Hidup sebatang kara, dikhianati oleh keluarganya, bahkan diusir dari rumah peninggalan orang tua oleh sang tante, membuat Ayuna Ramadhani terpaksa harus bekerja keras untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin di tengah kesibukkannya kuliah. Ditambah pengkhianatan sang pacar, membuat Ayuna semakin terpuruk.
Namun titik rendahnya inilah yang membuat ia bertemu dengan seorang pengusaha muda, Mr. Ibram, yang baik hati namun memiliki trauma terhadap kisah cinta. Bagaimana kelanjutan kisah Ayuna dan Mr. Ibram, mungkinkah kebahagiaan singgah dalam kehidupan Ayuna?
Selamat membaca
like like yang banyak ya teman-teman
terimakasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAWARAN KEMBALI
"Pak Ibram pasti senang diperhatikan mama Pak Ibram seperti itu," tukas Ayuna sembari melipat mukenah. Ia tersenyum kecil karena tidak bisa mendapat perhatian dari sang ibu meski lewat omelan.
"Stres, Ay. Cerewet amat!"
"Jangan gitu, Pak. Cerewet begitu ngangenin loh."
"Sedikit," jawab Ibram kemudian meletakkan ponselnya di nakas. Ia mulai berbaring lagi, melihat Ayuna yang duduk di sofa sepertinya mengetik pesan pada seseorang.
"Sini, Ay!" pinta Ibram yang kini sudah duduk dan menepuk space kosong ranjangnya, kaki Ibram pun agak disingkirkan agar Ayuna bisa duduk di ranjang juga.
Ayuna terdiam, gak mau berada di situasi begini. Kedekatan mereka tak sejauh itu. "Aku gak bakal apa-apa in kamu, aku juga gak bakal melakukan pelecehan, tanganku aja begini. Aku cuma ngomong."
Ayuna pun mendekat tapi tidak di tempat Ibram minta. Ia menarik kursi dan meletakkannya di ujung ranjang. Ibram masih duduk dan terdengar menghela nafas pendek, kesal kali karena permintaannya tak dituruti. Ini bukan kantor juga, tak ada alasan buat menuruti permintaannya.
Oke Ibram mengalah saja.
"Tawaran itu masih berlaku!" ucap Ibram kemudian. Ayuna bingung, tawaran mana ya. Ia sampai mengerutkan dahi, mencoba mengingat tawaran apa yang pernah diberi Ibram.
"Lupa?"
Ayuna melotot seketika, tawaran nikah, yah ia baru ingat. Ibram melihat itu, dan tertawa saja.
"Aku gak menangis lagi loh, Pak. Kenapa harus ada tawaran itu lagi?"
Ibram makin ngakak, gemas dengan jawaban Ayuna. Ya kali ancaman itu serius. "Kamu lucu banget sih."
"Ya habis, Pak Ibram bercandanya gak lucu."
"Dih, kapan aku bercanda. Emang aku beneran mau nikahin kamu."
Ayuna memanyunkan bibirnya seperti bebek, dan itu terlihat oleh Ibram, benar kata Akmal, emang bocil dia. Ibram menggelengkan kepala sambil tersenyum, kok bisa dia tertarik sama nih cewek.
"Bapak emang udah cinta sama aku?" tanya Ayuna memastikan. Menurutnya pernikahan harus didasarkan atas cinta. Bagaimana jadinya membangun rumah tangga tanpa didasari cinta, asal tunjuk istri atau suami tanpa tahu karakternya terlebih dulu. Begitu pemikiran Ayuna.
"Emang cinta itu kayak apa sih? Aku cinta sayang gak mau kehilangan mantanku dulu, aku prioritaskan dia yang utama, ujungnya juga aku dibuang. Kamu, pacaran lama juga, bersandar sama tuh cowok juga kamu dibuang. Jadi apa gunanya cinta."
Ayuna terdiam, fakta yang diungkap Ibram benar. Apa sih definisi cinta yang sebenarnya. "Kamu tahu kenapa kita pada akhirnya patah hati?"
"Bukan jodoh."
"Lalu?"
Ayuna mengedikkan bahu, "Takdir mungkin."
"Lebih tepatnya kita terlalu sombong, lupa kalau ada Allah yang bisa membolak balikkan hati manusia."
"Maksudnya?"
"Kita masih pacaran saja sudah koar-koar sama semua orang, aku cinta sama dia, nanti aku bakal nikah sama dia, aku gak bisa hidup sama dia, begitu kan? Sedangkan kita ini siapa? Kita bukan siapa-siapa, kok bisa-bisanya mengucapkan sesuatu yang menjadi rahasia Allah."
"Berasa diceramahi deh aku," protes Ayuna.
