagi, matahari merangkak naik. Cahaya lembut menyelinap melalui tirai jendela kamar.

Rumi perlahan membuka mata. Ia masih merasa letih, tapi kehangatan di sekelilingnya membuatnya tak ingin bergerak. Lengan Radit melingkar erat di pinggangnya, dadanya jadi sandaran yang menenangkan sepanjang malam.

Perlahan, ia menoleh. Radit masih tertidur, wajahnya damai, tapi bekas kelelahan dan air mata semalam masih jelas terlihat. Bahkan dalam tidurnya, tangan Radit masih menggenggam tangan Rumi erat seolah takut kehilangannya.

Rumi membelai pelan wajah suaminya. "Maaf, Mas ..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Tapi Radit menggeliat, lalu membuka mata. Ia tersenyum kecil, meski matanya masih merah.

"Kamu bangun lebih dulu," katanya serak.

Rumi mengangguk. "Maaf udah bikin Mas kepikiran."

Radit menggeleng. Ia mengusap pipi Rumi, jempolnya menyeka sisa air mata kering. "Kamu nggak salah, Rum. Harusnya aku yang minta maaf. Karena aku nggak ada pas kamu disakiti."

"Mas Radit capek ya?" tanya Rumi pelan.

Radit tersenyum miris. "Capek. Tapi yang paling capek itu hati aku. Ngeliat kamu nahan semuanya sendirian."

Ia menarik Rumi lebih dekat lagi. "Mulai sekarang, janji satu hal, ya. Kita hadapi semuanya bareng. Suka, duka, semuanya. Kamu nggak sendirian, Rum."

Rumi mengangguk. Pelan. "Aku janji."

Radit mencium kening Rumi lama. "Aku cinta kamu. Nggak peduli orang bilang kamu susah punya anak, aku tetap mau hidup bareng kamu. Selamanya."

Rumi tersenyum, kali ini lebih tenang. "Aku juga cinta Mas Radit. Lebih dari apapun."

Masih di hari yang sama, di kediaman Bu Widya. Udara masih sejuk, tapi ketegangan langsung terasa begitu Radit turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam.

Suasana rumah sepi. Hanya suara jam dinding yang terdengar. Radit membuka pintu ruang tengah dan mendapati mamanya sedang duduk di sofa, membaca majalah, tampak tenang seperti biasa.

"Radit?" suara Bu Widya menyapa, terkejut namun tetap dingin. "Kapan pulang dari luar kota? Tumben mampir pagi-pagi?"

Radit berdiri tegak, rahangnya mengeras. "Aku mau bicara, Ma."

Bu Widya menutup majalah perlahan, tatapannya waspada. "Tentang apa?"

"Rumi," jawab Radit singkat. Suaranya berat, tapi terkontrol.

Bu Widya mendengus pelan. "Akhirnya kamu sadar juga. Perempuan itu—"

"Cukup, Ma." Radit memotong tajam. Matanya mulai memerah. "Jangan bilang satu kata pun yang menyakiti dia lagi. Jangan. Karena kali ini aku nggak akan diam aja."

"Radit, kamu dibutakan cinta! Dia mandul! Apa kamu mau hidup tanpa keturunan?"

"Aku nggak peduli!" suara Radit meninggi. "Aku lebih baik nggak punya anak, daripada harus kehilangan dia. Mama tahu, dia selama ini diem aja diperlakukan kayak apa sama Mama. Dia sabar. Tapi aku yang lihat dia nangis, Mama. Aku yang tahu gimana dia tahan sakit sendiri karena nggak mau ganggu aku."

Mama Radit terdiam. Radit melangkah lebih dekat.

"Dan sekarang, Mama tega datang ke rumah, melukai harga dirinya di belakang aku? Menyebarkan hal yang seharusnya jadi rahasia? Itu keterlaluan, Ma."

"Dia terlalu lemah untuk jadi istri kamu!"

"Bukan dia yang lemah, Ma. Mama yang nggak tahu caranya menghargai perempuan dengan baik!" Radit menarik napas dalam, suaranya mulai bergetar. "Aku sayang Rumi. Dan aku akan lindungi dia, termasuk dari siapa pun, bahkan Mama."

