🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : (Tidak) seposesif ini...
Hidupnya sudah seperti kena teror saja, Hana terus mengomel sepanjang perjalanan pulang dari rumah orang tua Aini. Bagaimana tidak, Daffa terus saja menelfon setiap lima belas menit sekali untuk memastikan kecepatan motor yang dia bawa dan memastikan Aini baik-baik saja.
Padahal biasanya Hana membawa motornya sudah seperti orang yang sedang dikejar hutang, tapi kali ini gara-gara si posesif dia terpaksa harus membawa motornya seperti putri keraton kalau lagi jalan, sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Jarak yang seharusnya bisa dia tempuh hanya dalam dua puluh menit kini bisa satu jam lebih.
Hana menghentikan motornya tepat didepan gerbang rumah Aini. Baru saja dia mau langsung pamit pulang, Daffa sudah menelfonnya lagi. Hana menarik nafasnya dalam-dalam sebelum mengangkat telefon itu untuk kesekian kalinya. Disampingnya, Aini yang sudah turun dari motor terkekeh pelan saat melihat ekspresi sahabatnya yang seperti menahan kesal.
Sebenarnya Hana tak sepenuhnya kesal, justru dia merasa sangat bahagia karena akhirnya Aini ada yang menjaga dan melindunginya seperti sekarang. Dia sengaja berekspresi seperti itu hanya untuk membuat Aini tertawa saja.
"Semuanya aman Pak Pos, jalanan bebas tanpa hambatan, dan Aini sudah Saya antar pulang sampai ke depan gerbang tanpa ada sesuatu yang kurang." terang Hana dan langsung memberikan julukan baru untuk Daffa, yaitu si Pak Pos alias Pak posesif.
[ "Bagus. Kalau begitu berikan telefonnya pada Aini sekarang," ]
Hana menyodorkan handphonenya pada Aini seraya mengangkat kedua alisnya disertai anggukan kecil. Aini yang mengerti akan maksudnya langsung menerima handphone itu dari tangan Hana.
"Iya, Mas..."
[ "Tunggu aku dirumah, satu jam lagi aku pulang." ]
Aini mengulum senyum, mengangguk kecil, agak sedikit malu karena ada Hana juga disana, "Iya Mas, kamu hati-hati dijalan ya, Assalamu'alaikum,"
[ "Wa'alaikumsalam." ]
Selesai menelfon, Aini mengembalikan handphone itu kembali pada Hana, "Yakin nggak mau mampir dulu, Han?"
"Nggak, Ai, makasih. Kapan-kapan aja, ini sudah malam soalnya, besok kan juga harus nguli lagi," jawabnya sembari memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas dan bersiap menyalakan kembali motor Scoopy-nya.
"Ai, aku pulang dulu ya, Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
Hanya dalam hitungan detik, motor yang dinaiki oleh Hana sudah melesat jauh, karena Hana memang membawanya dengan kecepatan penuh. Seorang satpam yang sudah membukakan pintu gerbang sejak tadi menyapa Aini begitu istri majikannya itu masuk, setelahnya pintu gerbang ditutup kembali dengan rapat.
-
-
-
Langkah lebarnya membawanya masuk ke dalam lift. Sambil sesekali membalas pesan sang istri, Daffa tersenyum manis. Padahal dulu dengan Celine dia tidak seposesif ini, bahkan dia begitu membebaskan istri pertamanya itu dan tidak pernah membatasinya dalam hal apapun. Tapi kali ini semuanya berbeda saat yang menjadi istrinya itu adalah Aini.
Begitu masuk ke dalam mobilnya yang sudah siap didepan, Daffa menaruh handphonenya diatas dashboard dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan area kantor. Hatinya yang sedang berbunga-bunga membuatnya merasa tidak sabar ingin cepat-cepat sampai dirumah.
"Apa aku ajak Aini liburan saja ya, kita kan belum sempat pergi berbulan madu. Aini pasti akan senang," sambil sesekali bergumam, Daffa tetap fokus menyetir.
