Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Cemburu?
Rumah besar itu terasa lengang ketika mobil Alphard hitam milik Rayyan memasuki halaman. Mesin yang baru saja dimatikan masih menyisakan dengung halus, tetapi cukup untuk membuat penghuni rumah itu menyadarinya.
Hana turun dengan langkah hati-hati, tubuhnya masih lemah karena demam. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangisan semalam, namun ia tetap mencoba menampilkan senyum tipis senyum yang sama sekali tidak sampai ke matanya.
Rayyan berjalan mengiringinya, sikapnya lembut dan penuh perhatian. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan, nada suaranya tulus.
Hana berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot yang sayu. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski jelas-jelas ucapannya hanyalah sebuah kebohongan. Ada getir yang terselip di balik nada suaranya, dan Rayyan menangkapnya. Namun ia tak mendesak lebih jauh.
Dari lantai atas, tepat di balkon kamar kerjanya, Hansel berdiri dengan tubuh tegap. Tangannya terkepal erat pada besi pagar, wajahnya tegang, matanya tak lepas dari pemandangan di bawah. Ada bara yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena Rayyan membawa Hana pulang, tetapi juga karena kelembutan yang pria itu tunjukkan pada Hana. Sesuatu yang seharusnya tidak boleh Hansel pedulikan, tapi justru menusuk hatinya lebih dalam dari yang ia harapkan.
Jamilah yang sedari tadi menunggu di ambang pintu segera menyadari keberadaan Hansel di atas. Hatinya mencelos. Ia tahu putrinya dalam posisi terikat pada pernikahan yang serba rahasia dan rapuh. Maka, ia segera melangkah cepat, menyambut Hana dengan senyum hangat yang dipaksakan.
“Hana, ayo masuk,” ucapnya, lirih namun tegas. “Ingat … apa yang sudah Ibu bilang. Kamu sekarang istri Hansel. Jangan buat keadaan semakin sulit.” bisik Jamilah yang terdengar cukup egois.
Hana terdiam sejenak, kata-kata itu menghujam jantungnya, mengingatkan pada beban yang ia pikul. Tanpa membantah, ia hanya mengangguk dan mengikuti ibunya masuk ke dalam.
Rayyan menatapnya dengan tatapan yang seolah enggan berpisah. Senyum tipisnya masih tergambar, penuh pengertian, meski ia tahu Hana sedang berbohong tentang keadaannya. Sebelum berbalik menuju mobilnya, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cake yang tadi sempat ia beli di jalan.
“Eh, tunggu! Ini … aku tadi belikan ini. Semoga kamu suka ... jangan lupa dimakan, Hana. Kamu butuh tenaga.”
Suaranya lembut, penuh perhatian, membuat hati Hana sedikit bergetar. Ia hanya mengangguk, menerima kotak itu dengan tangan yang gemetar halus.
“Terima kasih, Tuan Rayyan,” bisiknya.
Rayyan menatap Hana sekali lagi sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi. Ia masuk ke dalam mobilnya, mesin kembali menyala, dan perlahan kendaraan itu meninggalkan halaman rumah besar tersebut.
Di atas balkon, Hansel masih berdiri dengan rahang mengeras. Matanya mengikuti setiap gerakan Rayyan hingga mobil itu benar-benar hilang di balik gerbang. Tangannya yang terkepal di besi balkon kini bergetar, menandakan amarah yang menyesakkan dadanya.
Ada sesuatu yang tak bisa ia terima, bukan hanya karena Rayyan begitu santai mendekati Hana, tetapi juga karena Hana tampak menerimanya. Hansel mengembuskan napas panjang, matanya menyipit, penuh gejolak. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasakan sesuatu yang sulit ia pahami untuk Hana, yaitu rasa cemburu.
Suara mesin mobil Rayyan lenyap di balik gerbang. Halaman rumah kembali sunyi, hanya ada suara burung yang bertengger di pepohonan. Namun, suasana di dalam rumah jauh dari tenang.
Hana baru saja menaruh kotak cake pemberian Rayyan di atas meja kecil ruang tamu ketika langkah berat terdengar menuruni tangga. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik langkah itu. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegup tak beraturan.
