Tumbuh di lingkungan panti asuhan membuat gadis bernama Kafisha Angraeni memimpikan kehidupan bahagia setelah dewasa nanti, mendapatkan pendamping yang mencintai dan menerima keadaannya yang hanya dibesarkan di sebuah panti asuhan. namun semua mimpi Fisha begitu biasa di sapa, harus Kalam setelah seorang wanita berusia empat puluh tahun, Irin Trisnawati datang melamar dirinya untuk sang suami. sudah berbagai cara dan usaha dilakukan Kira untuk menolak lamaran tersebut, namun Irin tetap mencari cara hingga pada akhirnya Fisha tak dapat lagi menolaknya.
"Apa kamu sudah tidak waras, sayang???? bagaimana mungkin kamu meminta mas menikah lagi... sampai kapanpun mas tidak akan menikah lagi. mas tidak ingin menyakiti hati wanita yang sangat mas cintai." jawaban tegas tersebut terucap dari mulut pria bernama Ardian Baskoro ketika sang istri menyampaikan niatnya. penolakan keras di lakukan Ardi, hingga suatu hari dengan berat hati pria itu terpaksa mewujudkan keinginan sang istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17.
Di saat Gandi tak kunjung dapat memejamkan matanya memikirkan alasan yang tepat untuk menemui Irin, di belahan bumi yang berbeda Kafisha justru sedang bingung mencari alasan untuk menolak permintaan Citra menemani Ardian di kamarnya malam ini.
"Apa mommy tidak kasian pada papa? Papa sedang kurang enak badan, dan pastinya membutuhkan perhatian, Mom." ujar Citra dengan wajah memelas.
"Tapi Cit_."
Kafisha hendak kembali menolak namun gadis itu lebih dulu memasang wajah sendunya.
"Citra benar-benar kasihan pada papa, punya istri dua tapi saat sedang kurang enak badan tidurnya malah sendirian, nggak ada yang menemani." Citra sengaja bergumam demikian dihadapan Kafisha.
Kafisha terdengar menghela napas berat.
"Kalau pun mommy bersedia, apa papa kamu tidak akan keberatan?."
"Tentu saja papa tidak akan keberatan, iyakan pah?." diakhir kalimat Citra memandang pada ayahnya yang sejak beberapa saat lalu berdiri di depan kamar Kafisha. Ardian yang ingin mengambil laptopnya di ruang kerja melintas di depan kamar Kafisha, pria itu sontak saja menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar obrolan istri keduanya itu bersama putrinya. Ia yang berpikir tidak akan ketahuan pada akhirnya hanya bisa menelan ludah saat tiba-tiba Citra menyebut namanya.
"Hemt." hanya itu yang terucap dari mulut Ardian sebelum kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya.
"Tuh Mommy dengar sendiri kan, papa tidak keberatan jika mommy menginap di kamarnya papa." ujar Citra dengan mata berbinar.
Setelah Citra pamit kembali ke kamarnya, Kafisha pun beranjak dari kamarnya hendak pergi ke kamar Ardian.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali Kafisha pun memutar handle pintu. "Boleh aku masuk?." tanya Kafisha sembari menyembulkan kepalanya ke dalam.
"Hemt." Kafisha merasa suasana mencekam tatkala Ardian sangat irit bicara.
Dengan pelan dan hati-hati Kafisha kembali menutup pintu kamar, tak ingin menganggu Ardian yang kini terlihat sedang fokus menatap layar laptopnya. dari pandangan Kafisha sepertinya pria itu sedang sibuk bekerja, duduk ditempat tidur seraya menyandarkan tubuhnya pada headboard.
Mendaratkan bobotnya di sofa adalah hal pertama yang dilakukan Kafisha setelah memasuki kamar Ardian.
Sudah hampir setengah jam Kafisha berada dikamar itu namun Ardian masih terlihat fokus dengan pekerjaannya. Hingga beberapa saat kemudian, Ardian pun menyudahi pekerjaannya, menutup laptopnya dan meletakkannya di atas nakas.
"Apa yang kau lakukan di situ???." tanya Ardian saat Kafisha hendak merebahkan tubuhnya di sofa.
"Mau tidur." dengan polosnya Kafisha menjawab.
"Aku juga tahu kalau kamu mau tidur, tapi yang aku maksud kenapa kau tidur di sofa?? Apa kau tidak mau tidur seranjang denganku?." cetus Ardian sedikit tersinggung dengan sikap Kafisha, ia berpikir Kafisha tak ingin tidur seranjang dengannya sementara sewaktu di penginapan tempo hari mereka berbagi ranjang hampir seminggu.
Kafisha kembali menegakkan tubuhnya. "Bukan begitu mas, tempat tidur itu milik mbak Irin, sangat tidak sopan rasanya jika saya menempatinya. Bukannya saya ingin bersikap tidak patuh sama mas Ardian, tapi saya harap mas Ardian bisa mengerti."
Deg
Ardian tertegun mendengar jawaban Kafisha. sekalipun Irin tidak ada di sana, ia masih memikirkan perasaan Irin, menghargai privasi Irin sebagai istri pertamanya. Mau tak mau Ardian pun menghargai keputusan Kafisha. "Terserah kau saja." ujarnya sebelum merebahkan tubuhnya.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah satu dini hari namun Ardian tak kunjung dapat memejamkan matanya. Sedangkan Kafisha, wanita itu terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Mungkin jika ia yang saat ini tidur di sofa, jangankan lelap mungkin memejamkan mata saja Ardian tak bisa karena merasa tak nyaman. Ya, sejak kecil hingga menjadi ayah dari dua orang anak seperti sekarang ini ia selalu menggunakan fasilitas serba nyaman. Entah mengapa, Ardian jadi kepikiran dengan kehidupan yang selama ini dijalani Kafisha di panti, terlebih ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sederhananya fasilitas tempat tidur di panti. Memikirkan itu semua membuat Ardian jadi berpikir sekuat apa perjuangan Kafisha untuk berjuang hidup??? Dan pantaskah Kafisha kembali menderita setelah menikah dengannya??
