Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan atau direncanakan
Malam itu, rumah besar keluarga mereka kembali dipenuhi kehangatan. Aziya sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri. Ia duduk di sofa ruang keluarga, memeluk bantal sambil menonton televisi.
Zetas datang sambil membawa semangkuk besar popcorn. “Princess, mau?” tanyanya manis.
Aziya mengangguk. “Mau dong.”
Zetas tersenyum nakal, menyuapkan segenggam popcorn ke mulutnya sendiri. “Eh, sori, Abang lupa, ternyata mulut Abang lebih prioritas.”
“ABANG!!!” teriak Aziya, melempar bantal ke wajahnya.
Popcorn hampir tumpah, tapi Zetas malah ngakak. “Hahaha! Priceless banget liat muka lo kesel, Zi.”
Aziya mendengus, lalu bangkit hendak merebut mangkuknya. Tapi Zetas lincah menghindar, berlari keliling sofa.
“Kasih sini! Itu buat berdua kan!” teriak Aziya.
“Berdua? Salah! Ini buat ber-satu, yaitu gue.” Zetas menyeringai, sambil memakan lagi segenggam.
Mereka berdua saling kejar-kejaran kecil di ruang keluarga, suara tawa dan teriakan bercampur jadi satu.
Tiba-tiba, suara William menggema dari arah tangga. “Zetas!”
Mereka langsung berhenti, seperti anak kecil ketahuan main berisik malam-malam. Aziya langsung duduk rapi dengan wajah polos, sementara Zetas menyembunyikan mangkuk popcorn di belakang punggungnya.
“Apa-apaan ribut begini?” William melangkah turun dengan wajah serius. Ia ikut duduk disebelah Aziya. “Aziya masih pemulihan, kamu malah bikin dia lari-lari. Kamu pikir ini taman bermain, hah?”
“Eh, Dad, sumpah ini bukan salah aku, dia duluan yang...”
“Abang!” potong Aziya cepat, pura-pura mengadu. “Dia jahat, Dad! Popcorn aku dimakan semua.”
Zetas langsung melotot ke adiknya. “Eh buset, jangan fitnah dong!”
William menghela napas panjang, menatap Zetas tajam. “Kamu ini, Zetas, bukannya jaga adik, malah bikin masalah terus. Kalau begini caranya, Daddy bisa larang kamu ketemu Aziya dulu.”
“Whaaat?!” Zetas langsung panik. “No way, Dad! Aku cuma bercanda. Lagian kalo bukan aku, siapa lagi yang bikin dia ketawa?”
Aziya menutupi mulutnya menahan tawa, senyum nakal tersungging di wajahnya. “Hehe, bener juga sih.”
William akhirnya hanya bisa menggeleng sambil berjalan pergi. “Satu rumah, dua badut. Daddy bisa gila lama-lama.”
William baru saja berbalik hendak naik ke lantai atas ketika suara pelan tapi serius menghentikan langkahnya.
“Dad…”
Nada Aziya kali ini berbeda. Tidak ada tawa, tidak ada manja. Hanya ada sorot mata yang dalam dan penuh tanya.
William berhenti, punggungnya menegang. Ia menoleh perlahan. “Ya, Sayang?”
Aziya menggenggam erat bantal di pangkuannya. “Waktu aku dikamar,” ucapnya hati-hati. “Ada seseorang pria asing masuk ke kamar aku. Dia duduk di sampingku, ngomong sesuatu. Katanya, Daddy sendiri yang ngizinin dia masuk.”
Suasana ruang keluarga mendadak hening. Zetas yang tadinya masih mau melempar bantal langsung terpaku. Ia menoleh ke ayah dan adiknya bergantian, keningnya berkerut.
“Zi, lo yakin?” tanyanya pelan.
Aziya mengangguk mantap. “Yakin."
William menarik napas panjang, wajahnya berubah kaku. Ada sesuatu dalam sorot matanya, campuran antara rahasia yang dipendam dan beban yang enggan ia lepaskan.
Zetas langsung bangkit, suaranya meninggi. “What the hell, Dad? Jadi… beneran ada orang asing masuk ke kamar Zi? Daddy kenal dia?”
William terdiam. Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras.
“Dad…” suara Aziya bergetar, tatapannya penuh tanya dan penasaran. “Kenapa Daddy biarin? Siapa dia? Apa hubungan Daddy sama pria itu?”
William akhirnya melangkah mendekat. Ia duduk di depan Aziya dan Zetas, menatap putrinya dalam-dalam. “Zi… ada hal-hal yang Daddy sembunyikan demi kebaikan kamu. Orang itu bukan sembarangan. Dia… kuat, Zi.”
Aziya menahan napas, hatinya berdebar tak karuan. Zetas menatap William penuh curiga. “Terus kalau kuat kenapa? Apa hubungannya sama princes?"
William mengusap wajahnya, seolah menimbang seberapa banyak yang harus ia ungkapkan. Lalu ia berkata dengan suara rendah namun tegas:
“Pria itu… Dia datang bukan tanpa sebab. Tapi sekarang… Daddy belum bisa jelaskan semuanya.”
