Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Seperti biasa, Chesna lebih sering berjalan kaki pulang atau pergi sekolah. Seperti sore ini dirinya menyusuri jalan yang biasa ia lalui. Hari ini belum ada telpon untuk pekerjaan paruh waktu, sementara uang jajan mulai menipis.
Kalau saja Chesna dan ibunya tidak punya mimpi besar, Chesna tidak akan bersusah payah sekolah sambil bekerja. Uang di tabungannya sudah lumayan tapi Chesna tidak mau menggunakannya sesuka hati. Pure hanya untuk kebutuhan sekolah saja. Untuk jajan dan makan sehari-hari Chesna bisa mendapatkannya dari hasil bekerja apa saja.
“Mama sama Alan apa kabar, ya…” Chesna mulai bergumam. memikirkan dua orang itu saja perasaannya sangat bahagia, meskipun tidak bisa bertemu keduanya saat itu juga.
Mengusir rasa haus, Chesna mampir ke penjual es jeruk yang bertengger di tepi jalan. “Mas, satu ya, yang harga dua ribuan, Mas.”
“Oke, Neng.” ujar mas penjualnya.
Selagi menunggu es jeruknya, ponsel Chesna berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya masuk.
Rania : "Nak, Mama baru dapat jadwal kapal lagi. Masih harus beberapa minggu sebelum bisa pulang. Kamu jaga diri baik-baik ya. Mama sayang kamu."
Chesna menatap layar ponselnya lama. Hatinya mendadak nyesek sekaligus senang. Ia mengetik balasan dengan cepat.
Chesna : "Iya, Ma. Aku baik-baik aja. Jangan khawatir. Aku juga sayang Mama."
Setelah mengirim pesan itu, air matanya justru menetes pelan saking senangnya. Ia menutup ponsel lalu menerima es jeruk pesanannya.
Sore itu, jalanan kota ramai dengan suara klakson, deru mesin, dan hiruk pikuk orang pulang kerja. Chesna melangkah pelan sambil menyeruput es segar dari plastik bening dengan sedotan panjang. Rasa manis dinginnya sedikit mengobati lelah setelah seharian sekolah.
Ia berdiri di tepi zebra cross, menunggu lampu merah kendaraan berganti hijau bagi pejalan kaki. Sekitar lima belas orang lain juga menunggu bersamanya.
Sreet,
Chesna menyedot esnya lagi, matanya melirik malas ke arah deretan mobil mewah yang berhenti di depan garis merah. Salah satunya, sebuah sedan hitam mengilap dengan kaca jendela yang tidak tertutup.
Sekilas, ia melihat seorang remaja laki-laki duduk di kursi penumpang depan. Rambut hitam rapi, wajah tirus, hidung mancung, dan sorot mata yang begitu familiar.
Jantung Chesna mendadak meloncat. Sedotannya berhenti di tengah. Matanya membesar.
"Alan…?"
Ia hampir menjatuhkan plastik es di tangannya. Segala suara bising kota mendadak lenyap di telinganya, hanya wajah itu yang tertangkap jelas. Wajah yang sama dengan dirinya, yang selama ini hanya hadir di mimpi dan ingatan masa kecilnya.
Mobil itu bergeming, menunggu lampu hijau. Sementara Chesna, tanpa sadar maju setapak, berdiri tepat di garis paling depan zebra cross. Matanya tak berkedip.
"Aku nggak salah lihat… Itu dia. Itu pasti Alan. Kembaranku…!"
Tangannya gemetar, jantungnya berdetak begitu kencang sampai rasanya hampir meledak. Namun tubuhnya kaku, tak tahu harus apa. Antara ingin berlari mengejar mobil itu, atau sekadar berteriak memanggil namanya.
Tiiin—!
Suara klakson dari motor di sampingnya menyadarkan Chesna. Lampu sudah hijau untuk pejalan kaki, mobil sedan hitam itu pun sudah melaju.
Chesna refleks melangkah cepat, hampir berlari menyeberang sambil tetap menatap mobil yang semakin menjauh. "Jangan pergi… Alan! Itu kamu kan?! Lihat aku, tolong lihat aku!"
Namun, mobil itu melesat, menghilang di antara arus kendaraan lain.
Chesna berhenti di tengah trotoar, napasnya memburu. Plastik es di tangannya sudah hancur, isinya tumpah membasahi seragamnya. Matanya berkaca-kaca.
Chesna berbisik lemah, hampir menangis. "Aku nggak salah lihat… Itu Alan. Itu Alan…"
Ia berdiri lama sekali di situ, sementara orang-orang terus berlalu-lalang. Perasaan antara bahagia, kaget, dan kehilangan bercampur jadi satu. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, harapan yang sempat padam kini kembali menyala kuat di dada Chesna.