Perlahan Ardian beranjak turun dari tempat tidur, menghampiri sofa yang kini dijadikan Kafisha sebagai sarana untuk mengistirahatkan tubuhnya malam ini.
Bibir mungil, bulu mata lentik, serta pipi Kafisha yang putih dan mulus membuat Ardian tanpa sadar semakin mengikis jarak, hingga "Cup." sebuah kecupan mendarat cantik dibibir mungil nan indah milik Kafisha.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?? Sepertinya aku sudah mulai tidak waras..." seketika Ardian menjauhkan tubuhnya dari Kafisha saat menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Pria itu nampak mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, tak habis pikir dengan tindakannya barusan, mengecup bibir mungil Kafisha yang terasa manis baginya.
Ardian semakin menjauhkan tubuhnya dari Kafisha saat menyadari ritme jantungnya yang kini berdebar tak menentu. Ardian memegangi da_da kirinya, di mana letak organ tubuhnya yang bertugas memompa darahnya berada.
"Kapan kau kembali Irin?? Aku takut tak sanggup lagi mengontrol perasaanku." lirih Ardian sebelum sesaat kemudian kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Pagi harinya, Ardian lebih dulu terjaga dari tidurnya. Pria itu merasa aneh, pagi ini ia tak merasakan mual seperti pagi kemarin. "Apa karena Kafisha berada di dekatku sehingga aku tidak merasakan mual seperti kemarin??." batin Ardian, seakan tak percaya tetapi itulah kenyataan yang terjadi pagi ini.
Tak lama berselang, Kafisha pun terjaga, mengerjap mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
"Maaf mas, aku telat bangunnya." ujar Kafisha seraya bangun dari tidurnya.
"Jika kau masih mengantuk, lanjutkan saja tidurmu! Aku akan belajar menyiapkan pakaian kerjaku sendiri."
Bukannya senang mendengarnya, Kafisha justru berpikir Ardian tengah marah padanya hingga dengan langkah cepat wanita itu berjalan menuju lemari pakaian guna menyiapkan pakaian kerja Ardian. Mungkin karena nyawanya yang belum terkumpul dengan sempurna sehingga Kafisha hampir saja terjatuh akibat tersandung, jika saja Ardian tidak sigap menangkap bobotnya.
Posisi Kafisha yang berada diperlukan Ardian membuat pandangan keduanya bertemu. Untuk beberapa saat keduanya saling mengunci pandangan satu sama lain hingga sesaat kemudian Kafisha lebih dulu memalingkan pandangannya, lalu kembali menegakkan posisi berdirinya.
"Lain kali bergeraklah dengan hati-hati, jangan sampai menyakitinya!." ujar Ardian seraya menjatuhkan pandangan pada perut Kafisha.
"Maaf mas, lain kali aku akan lebih berhati-hati." sahut Kafisha lalu kemudian kembali melanjutkan langkahnya, hendak menyiapkan pakaian kerja Ardian.
Usia menyiapkan pakaian kerja Ardian, Kafisha pun pamit untuk kembali ke kamarnya.
"Tunggu!."
Kafisha mengurungkan niatnya memutar handle pintu. "Masih ada yang mas butuhkan?." tanyanya.
Bukannya menjawab Ardian justru mengambil dompetnya dari atas nakas kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
"Ambillah, gunakan untuk memenuhi kebutuhanmu!." Ardian menyerahkan sebuah card berwarna hitam kepada Kafisha. meskipun hanya dibesarkan di panti tapi Kafisha cukup tahu akan kegunaan benda itu.
"Tidak perlu mas, selama tinggal di rumah ini semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh mbak Irin." Kafisha menolak pemberian Ardian. "Terima kasih sebelumnya atas niat baik mas Ardian." setelahnya, Kafisha pun berlalu meninggalkan kamar Ardian.
disini siapa yang licik ???
disini siapa gak tamak???
gak usah sok playing victim gtu donk...
nggak semua orang bisa kamu jadikan boneka,yang hidupnya bisa kamu mainkan
ingin mengendalikan Ardian,tapi dia menyakiti Kafisha...
krᥒ ⍴ᥱᥒ᥆k᥆һᥲᥒ ᥒᥲmᥲᥒᥡᥲ һᥲm⍴іr mіrі⍴
sᥱmᥲᥒgᥲ𝗍 ᥡᥲ kᥲk ✍️
Ternyata Irin tak sebaik yang di kira...
aneh
jadi susah bedainnya kk Thor 😆🙏
seharusnya Ardian pindah ke kamar Kafisha ...
Ini kamar Ardian dan Irin gak pantes rasanya mereka tidur diranjang ini, apalagi Irin masih hidup.masih istri Ardian juga...
Kafisha dilamar sm irin untuk jadi madunya, karna anak lakinya suka sama kafisha
Gitu gak yaaa ?
Semakin seruuu ceritanyaaa, semangat terus thor 💪🏼
malang bener nasib mu Fisha....
kenak kehamilan simpatik ini si Adrian😆😆😆😆