"Bukan ceramah, cuma berbagi pandangan aja. Kamu tahu, sejak pertemuan di cafe tempo hari, aku banyak merenung, dan aku belajar sama kamu. Kamu bisa dewasa banget saat itu, aku salut sih. Dan pada akhirnya aku menawarkan pernikahan sama kamu. Hatiku yang pilih, langsung klik aja, nih cewek yang gue cari."
"Tapi Pak pernikahan gak hanya sehari dua hari, selamanya. Yakin bapak mau sama saya?"
"InsyaAllah yakin. Emang kamu gak yakin sama aku? Kaya, pinter, ganteng," bukan sombong tapi mengungkap fakta, dan benar Ayuna tertawa mendengar kenarsisan Ibram.
"Bukan gak yakin sih, cuma gak percaya aja. Masa' iya aku nikah di usia 20 tahun, secepat itu, gitu doang aku mikirnya."
"Masih ada mimpi yang mau dikejar?" tanya Ibram.
"Sejak kehilangan orang-orang yang aku sayangi, aku jadi gak punya mimpi, Pak. Pikiran saya cuma satu, aku harus punya uang sendiri buat hidup."
"Ayo sama aku punya uang banyak buat hidup dan bantu orang!" ucap Ibram sangat serius, bahkan ia menegakkan tubuhnya, dan menatap Ayuna seksama.
"Kasih aku waktu," pinta Ayuna masih ragu.
"Boleh, sampai kapan? Kebaikan harus segera dilaksanakan loh, Ay. Lagian laki-laki baik itu bukan mengajak pacaran, tapi mengajak nikah."
Telak.
Ayuna tak bisa berkutik. Kalimat terakhir Ibram serasa menusuk di ulu hati. Dulu, Rajendra sering banget mengajak nikah. Tandanya juga dia lelaki baik, tapi Ayuna gak mau, terus saja mengelak dengan alasan mau punya uang sendiri, dan berakhir tragis.
Dan kini, ada laki-laki lain yang mengutarakan niat baiknya, Ayuna pun berpikir, haruskah dia menerima Ibram? atau menolaknya karena mereka belum dekat? Kalau menolak sekarang, mungkinkah ada lelaki baik yang menginginkannya dan sebaik Ibram?
"Maksimal akhir tahun ini," janji Ayuna. Ibram pun mengangguk. Lelaki itu sangat menghargai permintaan Ayuna, butuh waktu untuk mengambil keputusan seumur hidup. Toh, Ibram juga membutuhkan waktu tahunan untuk berdamai dengan masa lalunya.
"Dan kalian gak ngapa-ngapain?" tanya Akmal saat tiba pukul 9 malam. Membuka pintu, ada Ayuna yang bermain ponsel di sofa, dan Ibram yang terbaring lemah.
"Ck," Ayuna berdecak sebal. Ia mengambil tas siap pulang. "Terus kita harus ngapain?" sewot Ayuna.
"Gak usah diladenin Ay," sahut Ibram dan membuat Akmal tertawa. "Berani pulang sendiri?" tanya Ibram khawatir.
"Berani, Pak. InsyaAllah aman."
Ibram mengangguk, "Makasih ya, laporan PKL kamu ambil saja besok bawa ke sini, aku tanda tangani."
"Baik, Pak. Permisi."
Ibram dan Akmal pun menatap pintu yang sudah ditutup Ayuna kembali. "Kok bisa sih lo gak ngapa-ngapain sama dia?"
"Lo berharap apa sih, Mal?" Ibram tak mungkin cerita soal tawaran menikah, bisa heboh dan menyebar ke keluarganya nanti. Ibram dan Ayuna pun sepakat yang tahu soal batas waktu menikah hanya mereka berdua.
"Ya setidaknya lo ambil kesempatan buat ngobrol kek, cewek cantik dianggurin, ya Allah, Bram. Rugi banget."
"Kita ngobrol kok?"
"Ngobrol apa?" tantang Akmal yang sudah tahu kalau obrolan mereka garing.
"Ay, bisa minta tolong bawa makannya ke sini."
Benarkan? Akmal hanya tepok jidat, sedangkan Ibram tertawa. Biarkan Akmal mengoceh dengan pemikirannya yang jelas, Ibram puas sudah ditemani Ayuna dalam beberapa jam ini.
Ia pun mengambil ponsel, mengirim pesan ke Ayuna. Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai kabari. Terimakasih.
"Paham gak sih, Bram. Lo sakit ketika gue dan Uci gak bisa di dekat lo, bahkan keluarga lo aja gak ada, eh malah Ayuna yang menolong kamu, sampai menemani gini. Itu tandanya."
"Apa tandanya?"
"Ck, kalian berjodoh. Gitu aja gak paham."
"Aamiin." Akmal semakin gergetan, jawaban dingin Ibram menunjukkan kalau ia tidak tertarik pada Ayuna. Ia tak mau perasaannya diketahui banyak orang. Biarkan menjadi rahasia sampai waktu akan menjawab bahwa Ayuna memang untuknya.