Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Aruna masih terhanyut dalam pikirannya ketika langkahnya terhenti di depan pintu. Ia sempat melirik sekilas ke arah Arkan yang berdiri tak jauh di belakang mereka. Lelaki itu masih dengan rahang mengeras, matanya menyimpan sisa amarah yang tadi belum tuntas. Namun saat tatapannya bertemu dengan Aruna, sorot itu meredup, berganti dengan keinginan untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.
“Aku yang antar,” ucap Arkan tiba-tiba, nadanya tegas.
Ibu Arkan sempat ingin membantah, tapi ia hanya menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam cara Arkan menatap Aruna—bukan sekadar kewajiban, melainkan dorongan yang datang dari hatinya sendiri. Akhirnya, beliau hanya mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi jaga Aruna baik-baik, Kan.”
Arkan mengangguk singkat. Ia lalu melangkah ke arah mobil yang terparkir di halaman depan, sementara Aruna mengikuti dengan langkah ragu-ragu.
Sesampainya di mobil, Arkan dengan sigap membukakan pintu penumpang untuk Aruna. Gerakannya sederhana, tapi cukup membuat Aruna tertegun. Ia menunduk sedikit sebelum masuk ke dalam.
Perjalanan pun dimulai. Mesin mobil meraung halus, roda berputar meninggalkan halaman rumah besar keluarga Dirgantara. Namun suasana di dalam mobil terasa begitu hening. Tidak ada percakapan, hanya suara mesin dan deru angin dari luar jendela.
Aruna duduk kaku, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Ia tidak berani menoleh ke arah Arkan. Sementara itu, Arkan tampak fokus pada jalan, kedua tangannya mantap di setir, tapi dari sudut matanya sesekali melirik gadis di sebelahnya.
Tak ada yang tahu harus memulai dari mana. Hening itu justru menekan, membuat detik-detik terasa lebih panjang.
Akhirnya, mobil berhenti di depan rumah sederhana milik Aruna. Arkan mematikan mesin, tapi tidak langsung membuka mulut. Ia hanya menoleh sekilas, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Aruna membuka pintu dengan hati-hati, menunduk dalam. “Terima kasih sudah nganter, Pak—”
“Arkan.” Suara itu terdengar cepat, sedikit berat.
Aruna terhenti, lalu menoleh dengan bingung. “M-maaf?”
“Panggil aku Arkan saja,” ujarnya lagi, kali ini lebih tenang. “Kita… tidak sedang di kantor.”
Aruna terdiam. Hatinya berdebar aneh mendengar nada suara itu. Ia lalu mengangguk pelan. “Baik… Arkan.”
Arkan menatapnya lebih lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aruna…” Ia ragu sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, “Nomor teleponmu… bisa berikan padaku?”
Aruna membelalakkan mata sebentar. “Eh?”
“Sampai sekarang, aku belum punya nomor pribadimu.” Arkan berusaha terdengar biasa, tapi sorot matanya jelas menyiratkan sesuatu. “Kalau terjadi apa-apa lagi… aku hanya ingin bisa segera tahu. Aku tidak mau terlambat.”
Aruna menunduk, hatinya mendadak terasa hangat sekaligus gugup. Ia menggigit bibirnya pelan, lalu mengangguk. Dengan tangan sedikit bergetar, ia merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel.
“A-aku tulis di sini saja?” tanyanya lirih.
“Boleh. Atau kau bisa langsung ketikkan ke ponselku.” Arkan sudah meraih ponselnya sendiri, lalu menyerahkannya ke Aruna.
Jemari Aruna ragu saat menerima ponsel itu. Sentuhan benda tersebut terasa berbeda—seolah ada jarak yang semakin menipis di antara mereka. Ia mengetikkan nomornya perlahan, memastikan tidak salah, lalu mengembalikannya dengan hati-hati.
“Sudah,” ucapnya pelan.
Arkan melirik layar ponselnya sebentar, lalu menyimpannya di saku. “Terima kasih.” Nada suaranya datar, tapi ada kelembutan yang samar di ujungnya.
Aruna tersenyum tipis, meski wajahnya masih memerah. “Kalau begitu… saya masuk dulu.”
“Aruna.”
Ia berhenti lagi, menoleh dengan bingung.
Arkan menatapnya lama, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi akhirnya ia hanya berujar singkat, “Hati-hati. Dan jangan pikirkan ucapan Rani tadi. Aku ada kalau kau butuh.”
Aruna tercekat. Matanya memanas, tapi ia buru-buru mengangguk sebelum air itu jatuh. “Iya… terima kasih, Arkan.”
Dengan langkah cepat ia beranjak masuk ke rumah, meninggalkan Arkan yang masih duduk di dalam mobil. Lelaki itu hanya menatap punggung Aruna sampai menghilang di balik pintu. Bibirnya sedikit mengeras, seolah menyimpan janji dalam hati—ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti gadis itu lagi.