Langkah kaki Chesna terasa lebih cepat dari biasanya saat memasuki gang kecil menuju kosannya. Suara lalu lintas kota yang riuh seakan masih berdengung di telinganya, bercampur dengan denyut jantung yang tak mau tenang.
Begitu masuk kamar kos yang mungil dan rapi seadanya, Chesna menutup pintu rapat-rapat. Punggungnya langsung bersandar di balik pintu, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya menggenang, lalu jatuh begitu saja tanpa bisa ia cegah.
Ia terhuyung ke ranjang, meletakkan tas, lalu meraih ponselnya. Jemarinya gemetar ketika membuka layar. Rasanya ingin berlari pulang ke pelukan mamanya, tapi ia tahu Rania masih jauh, bekerja keras di kapal demi dirinya. Maka, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mengirim pesan.
Dengan nafas terengah, ia mulai mengetik.
Chesna: Ma… aku barusan lihat Alan… aku yakin itu Alan… di dalam mobil, pas aku lagi nyebrang. Wajahnya, Ma… meski tidak sama persis dengan wajah yang dulu… aku yakin nggak salah lihat…
Pesan itu terhenti, lalu ia hapus lagi. Dadanya sesak. Air mata jatuh di layar ponsel. Ia takut mamanya tambah terbebani, tapi rindu yang mendesak begitu kuat membuatnya tak bisa menahan.
Ia mengetik ulang.
Chesna: Ma… aku lihat Alan. Aku yakin banget. Aku kangen banget sama dia, Ma…
Kali ini ia kirim. Ponsel diletakkan di dada, matanya terpejam. Ia menunggu, menunggu, dan menunggu. Namun balasan tak kunjung datang. Hanya detak jam dinding yang mengiringi kesedihannya.
Chesna meringkuk di ranjang sempit itu, membayangkan wajah kembarannya yang kini tampak jauh, duduk di kursi penumpang mobil mewah. Dunia Alan terlihat begitu berbeda dengan dunianya. Ia tersenyum getir di sela tangis, memeluk bantal seolah itu bisa menggantikan pelukan seorang saudara yang lama hilang.
__
Di dalam kabin kapal yang bergoyang lembut, Rania baru saja selesai menutup buku catatan kecilnya. Malam itu laut tenang, hanya suara mesin kapal yang menjadi latar. Ia bersiap untuk merebahkan diri, ketika ponselnya bergetar pelan.
Rania cepat meraihnya—ia tahu hanya satu orang yang akan menghubungi di jam seperti ini: Chesna.
Membaca pesan itu, napasnya langsung tercekat.
“Ma… aku lihat Alan. Aku yakin banget. Aku kangen banget sama dia, Ma…”
Rania menutup mulutnya dengan telapak tangan, berusaha menahan isakan. Matanya panas, dadanya bergemuruh. Ia terdiam lama, tubuhnya seolah membeku di kursi kecil kabin.
“Ya Tuhan… bagaimana mungkin?” bisiknya lirih, suaranya pecah.
Bayangan Alan kecil kembali memenuhi kepalanya, tawa polosnya, genggaman tangannya, wajahnya yang begitu mirip dengan Chesna. Rasa bersalah dan rindu bertubrukan di dalam dada.
Dengan jari gemetar, ia mencoba mengetik balasan.
Rania: Nak, apa kamu yakin? Mungkin hanya mirip…
Ia berhenti. Air matanya jatuh membasahi layar. Bagaimana mungkin ia membohongi anaknya, padahal hatinya pun yakin bahwa Alan benar-benar ada di kota itu? Bahwa darah dagingnya, yang selama ini ia rindukan, hidup hanya sejengkal darinya namun begitu mustahil untuk diraih?
Ia menghapus pesannya, lalu mengetik lagi.
Rania: Sayang, jangan terlalu dipikirkan malam ini. Maafkan Mama… Mama nggak bisa ada di sampingmu sekarang. Yang pasti, kamu nggak salah lihat…
Ia terhenti lagi. Hatinya hancur. Apa yang harus ia katakan? Rania akhirnya menekan tombol kirim.
Rania: Sayang, Mama percaya kamu. Sabar ya… suatu hari nanti, pasti ada jalan. Jangan berhenti berdoa. Mama sayang kamu.
Begitu pesan terkirim, Rania menunduk, wajahnya terkubur di kedua tangannya. Tangisnya pecah, sesak, bergemuruh melawan suara mesin kapal. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi keduanya, Alan dan Chesna.
Di hatinya, Rania berjanji: “Entah bagaimana caranya… aku akan menyatukan kalian lagi. Aku tidak boleh menyerah.”
Malam itu, di tengah laut yang luas dan sunyi, seorang ibu kembali menanggung beban rindu yang nyaris tak tertahankan.
___
bersambung. Kalau ada koreksi, tolong dikomenin ya guys! makasih…
oia, komen semangat dari kalian sangat berarti buat cerita ini loh... hehe