Hansel muncul dengan wajah dingin. Tatapannya menusuk, rahangnya mengeras, sorot matanya penuh tekanan. Seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menuju Hana adalah sebuah penghakiman.
“Apa kamu begitu menikmati perhatian dari Rayyan?” suaranya rendah, dalam, namun mengandung bara yang tertahan.
Hana tersentak, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Ia menoleh perlahan, menatap Hansel yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Aku tidak...” suaranya tercekat. Ia mencoba mengatur napas sebelum melanjutkan, “Aku tidak meminta dia memperhatikanku. Aku hanya sakit, dan Tuan Rayyan hanya mengantar kami kembali ke sini ... padahal ada seseorang yang mungkin bisa memberi kami tumpangan tapi malah pergi begitu saja," ucapan Hana seakan memberi sindiran kepada Hansel.
Hansel mendengus, senyum sinis tersungging di wajahnya.
“Sakit, ya? Lucu sekali. Tiba-tiba jadi lemah, lalu pria itu datang, menaruh perhatian, bahkan sampai membelikan kue. Apa menurutmu aku bodoh, Hana?”
Jamilah yang tadi masih berada di dapur mencoba mendekat, menyadari nada suara Hansel mulai meninggi. “Tuan Hansel … jangan salah paham. Nden Rayyan hanya ingin membantu, dia tulus. Tidak ada yang lain.”
Namun Hansel tak menghiraukan penjelasan Jamilah. Matanya tetap terkunci pada Hana.
“Kamu harus ingat satu hal, Hana,” katanya dengan nada dingin menusuk. “Kamu di sini bukan untuk menerima perhatian pria lain. Kamu istriku ... meski hanya di atas kertas ... dan itu artinya kamu tidak boleh mempermalukan aku dengan tingkahmu.”
Hana merasakan hatinya diremas. Kata-kata Hansel seperti belati yang menancap dalam. Ia menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
“Aku tidak pernah berniat mempermalukanmu, Tuan Hansel.” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. “Kalau saja aku boleh memilih, aku tidak ingin berada di sini. Aku tidak ingin menikah denganmu. Tapi aku terikat janji pada ibuku … dan pada Nyonya Rohana, hanya itu.”
Keheningan mendadak jatuh di ruangan itu. Hansel terdiam, ucapan Hana barusan seperti tamparan keras di wajahnya. Ada kejujuran yang menohok, yang membuat amarahnya bercampur dengan rasa bersalah yang samar, meski ia sendiri terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Hansel mengalihkan pandangannya, menahan diri untuk tidak berdebat lebih jauh. Ia menarik napas panjang, lalu tanpa menoleh lagi pada Hana, ia berjalan pergi, menaiki tangga kembali ke lantai atas.
Jamilah segera mendekat, meraih tangan anaknya. “Sabar ya, Nak. Ini baru permulaan ... Ibu tahu berat, tapi kita harus bertahan. Ingat janji itu, satu tahun. Setelah itu semua akan selesai.”
Hana mengangguk pelan, meski hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dalam diam, ia tahu satu hal, satu tahun itu akan terasa sangat panjang.
Sementara di lantai atas, Hansel berdiri di depan jendela kamarnya, menatap kosong ke arah halaman. Rahangnya masih menegang, dadanya terasa sesak. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa amarahnya semata karena reputasi keluarga, karena ia tak mau Hana mempermalukan namanya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada alasan lain yang tak berani ia akui, ia tak suka melihat pria lain menunjukkan perhatian pada Hana.
Ponselnya berdering, itu panggilan dari Rayyan. Mau tak mau pria ini mengangkatnya.
[Hansel, di mana kamu? Aku di kantor,]
"Di rumah,"
[Pria sepertimu biasanya jarang di rumah. Kau sering menghabiskan waktumu di kantor. Apa lagi aku dengar dari Tante ... Laudya tengah berada di Negara lain,]
"Bukan urusanmu. Katakan apa mau mu? Kau jarang menelponku jika tak terlalu penting,"
[Ini sangat penting. Sepertinya aku tertarik pada putrinya ibu Jamilah. Berikan aku nomornya, aku lupa memintanya. Dia single bukan?]
"Bukan!"
Tut ... tut ... panggilan terputus begitu saja.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