Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Kekuatan Baru
Di tengah padang tandus yang luas dan kelabu, Maelon terhenti. Nafasnya tercekik oleh udara dingin yang menggigit, namun yang lebih menusuk adalah rasa aneh yang mulai mengalir dari tanda di tubuhnya. Ia berdiri sempoyongan, lalu jatuh berlutut, mencengkeram tanah seolah dapat menahan sesuatu yang tak kasatmata sedang merayap dari dalam dirinya.
Tanda itu—luka yang diwariskan oleh makhluk berkepala tiga itu—membara seperti arang yang dibenamkan ke daging hidup. Tapi ini lebih dari sekadar rasa terbakar; rasa sakitnya seperti sedang dicabik oleh tangan yang tak berasal dari dunia ini. Ia menggertakkan gigi, tubuhnya menggigil hebat. Ada sesuatu yang menggeliat di balik kulitnya, menjalar, menyebar, menyesap ke seluruh tubuhnya. Napasnya menjadi liur yang menggumpal di tenggorokan. Ia mendongak ke langit yang kosong—dan berdoa.
"Ya Dewa Blasphemy... jika Engkau ada, jika Engkau benar-benar ada, tolong aku... setidaknya... buat rasa ini berhenti..."
Tapi langit tetap diam.
Tak ada cahaya yang turun. Tak ada suara. Tak ada harapan.
Doa Maelon hanyalah gema lemah yang mati sebelum mencapai awan. Namun mulutnya terus berdoa, menyebut nama dewa yang hanya dikenal karena kekelaman dan penistaan-Nya. Meskipun doanya tak pernah dijawab, meskipun dunia telah memberinya hanya kehancuran dan pengkhianatan, Maelon tetap berdoa—karena itu satu-satunya yang bisa ia lakukan agar tidak hancur dari dalam.
Namun tanda itu tidak berhenti. Justru meledak dalam diam. Cahaya biru keunguan merambat dari balik kulitnya, menyebar seperti racun yang menyusupi tulangnya, menyayat isi tubuhnya dari dalam. Ia menjerit, namun suara itu tertelan malam. Otot-ototnya terkoyak oleh kekuatan yang tidak bisa ia kendalikan. Seolah tubuhnya dipaksa menjadi wadah dari sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia ini.
"Kenapa... Kenapa harus seperti ini..."
Maelon berguling, mencakar tanah, hingga jari-jarinya berdarah. Ia merasa tubuhnya dibentuk ulang, bukan oleh mukjizat, tapi oleh kehendak asing yang kasar dan liar. Sakitnya... tak bisa dibandingkan dengan apapun yang pernah ia rasakan.
Lalu semuanya berhenti.
Cahaya itu lenyap. Tapi bukan hilang. Ia masuk—menetap—bersembunyi dalam daging dan darah.
Maelon bangkit, limbung. Ia menatap tangannya sendiri. Tak ada yang bersinar. Tapi ia bisa merasakan denyutan halus seperti bisikan: Aetheron. Sebuah kekuatan yang belum jinak, belum mau tunduk, tapi kini tinggal bersamanya.
Ia menatap langit untuk terakhir kalinya malam itu.
"Kau tak pernah menjawabku... Tapi aku masih hidup."
Mungkin bukan karena Tuhan. Mungkin karena kutukan. Tapi Maelon tidak lagi sama.
Dan di dalam dirinya, retakan pertama telah terbuka.
Langkah Maelon berat namun mantap, membawa tubuh yang masih terasa nyeri itu menembus kabut kelam yang menyelimuti reruntuhan tua di balik hutan mati. Udara di sini berbeda—pengap, padat, seperti bernapas dalam ruang yang tak diizinkan untuk hidup. Di antara bayang-bayang yang berderet seperti tulang-tulang raksasa yang membusuk, ia melihat mereka.
Makhluk-makhluk itu tak bersuara. Wujudnya bukan lagi manusia, tapi bukan pula binatang. Tubuh mereka bengkok, memanjang, atau kadang terlalu pendek untuk menopang kepala besar yang berdenyut tak teratur. Kulit mereka tak lagi menempel rapat, melainkan menggantung dan meleleh seperti lilin yang tak selesai dibentuk. Mereka adalah sisa-sisa dari manusia yang pernah mencoba mencicipi kekuatan Doctrina... dan gagal.
Lunatics.
Maelon berdiri terpaku, napasnya tertahan. Ia merasa... sesuatu. Sesuatu yang bukan ketakutan, melainkan rasa paham yang aneh, seperti melihat wajah-wajah asing yang entah bagaimana terasa akrab. Mereka—yang berkeliaran di depannya dengan langkah limbung dan pandangan kosong—mereka dulunya seperti dia. Manusia yang mencoba menantang batas dunia ini. Tapi mereka tidak memiliki akhir yang layak. Tidak punya kehendak yang bertahan.
Dan di sanalah Maelon menyadari perbedaan mencolok.
Makhluk itu—yang telah mencekiknya, yang meninggalkan tanda di tubuhnya—bukan seperti mereka. Ia memiliki kesadaran. Ia dapat berbicara, memahami, bahkan... merasakan kekecewaan. Makhluk itu tidak kehilangan akalnya, tidak sepenuhnya lepas dari bentuk manusiawinya. Maelon menggertakkan gigi.