Aruna masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Suara pintu yang tertutup membuatnya tersadar kalau ia sudah benar-benar berada di tempat yang seharusnya aman. Namun hatinya masih berdebar, perasaannya campur aduk.
Begitu meletakkan tas kecilnya di meja dekat pintu, ia refleks menoleh ke arah jendela. Tirai tipis bergerak pelan saat ia menyibakkannya. Dari balik kaca, ia masih bisa melihat mobil Arkan yang terparkir di depan. Lelaki itu belum langsung pergi, hanya duduk di balik kemudi, menatap rumahnya beberapa detik sebelum akhirnya mesin mobil kembali menyala perlahan.
Aruna menahan napas. Ada sesuatu yang aneh terasa di dadanya saat melihat mobil itu perlahan melaju menjauh. Sebuah rasa hangat bercampur bingung, membuatnya tak tahu harus bagaimana.
“Aruna?” Suara lembut mamanya terdengar dari ruang tengah.
Aruna buru-buru menurunkan tirai dan berbalik. Mamanya sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan raut wajah penuh tanya. “Kamu kenapa, Nak? Mama lihat dari tadi wajahmu tegang sekali. Ada sesuatu yang terjadi?”
Aruna menggigit bibirnya. Ia sempat ingin menggeleng, tapi tatapan mamanya membuatnya tak sanggup berbohong. Ia berjalan pelan ke ruang tengah, lalu duduk di sofa dengan lemas.
Mamanya ikut duduk di sampingnya. “Coba cerita sama Mama. Apa ada yang bikin kamu kepikiran?”
Aruna menghela napas dalam-dalam, lalu perlahan menceritakan apa yang terjadi di rumah keluarga Dirgantara. Tentang bagaimana Rani muncul, kata-katanya yang tajam, tatapan matanya yang penuh kebencian, hingga suasana menegangkan yang membuatnya gemetar.
Mamanya mendengarkan tanpa menyela, tapi raut wajahnya semakin lama semakin menegang. Kedua alisnya berkerut, dan jemarinya yang bertumpu di pangkuan sesekali mengepal.
“Jadi perempuan itu berani berkata begitu di depanmu?” suara mamanya terdengar meninggi, jelas-jelas menahan amarah. “Kurang ajar sekali! Dia pikir siapa dirinya, berani mengancam anak Mama seperti itu?”
Aruna menunduk. “Aku… aku cuma bisa diam, Ma. Rasanya aku nggak sanggup ngomong apa-apa.”
Mamanya segera meraih tangan Aruna dan menggenggamnya erat. “Dengar, Nak. Diam kamu itu bukan kelemahan. Kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Yang salah itu Rani, dengan sikapnya yang tidak tahu malu.”
Aruna menatap mamanya dengan mata yang mulai memanas. Ada kelegaan dalam hatinya mendengar pembelaan itu.
“Kalau Mama ketemu dia,” lanjut mamanya sambil menggeleng kesal, “Mama sendiri yang akan menegurnya. Jangan sampai dia pikir bisa semena-mena denganmu.”
Aruna menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. “Jangan, Ma… aku nggak mau Mama ikut repot. Aku cuma… takut dia benar-benar benci sama aku.”
Mamanya mengusap pipinya pelan. “Kalau dia benci, biarlah. Itu urusannya. Yang penting, kamu jangan pernah merasa sendirian. Ada Mama, ada keluarga, dan… ada Arkan juga yang jelas-jelas tadi membelamu, kan?”
Nama itu membuat pipi Aruna memerah. Ia menunduk makin dalam, jantungnya berdegup lebih cepat. “I-iya, Ma… dia bahkan yang nganterin aku pulang.”
“Oh begitu?” senyum kecil tersungging di bibir mamanya, meski amarahnya pada Rani belum sepenuhnya padam. “Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Jangan biarkan omongan orang jahat itu mengganggu pikiranmu. Mama yakin kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Aruna mengangguk pelan. Ia bangkit, lalu memeluk mamanya erat. “Terima kasih, Ma…”
“Selalu, Nak,” balas mamanya sambil membelai rambutnya. “Sekarang masuk kamar, cuci muka, lalu rebahan. Biar Mama yang urus semua di luar. Kamu harus jaga dirimu sendiri.”
Aruna menghela napas lega dalam pelukan itu. Meski hatinya masih bergetar karena bayangan tatapan Rani, tapi genggaman mamanya membuatnya merasa aman kembali.
Dengan langkah pelan, ia pun menuju kamar untuk beristirahat, meninggalkan mamanya yang masih duduk dengan wajah penuh kekhawatiran bercampur tekad.