Bu Widya tersentak.

"Jadi mulai sekarang, aku minta Mama berhenti ikut campur dalam rumah tangga kami. Hargai dia. Atau, Mama akan kehilangan aku juga."

Hening. Radit menatap lurus, tegas, lalu berbalik pergi. Langkahnya cepat, tapi matanya mulai basah. Ada luka yang dalam, karena harus membentak wanita yang sudah bersamanya sejak kecil. Tapi ia tahu, ia melindungi sesuatu yang lebih penting—cinta dan martabat istrinya.

1
Author Sylvia
moga aja Dimas bukan jadi orang ketiga buat hubungan Rumi dan Radit.
NurAzizah504: semoga saja, Kak /Sob/
total 1 replies
Author Sylvia
so sweet banget sih /Chuckle//Chuckle//Chuckle/
NurAzizah504: baru sah soalnyaaa
total 1 replies
Author Sylvia
jadi pengen punya cowok seperti Radit, perhatian banget ke ceweknya.
NurAzizah504: suami aja, Kak. biar sah sekalian /Joyful/
total 1 replies
Santai Dyah
klo udh di tolak harusnya pergi lah dari pada mkan hati ah nauval
NurAzizah504: berjuang dulu ga sih /Grin/
total 1 replies
Santai Dyah
pelukan yang mengharu biru antara anak dn bapak
NurAzizah504: setelah sekian lama, Kak
total 1 replies
Santai Dyah
netizen maha benar, Tiba-tiba menghujat tiba-tiba membela benar-benar sama dengan keadaan di negeri konohoa ini
NurAzizah504: iya kan. fans dan hatters bisa berubah dalam satu detik
total 1 replies
Santai Dyah
Radit bersikap tegas akhirnya melaporkan Bu Widya dan reva,
NurAzizah504: ceo satu itu ga main2 tegasnya
total 1 replies
Muliana
Semoga Rumi gak merasa tertekan dengan perhatian yang Radit berikan.
NurAzizah504: semoga saja ya. terlalu diperhatikan begitu jg ga enak rasanya
total 1 replies
Muliana
Dan dokter juga mengatakan jika kehamilan kamu butuh dijaga dengan ekstra
NurAzizah504: nah, benerr
total 1 replies
Tanz>⁠.⁠<
wah seru juga jadi guru TK, bisa sekalian main sama bocil bocil 🤭
NurAzizah504: iya nih. tp bocil2 kebanyakan bandel2 tuh, wkwk
total 1 replies
Tanz>⁠.⁠<
hemm...awas nanti jatuh cinta kamu loh 🤭
NurAzizah504: siap, kak /Joyful/
Tanz>⁠.⁠<: oke ku liatin ya 🤭
total 3 replies
Tanz>⁠.⁠<
cepat ninggoy aja gak sih 😆✌🏻
NurAzizah504: heh, bentr duluu /Facepalm/
total 1 replies
Tanz>⁠.⁠<
nada nga ngusir banget ya pak 😏
NurAzizah504: engga. baik hati itu lhoo /Facepalm/
total 1 replies
Tanz>⁠.⁠<
gak kebayang sekencang apa detak jantung Rumi saat itu 🥲
NurAzizah504: iya lagi /Sob/
Tanz>⁠.⁠<: pasti lagi berdisko detak jantung nya waktu itu 😭
total 3 replies
R 💤
cieee Novi...
NurAzizah504: cie cieeee
total 1 replies
R 💤
hahahahah
NurAzizah504: biasa, pak bidan /Joyful/
total 1 replies
R 💤
senangnya di perhatikan suami 😍
NurAzizah504: jdi pengen punya suami /Facepalm/
total 1 replies
R 💤
ikutt terharuu.....🥺🥺🥺
NurAzizah504: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
R 💤: ngamuk lah kak haha
total 5 replies
R 💤
separah itu fitnahnya, Astaghfirullah...
NurAzizah504: hukumannya pun ga kalah parah
total 1 replies
R 💤
wahaha rasakan kaliannn....
NurAzizah504: dua2nya gabisa dipercaya, wkwk
R 💤: makanya kak, awalnya aja sekongkol hadehh
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!