“Apakah dia... makhluk yang lebih kuat? Atau... sesuatu yang lain?”
Namun pertanyaan itu hanya mengendap di benaknya. Ini bukan saat untuk merenung.
Salah satu lunatic itu tiba-tiba menyerbu—gerakannya cepat, tidak masuk akal bagi bentuk tubuh yang rusak itu. Maelon meloncat ke samping, mengangkat tombak yang sudah mulai menyatu dengan tangannya, dan menyerang. Besi tajam itu menembus dada makhluk itu, dan untuk sesaat, Maelon terkejut—karena tombaknya menancap lebih dalam dari yang ia kira. Seperti ada kekuatan yang baru lahir dalam dirinya. Seperti rasa sakit sebelumnya telah mengganti isi tubuhnya dengan sesuatu yang lebih... kokoh. Lebih kuat.
“Ini... bukan kekuatan manusia biasa...”
Lunatic itu mengerang, suara parau tak berbentuk, lalu ambruk. Tapi Maelon tahu, yang lain akan datang. Bayangan-bayangan di antara reruntuhan mulai bergerak. Ia menggenggam tombaknya lebih erat. Meski lelah, meski baru saja keluar dari neraka rasa sakit, ia merasa mampu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa seperti sampah yang dikutuk untuk bersembunyi.
Langkah mereka mendekat. Dan Maelon bersiap.
Jika ini adalah harga dari tanda itu, maka ia akan menggunakannya sampai akhir.
Suara itu lebih dulu datang daripada wujudnya. Desisan, rintihan… tangisan yang dipelintir oleh lidah-lidah yang tak lagi tahu caranya mengucap nama sendiri. Lunatics itu tak berlari—mereka mengalir, seperti daging yang diluncurkan dari kehendak tak waras. Lima. Enam. Mungkin tujuh. Maelon tak sempat menghitung. Ia hanya tahu bahwa ia sendirian, dan dunia tak pernah berpihak pada orang seperti dirinya.
Tombaknya terangkat, logamnya berat tapi terasa alami di genggaman. Maelon berputar, menghindar dari cakar memanjang yang menghantam tanah dengan dentuman lembap. Ia menusuk ke arah torso lunatic pertama—tombak menembus tulang rusuknya, menghentak hingga makhluk itu ambruk. Namun sebelum ia sempat menariknya, dua makhluk lain menerjang dari samping.
Maelon terhempas. Bahunya membentur batu, dan rasa logam menyeruak di lidahnya—darah. Ia memaksa tubuhnya bangkit, napasnya berat dan pendek. Salah satu lunatic menjulurkan tangan yang menjalar seperti tanaman merambat, mencoba mencekik lehernya, namun Maelon melangkah maju, terlalu dekat, lalu menusukkan ujung tombaknya dari bawah dagu ke langit-langit tengkoraknya.
Dentuman keheningan.
Untuk sepersekian detik, waktu menahan nafasnya. Maelon berdiri di antara jasad-jasad yang belum benar-benar mati, dan ia sendiri pun belum benar-benar hidup. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena ada sesuatu yang berdenyut dalam dirinya—sebuah dorongan, sebuah desakan, seperti kekuatan asing yang mencoba memahami dirinya lewat rasa sakit.
Namun itu belum berakhir.
Satu lunatic berukuran jauh lebih besar—mungkin dulunya seorang tentara atau eksekutor—menyerbu. Tubuhnya berbalut pelat besi yang menyatu dengan kulitnya. Bekas helmnya tertanam ke dalam daging kepala, matanya dua lubang hitam yang mengalirkan cairan tak dikenal. Ia meraung. Getaran dari suara itu mengguncang perut Maelon.
Dan kemudian... Maelon bergerak.
Bukan dengan gerakan manusia biasa, melainkan sesuatu yang lain. Sebuah kilatan energi samar menyelimuti lengan dan tombaknya. Gerakan lunatic itu seakan melambat. Dalam satu putaran penuh, Maelon menebas lutut makhluk itu, membuat tubuh besar itu tersungkur. Lalu dengan satu hunjaman ke tengkuk—tombaknya menghantam dasar tulang leher dan menembus sampai ke dada.
Makhluk itu kelojotan. Tapi Maelon tak bergerak. Matanya memandangi darah lunatic yang mengalir ke tanah, menyatu dengan debu dan abu masa lalu.
“Aku seharusnya mati… tapi sekarang… mereka yang mati.”
Maelon terdiam, tak sepenuhnya memahami apa yang barusan terjadi. Ia merasa tubuhnya lebih ringan, penglihatannya lebih tajam, pendengarannya menangkap suara bisikan angin dari kejauhan yang tak pernah terdengar sebelumnya. Tapi tak ada kebanggaan, tak ada euforia.
Hanya ketakutan yang lebih dalam.
Karena kekuatan ini bukan miliknya. Bukan berasal dari dirinya.
Dan ia tahu—makhluk itu, yang memberinya tanda, masih hidup. Masih mengamatinya.
Entah dari bayang-bayang… atau dari dalam dirinya sendiri.