Dalam keheningan malam, mobil itu melaju dengan satu tujuan, yaitu rumah. Karena dia tau ada seseorang yang sedang menunggu kepulangannya saat ini hingga dia tidak ingin membuatnya merasa cemas jika dia tidak sampai dirumah dengan cepat.
Angin malam berhembus menyapu kulit wajahnya melalui jendela kaca yang memang sengaja dia buka sedikit bagian atasnya. Ketika melihat dua orang didepan sana sedang main tarik-tarikan tangan, kakinya reflek menginjak rem mendadak. Wajah kedua orang itu cukup familiar dimatanya.
-
-
"Angga, lepas!"
Celine terus saja memberontak, mencoba menarik tangannya dari genggaman Angga, namun sayangnya pria itu enggan melepaskan dan malah mencengkeramnya semakin kuat.
"Celine, apa yang kamu harapkan lagi dari si Daffa itu? Kalian sudah bercerai dan aku dengar dia juga sudah menikah lagi. Terimalah cintaku, Celine, aku pasti akan membuat kamu bahagia!"
Sebenarnya Angga tidak berniat untuk menyakiti Celine, dia hanya ingin berbicara baik-baik saja tentang perasaannya. Namun Celine begitu enggan untuk menanggapi hingga membuat Angga berbuat sedikit kasar, meskipun maksudnya bukan seperti itu juga.
"Angga, lepaskan tangannya."
Suara tegas itu mampu membuat keduanya terpaku dan menoleh ke samping. Daffa memang tidak begitu mengenal Angga dengan dekat, tapi dia cukup paham dengan wajah pria yang dia ketahui sebagai pria yang selalu mengejar-ngejar cinta Celine dari sebelum Celine menjalin hubungan dengannya dulu.
"Bukannya aku ingin ikut campur, tapi sebaiknya kamu tidak bersikap kasar padanya,"
Angga tersenyum, sebuah senyuman mengejek, "Kamu masih mencintainya, hah?!"
"Ini bukan tentang perasaan, tapi lebih ke kemanusiaan saja. Tidak mungkin aku membiarkan kamu bersikap kasar pada seorang perempuan dipinggiran jalan begini," sekilas dia melirik ke arah Celine, lalu kembali menatap pada Angga yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak sukanya.
"Sebenarnya aku juga tidak ingin kasar kalau dia mau diajak bicara baik-baik, aku tidak mungkin menyakiti wanita yang aku cintai." Angga melonggarkan pegangannya, perlahan dia melepaskan tangan Celine lalu menghembuskan nafas kasar.
Angga menoleh ke arah Celine yang nampak sedikit pucat dan ketakutan karena sikapnya tadi, "Celine, maaf..."
"Pergi dari sini, Angga. Aku tidak ingin melihat kamu lagi!" suaranya terdengar sedikit bergetar, kedua matanya membendung air mata yang siap dia tumpahkan kapan saja.
Meskipun masih ingin bicara, Angga terpaksa menurut karena tidak ingin membuat Celine semakin membencinya. Dengan menaiki mobilnya, Angga meninggalkan Celine dan Daffa berdua disana.
"Daffa, tunggu!" Melihat Daffa berbalik dan hendak melangkah pergi, Celine segera memanggil dan menghampirinya. "Aku takut Angga akan kembali lagi. Kalau kamu tidak keberatan, maukah kamu mengawal mobilku dari belakang?"
Daffa mengusap wajahnya sedikit kasar, hanya mengawal saja seharusnya tidak masalah. "Naiklah..."
Celine tersenyum senang saat mendengar Daffa menyetujui permintaannya. Dia bergegas naik ke dalam mobilnya dan mulai menyalakan mesinnya. Melihat dari kaca spionnya Daffa juga sudah siap dengan mobilnya, Celine segera melajukan mobilnya dengan dikawal mobil Daffa dibelakang.
Sambil sesekali melihat ke clock mobil yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit, Daffa mulai gelisah kala mobil yang dinaiki oleh Celine berjalan cukup lambat. Entah karena masih ketakutan gara-gara Angga tadi atau memang sengaja, yang pasti itu akan membuat dia terlambat untuk sampai kerumah dan membiarkan Aini menunggunya terlalu lama.
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