Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi
“... Gelombang telah berubah. Namun badai belum datang. Biarkan badai itu datang… Maka para Dewa akan kembali ke semesta.”
**
Caela bermimpi lagi.
Sejak kecil hingga hari ini, ia tak pernah absen bermimpi, atau melihat gambaran—peperangan, kerusakan, suara penderitaan orang-orang, tangisan, jeritan, dan ketakutan di sebuah tempat yang tak pernah ia tahu. Semua itu bisa dia rasakan jelas, dan juga suara yang selalu datang di benaknya berulang-ulang.
Seperti biasa, bantalnya basah karena keringat di pagi hari akibat mimpi itu, ia lalu segera duduk dan memejamkan matanya yang berwarna biru laut sejenak dan menghela napas. Rambut sebahunya yang berwarna putih sedikit menutupi wajahnya.
“Kamu bermimpi lagi?” tanya seorang perempuan bermata merah tua, berambut panjang berwarna hitam, dan sedikit keriput sudah mulai menghiasi wajahnya. Perempuan itu menghampiri Caela, sambil membawakan roti dan juga minuman di meja sebelahnya.
“Bibi Rieva…” Caela mengangguk ke arah Rieva lalu menggeser tubuhnya ke ujung tempat tidur, mencoba mendekat ke arah meja untuk mengambil minum dengan perlahan.
Rieva hanya tersenyum kecil melihatnya, dia pun bersimpuh ke arah Caela. “Tak perlu khawatir, itu hanya mimpi.” kata Rieva.
Caela hanya terdiam, dia lalu menenggak air di dalam gelas dan melihat ke arah Rieva. Caela terdiam sejenak. Rieva selalu bersikap sopan dan juga baik hati di depannya. Kadang Caela juga sering tenggelam dalam ketajaman mata Rieva yang mempunyai warna merah pekat yang tak dimiliki orang di desa ini dan tak pernah dia lihat sebelumnya.
“Kamu sedang berpikir apa sekarang?” tanya Rieva sambil sedikit tersenyum.
“Tidak,” Caela tersenyum kecil, “aku masih suka berpikir, kenapa Bibi Rieva baik sekali padaku.”
Rieva tertawa kecil, “Ya ampun, kamu masih memikirkan itu?”
Caela mengangguk sambil tersenyum kecil, “Iya, begitulah…”
Rieva hanya terkekeh, “Sudah makan dulu saja, setelah itu kita bisa berlatih sihir atau baca buku lagi kalau kau mau,” katanya.
“Baik… Tapi jujur, rambutmu sudah agak jadi cokelat sekarang.” kata Caela sedikit tersenyum.
Rieva mengangkat alisnya dan melihat beberapa helai rambutnya, dia mencari-cari warna rambut yang mulai berubah menjadi cokelat. Dia sedikit terkejut lalu tersenyum, “Aku rasa, aku terlalu banyak di bawah sinar matahari belakangan ini,” katanya.
Caela hanya tertawa kecil bersama Rieva, setelah itu Caela lanjut makan dan Rieva pergi dari hadapannya. Caela kemudian makan roti dan kembali berpikir. Sejak Caela kecil, ia tinggal bersama dengan Rieva di desa Tevira ini. Desa yang dikelilingi oleh pasir dan hanya memiliki sedikit rumah penduduk yang beralaskan kayu. Anginnya pun sering kencang dan terik matahari tidak perlu ditanyakan seperti apa menyengatnya.
Seluruh penduduk di sini memiliki kulit kecokelatan, tapi Rieva dan Caela yang hanya memiliki kulit putih bersih. Rieva tak pernah bercerita asal muasalnya walaupun Caela berusaha bertanya dan dia hanya bercerita bahwa Caela ditemukan oleh Rieva dan penduduk desa dalam keadaan pingsan di sini. Sejak saat itu, Rieva mengajarkan Caela membaca dan beberapa dasar ilmu sihir, juga menceritakan banyak sejarah ajaran tentang Dewa.
Setelah hanyut dalam pikirannya sejenak, Caela mengangkat alisnya, dia mendengar ada suara keramaian di luar. Dia pun perlahan berdiri dan berjalan ke arah luar rumahnya. Pintu rumah yang hanya dilapisi oleh kain, dan dia pun langsung membuka kain tersebut untuk melihat ke arah luar.
Di bagian tengah desa ternyata banyak orang mengerubungi seorang pria bernama Valia, dia adalah salah satu mantan penghuni desa ini. Namun hari ini dia datang lagi dengan berpakaian rapi seperti seorang pendeta. Penasaran akan hal tersebut, Caela perlahan menghampirinya di antara kerumunan.
“Lord Valia, sungguh berkah dari para Dewa… Kau kini menjadi salah seorang Host,” sahut salah seorang penduduk desa tersebut.
“Tentu saja, ini bukan perkara mudah, banyak sekali tantangan yang harus dilewati untuk bisa mendapatkan kekuatan Dewa itu.” balas Valia dengan bangga.
“Dewa apa yang kau miliki, Tuan?” tanya seorang anak sambil tersenyum.
“Dewa Api, Agi.” kata Valia.
“Tak perlu diragukan lagi, kau juga pandai mengeluarkan sihir, tentu saja para Dewa menyukaimu,” sahut seorang Elder di desa sambil tersenyum puas.
Caela kemudian mendekat mencoba menerobos keramaian sambil mendekati Valia.
“Bagaimana caranya kau memanggil Dewa itu?” tanya Caela dengan blak-blakan.
“Panggil aku Lord Valia,” balas Caela sambil melihat ke arahnya.
“Aku sedang bertanya satu hal padamu,” kata Caela membalas tatapan matanya dengan dingin.
Valia terdiam sejenak dan mendengus, dia lalu mengeluarkan sebuah kristal berbentuk liontin berwarna merah dari dalam bajunya,
“Dengan kristal ini, Dewa Agi bersemayam di dalam sini, dan dia hanya bisa dipanggil olehku, para Hosts.” katanya dengan bangga kembali.
Caela mengambil liontin kristal itu dari tangan Valia dengan cepat dan mengamati dengan saksama seperti mengobservasi benda tersebut. Jadi benar, kalau para Dewa itu meminjamkan kekuatannya bersemayam di dalam kristal? Selang beberapa detik, Caela terkejut karena bayangan soal mimpi yang setiap malam semakin intens itu kembali terlihat jelas dan nyata. Mata biru langitnya berubah seketika menjadi putih, teriakan kesengsaran jelas terdengar, lalu ada suara terakhir yang paling jelas lewat ke telinganya.
“Kemarilah, Yang Terpilih…”
Kejadian itu terjadi dengan cepat membuat Valia kesal, dan para penduduk kaget melihat Caela karena diniliai perilakunya tidak sopan. Dia tiba-tiba kembali tersadar dan tak sengaja menjatuhkan kristal itu ke bawah pasir dan matanya kembali merah dan berkeringat.
“Hei, hei! Hati-hati dengan kristal itu!” Valia berteriak menegur Caela.
Tanpa basa-basi, Caela langsung meninggalkan keramaian dan kembali jalan ke rumah. Melihat hal itu Valia kesal dengan perilaku Caela, dan mengambil kembali kristal yang jatuh itu.
“Cih, sopan sekali bocah itu.” Valia menggerutu.
***