NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 17 - Usai Malam Panas

Satu malam penuh aku tak bisa terlelap. Mataku terpejam, tetapi kesadaranku masih terjaga. Aku sudah tak lagi menangis, namun rasa syok itu masih tertanam dalam dada.

Ketika sang fajar sudah menyingsing, aku memaksakan diri untuk menuruni kasur. Berpikir bahwa aku tak mungkin bergelut dengan pikiran dan perasaan tak karuan ini.

Toh, jika dipikir-pikir semua ini bisa terjadi juga atas keteledoranku. Ditambah, Darius juga bisa menahan hasrat yang aku yakini sangat amat menggebu-gebu dalam dirinya—secara dia meminum jamu itu, jamu yang entah diberi obat dengan dosis setinggi apa.

“Mas?” Aku memanggilnya sambil celingukan.

Sepi sekali. Seperti tidak ada tanda-tanda keberadaan Darius. Aku memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana, siapa tahu saat mencium aromanya dia akan segera turun—seperti yang biasa dia lakukan.

Tetapi ketika makanannya sudah terhidang di meja makan—nasi goreng dengan topping udang kesukaannya, Darius belum juga muncul. Perasaanku jadi tak enak.

Pendengaranku mendadak tajam ketika sunyi. Samar-samar di antara debur ombak yang menyapa, aku mendengar sesuatu. Seperti suara tetesan air yang menggema, seakan ada sesuatu yang bocor atau memang dari kran yang tak sengaja ditutup rapat.

“Mas?”

“Kamu di dalam?”

Aku mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Sumber bunyinya dari dalam. Dan karena tak kunjung ada sahutan, aku membuka paksa pintunya.

Detik di mana pintu terbuka, aku langsung disuguhi pemandangan yang membuat mataku terbelalak. Darius ada di sana, duduk memeluk lutut di dalam bak mandi yang terisi air, sementara shower terus menetes meski tak deras.

Buru-buru aku menyebrangi pintu dengan langkah tergopoh, berdiri di samping bak mandi sambil memegangi bahunya yang terlampau dingin. Aku menduga dia sudah berada di sini sejak kejadian malam tadi.

“Hei, Mas! Kamu dengar aku?” Tanganku menepuk-nepuk pipinya, tatapan matanya kosong dan terlihat memerah.

Perlahan Darius menoleh dengan ekspresi putus asa. Aku segera membantunya turun dari sana, tapi tubuhnya yang dua kali lipat lebih besar dariku tentunya itu tidak mudah. Aku sudah menarik kedua lengannya, tapi dia memilih bergeming di sana.

“Sumpah, aku tak pernah bermaksud untuk melakukannya, Soraya,” bisiknya tepat ketika tubuhku mencondong, berhimpitan dengannya—masih mencoba menarik kedua tangannya dari sana.

Dan mendengar hal tersebut, aku sedikit memundurkan tubuh. Membungkuk, menatap matanya yang sayup-sayup hendak tertutup.

“Iya, aku percaya kamu, Mas.” Perlahan aku menarik napas dalam-dalam. “Aku ... sudah memaafkanmu atas kejadian semalam. Karena aku tahu, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu.”

Usai berkata demikian, segera aku mencabut penutup saluran air dari bak mandi tersebut. Hingga air itu perlahan menyusut dan menyisakan tubuh Darius yang basah kuyup, kulitnya tampak keriput dan sedikit pucat—mungkin karena terlalu lama berendam.

“Ayo, Mas. Kamu harus berganti pakaian dulu. Kamu harus keluar dari sini,” ujarku sambil mengulurkan tangan.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Darius dengan langkah gontai yang dituntun olehku, pelan-pelan menuju kamar. Aku membantunya melepaskan baju—tanpa berusaha mengingat apa yang dilakukannya semalam, lalu bagian bawahnya aku biarkan dia lepas sendiri.

Setelah Darius berganti pakaian, aku masuk kembali sambil membawakannya makanan dan teh hangat juga beberapa obat yang masih harus dia minum. Semua itu aku taruh dalam nampan dan aku letakan di atas nakas.

Tanganku mendarat pada dahi Darius, merasakan hangat yang tak dapat dikatakan normal, sepertinya dia akan demam.

“Sejak kapan kamu berada di sana, Mas?”

Sambil menarik selimut hingga dada, Darius menjawab, “Sejak malam tadi, demi menghilangkan sisa-sisa keinginanku untuk melakukannya.”

Aku angguk-angguk, itu sesuai dugaanku. Perlahan aku duduk di ujung kasur, siap menyuapi. “Aku ingin meminta maaf untuk itu.”

