Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 – Gerbang Rasa Ketujuh
Langit Wilayah Inti meredup, seolah menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Enam kristal rasa mengelilingi Nian, masing-masing memancarkan aura khasnya: manis dengan cahaya hangat keemasan, pahit dengan kilau gelap kebiruan, asin dengan gemerlap kristal putih, asam dengan cahaya hijau menusuk, pedas dengan semburat merah menyala, dan umami dengan kedalaman ungu yang misterius.
Namun, di tengah altar batu yang luas itu, muncul celah dari tanah yang merekah perlahan. Celah itu melebar, lalu membentuk struktur aneh—sebuah gerbang berwarna kelabu, tak mengilap, dan seolah menelan cahaya sekitarnya. Tidak ada ukiran. Tidak ada nama. Tak satu pun aura rasa terpancar darinya.
"Itu... bukan bagian dari ujian biasa," gumam salah satu tetua dari Paviliun Rasa Agung, matanya menyipit penuh kekhawatiran.
"Dapur Tak Bernama," ujar tetua tertua, suara lirihnya menggema melalui formasi suara. "Itulah ujian terdalam. Ia hanya muncul jika seseorang mampu menyeimbangkan keenam rasa tanpa menyimpang. Sudah ratusan tahun tak ada yang memasukinya."
Nian berdiri membisu, menatap gerbang itu. Tubuhnya masih berdenyut dengan energi dari enam rasa yang berhasil ia harmonikan. Tapi sekarang, semuanya terasa... sunyi. Kristal-kristal rasa itu masih melayang di sekelilingnya, namun perlahan mereka bergetar dan merapat, seperti tertarik oleh kekuatan yang tak terlihat dari gerbang kelabu itu.
Ia menoleh sekilas pada Bei dan Yan yang menyaksikannya dari kejauhan. Keduanya tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan, mendukungnya dengan tatapan.
Nian melangkah maju. Satu langkah. Dua langkah. Lalu tubuhnya terselimuti kabut kelabu dan lenyap ke dalam gerbang.
---
Dunia di balik gerbang bukanlah dunia nyata. Tidak ada tanah. Tidak ada langit. Tidak ada udara. Ia berada di kehampaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti melayang dalam mimpi, namun dengan kesadaran penuh.
"Kau datang membawa rasa," suara tanpa sumber menggema dalam pikirannya. "Tapi apakah kau membawa makna?"
Nian memutar tubuhnya, mencoba mencari asal suara, tapi di sekelilingnya hanya ada bayangan dan cahaya kelabu yang tidak bergerak.
"Siapa kau?"
"Aku adalah Rasa Kosong. Aku bukan rasa ketujuh. Aku adalah ketiadaan dari semua rasa. Di sinilah semua rasa lahir, dan di sinilah mereka berakhir."
Seketika, Nian merasa tubuhnya diselimuti tekanan tak kasatmata. Kristal rasa yang melayang di sekelilingnya mulai retak satu per satu. Manis lenyap lebih dulu. Pahit menyusul. Asin, asam, pedas, dan umami—semuanya pecah menjadi serpihan dan lenyap.
Hatinya seperti dirobek. Kenangan yang terikat pada setiap rasa ikut memudar. Ia tak lagi bisa merasakan kehangatan bubur manis buatan ibunya. Tidak lagi teringat pada rasa asin dari keringat ayahnya saat mengajarkan cara menumbuk rempah. Semua... hilang.
"Tanpa rasa, siapa kau?" suara itu kembali bertanya.
Nian berlutut. Napasnya memburu. Kepalanya menunduk. Tapi di dalam kehampaan itu, sesuatu bergolak. Sebuah kenangan samar muncul. Bukan tentang makanan, bukan tentang cita rasa. Tapi tentang *perasaan*. Tentang keinginan melindungi. Tentang tekad untuk berdiri meski jatuh ribuan kali. Tentang cinta, tawa, dan air mata.
"Rasa... bukan hanya dari lidah," gumam Nian. "Rasa adalah kenangan. Adalah harapan. Adalah perasaan yang menuntun langkahku."
Seketika, dadanya memancar cahaya redup. Sebuah kristal baru lahir. Tak berwarna. Tak bercahaya. Tapi terasa nyata. Seperti jantung dari rasa itu sendiri. Ia menggenggamnya. Dan dunia mulai berubah.
Bayangan kelabu mengelupas. Warna kembali. Tanah muncul di bawah kakinya. Udara memenuhi paru-parunya. Rasa kembali mengalir.
"Kau telah menciptakan rasa ketujuh. Rasa yang tak bisa dinamai," ujar suara itu. Kini lebih lembut, lebih manusiawi. "Bawalah rasa itu ke dunia, dan lihat bagaimana ia mengubah segalanya."
---
Nian keluar dari gerbang kelabu dengan langkah tenang. Di altar, enam kristal rasa melayang mengelilingi kristal tak bernama di tengah-tengah mereka. Semua tetua berdiri. Bei menatapnya dengan mata melebar. Yan menutup mulutnya, menahan air mata.
"Dia... menciptakan rasa baru," gumam salah satu juri.
"Rasa yang bahkan tidak bisa kita namai," tambah yang lain.
Tetua tertua dari Paviliun Rasa Agung menatap Nian dengan mata yang bersinar penuh harapan.
"Mungkin inilah waktunya... dunia rasa dibuka kembali."
Nian hanya tersenyum tipis. Di dadanya, kristal tak bernama itu berdenyut pelan. Tapi dalam hatinya, ia tahu... ujian sejati baru saja dimulai.