Aziya menunduk, bibirnya bergetar. “Tapi… dia terlihat seperti tahu banyak tentang aku. Tentang siapa aku sebenarnya…”
William meraih tangan putrinya, menggenggam erat. “Zi, percayalah… Daddy lakukan semua ini untuk melindungi kamu. Orang itu… memang berbahaya sekaligus penting. Dan cepat atau lambat, kalian akan tahu siapa dia sebenarnya.”
Zetas menggeram, masih tak puas. “Kalau sampai orang itu nyentuh Zi dengan niat jahat, sumpah Dad, aku yang pertama bakal habisin dia. Aku gak peduli dia siapa.”
William menatap putranya lama, lalu mengangguk kecil. “Itu sebabnya Daddy belum kasih tahu semuanya sekarang. Karena sekali kalian tahu… kalian gak akan bisa mundur lagi.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Tawa hangat yang tadi memenuhi rumah kini lenyap, berganti aura misterius penuh rahasia.
Aziya menatap ayahnya dengan hati bergetar. Dalam pikirannya, hanya ada satu kalimat Siapa pria itu… dan kenapa aziya merasa dia lebih tahu tentang dirinya daripada Aziya sendiri?
★★★
Malam sudah larut. Rumah sepi, hanya suara detik jam yang terdengar.
Aziya berbaring di ranjangnya, tapi matanya menolak terpejam. Ia menggigit bibir. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa Daddy menyembunyikannya?
Pelan-pelan, Aziya bangkit. Ia menyalakan laptop di meja belajarnya. Jari-jarinya menari di keyboard, mencoba mencari lewat berbagai kata kunci nama ayahnya, perusahaan, mitra bisnis lama, hingga kabar orang-orang berpengaruh yang mungkin berhubungan.
Namun hasilnya nihil. Semakin ia mencari, semakin banyak puzzle yang tak punya jawaban.
Tiba-tiba—ketok ketok.
Aziya kaget, buru-buru menutup layar laptop. “Siapa?”
Pintu terbuka sedikit, menampilkan wajah Zetas yang setengah mengantuk, rambut acak-acakan. “Lo ngapain masih melek? Gila, laptopan jam segini. Mau jadi panda?”
Aziya berusaha tenang. “Gak… cuma cari-cari bahan bacaan.”
Zetas menyipitkan mata. “Bahan bacaan? Muka lo penuh tanda tanya, Zi. Lo lagi mikirin apa?”
Aziya menggigit bibir, lalu mencoba mengalihkan. “Abang kenapa sih tiba-tiba nongol? Jangan-jangan kangen sama aku, ya?”
“Woy!” Zetas cemberut. “Siapa juga kangen sama lo? Gue cuma haus. Eh, kebetulan lewat kamar lo.”
Aziya terkikik. “Alasan.”
Zetas menggaruk kepala, lalu masuk ke kamar tanpa permisi, duduk di kursi dekat meja. Pandangannya tertumbuk pada laptop yang masih menyala samar. “Lo lagi nyari apa di laptop? Jangan-jangan… lo lagi stalking cowok ya?”
“Apaan sih!” Aziya buru-buru menutup layar lebih rapat. “Bukan urusan Abang!”
“Wih, defensif banget. Pasti bener nih.” Zetas menyeringai. "Lo gak nyari identitas orang itu kan?" Tanya Zetas hati-hati.
"Kalau iya kenapa?"
"Bisa emang? Di ajarin siapa?"
"Biasa Lotte."ujar Aziya seadanya. Mengingat soal Lotte bagaimana kabarnya? Aziya lupa soal dia, malah ditinggal di Indonesia. Mungkin Lotte sudah pulang sendiri kali ya.
"Oh, teman dekat lo itu, awas lo nanti naksir dia. "
Aziya memutar bola matanya. “Ya ampun, Abang, plis deh. Balik kamar lo."
Zetas menguap lebar, lalu berdiri. “Ya udahlah, gue balik tidur. Tapi Zi…” ia menoleh sebentar, suaranya berubah sedikit serius. “Apapun yang lo pikirin sekarang, jangan simpen sendirian. Gue ada di sini buat lo.”
Aziya terdiam. Sorot mata abangnya penuh tulus meski sering usil.
“Iya, Bang…” jawabnya pelan.
Begitu Zetas keluar, Aziya menatap layar laptopnya lagi. Tangannya gemetar sedikit saat ia membuka kembali catatan kecil yang ia buat. Sulit sekali mencari data pria itu, bahkan hampir tidak bisa. Dia benar-benar pandai menyembunyikan identitasnya. Hanya ada satu nama samar yang berhasil ia temukan.
Nama itu membuat jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya kaku, ingatannya berputar pada saat ia koma, dimana sebelum sadar dia bertemu kembaran dan juga pacarnya Gabriel. Dia teringat ucapan Gabriel waktu itu. Kalau orang yang selama ini bersama nya bukan Gabriel, melainkan...
“Xavier…” bisiknya.