“Aku yang harus melakukannya, Soraya. Aku tidak sepantasnya—”

“Kamu benar, Mas,” potongku cepat, “Itu karena jamu yang kamu minum semalam. Aku terlalu bodoh untuk membiarkan jamu berbahaya seperti itu di kulkas.”

Kening Darius langsung mengerut. “Bagaimana kamu bisa mendapatkan jamu itu?”

Aku menghela napas, kepalaku tertunduk. “Huh, itu karena ibuku. Aku sudah bilang tidak ingin membawanya, tahu-tahu dia menyimpannya dalam koper. Bodohnya, aku malah menaruh jamu itu ke dalam kulkas. Aku tidak tahu bahwa efeknya akan membuat hal gila seperti itu.”

Ujung mataku langsung melirik pada Darius ketika menyadari ada gerakan, dia berusaha untuk duduk—segera meraih nasi goreng yang berada di atas pahaku, dia tampak sehat untuk sekadar menyuap nasi.

“Baiklah, tapi bagaimanapun juga aku tetap merasa bersalah. Dan aku ingin, setelah kejadian malam tadi, kamu tidak berpikir ke mana-mana. Seperti yang pernah aku bilang padamu dulu, aku tak akan pernah melakukannya terkecuali dengan seseorang yang aku cintai.”

“... jadi akan kupastikan, jika berada dalam kendaliku, hal itu tidak akan terulang lagi,” tandasnya dengan mulut yang sibuk mengunyah.

Aku manggut-manggut paham. Jika begitu keadaannya, maka selama mereka—Soraya dan Darius berpacaran, mereka tidak melakukan hubungan semacam itu. Pantas saja Darius enggan sekali terseret namanya jika Soraya sampai hamil.

“Dan kamu pun begitu bukan, Soraya?”

Lamunanku langsung tercerai. Pandanganku kembali berfokus pada Darius yang saat ini sedang menatapku usai menyodori pertanyaan barusan.

“Kamu hanya melakukannya dengan orang yang kamu cinta atau sukai. Karena dengan responmu semalam, itu mematahkan stigmaku,” katanya lagi yang kini berhasil menumbuhkan pertanyaan dalam kepala.

“Maksud kamu, Mas? Stigma yang bagaimana?”

Darius terlihat enggan membicarakan ini, dia menyendok banyak nasi, melahapnya dalam satu suapan hingga kedua pipinya menggembung. Terpaksa aku harus menunggunya sampai mulutnya tak lagi mengunyah.

“Kita sudah terlalu tenang untuk diusik dengan percakapan seperti itu. Tapi mari aku jawab singkat saja, sejak awal kamu yang menolak keberadaanku. Kamu bilang aku terlalu kaku dan menyedihkan, terlebih saat perjodohan antara kita dilakukan, kamu sudah memiliki kekasih, bukan?”

Aku menggulir pandangan ke samping. Apa maksud dari kekasih yang dimaksud Darius itu seorang laki-laki yang kutemui di akun sosial media Soraya malam tadi?

“Lalu tahu-tahu kamu hamil, aku tidak tahu siapa pastinya pria yang sudah menghamili kamu. Karena rumor dan beberapa desas-desus negatif tentang kamu sebelumnya sering mampir ke telingaku, dan selama itu kita sama-sama tidak pernah berpikir melakukannya. Bahkan jika kondisi mendukung dan kita sedang berdua saja.”

Kepalaku manggut-manggut—berlagak seakan aku memahami ucapannya yang entah kebenaran aslinya seperti apa.

“Hm, menurutku ... siapapun pasti akan melakukan hal itu hanya dengan seseorang yang disukainya,” jawabku seadanya tanpa menjatuhkan pandangan padanya.

Darius kembali menyendok nasi gorengnya. “Ya, baguslah kalau kamu berkata seperti itu. Karena artinya, kamu tidak seperti apa yang mereka katakan. Atau bisa saja ... saat ini kamu sudah benar-benar berubah, lalu melupakan semua kenangan buruk di masa lalu. Apapun itu, aku akan mengapresiasinya.”

Aku beringsut dari posisi duduk. “Segeralah sembuh, kita harus pergi ke kota. Seperti rencana kita sebelumnya.”

“Aku tidak masalah jika harus di sini—”

“Jangan berkata seperti itu,” serobotku, “Kondisimu tidak memungkinkan. Lagi pula setelah kamu benar-benar membaik, kita akan kembali ke sini. Jadi prioritaskan dulu kesembuhanmu.”

Sebelum memutuskan untuk beranjak dari sini, aku mendapati Darius yang memberi tatapan menyelidik.

“Untuk kesembuhanku atau demi kamu yang ingin melakukan urusan lain di sana?”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!