Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihargai Karena Status Sosial
Nayla tersenyum simpul saat teman-temannya kembali saling berbisik tak percaya—apalagi setelah mereka mendengar pernyataan Pak Hasyim. Namun belum selesai keterkejutan itu, satu tamu istimewa yang baru datang membuat suasana semakin mencengangkan: seorang pria paruh baya dengan jubah rapi dan pengawalan ringan, berjalan ke arah Al dengan senyum bangga.
“Al, anakku. Sudah lama Ayah nggak melihatmu di acara seperti ini,” ucap pria itu, lalu menepuk pundak Al.
Semua mata langsung tertuju padanya.
“Teman-teman,” lanjut Pak Hasyim yang berdiri di samping pria itu, “mungkin kalian tidak tahu, inilah Pak Ibrahim Ghazali—ayahanda Ustadz Arsyan Al Ghazali. Salah satu pengusaha sukses di bidang properti dan pemilik grup bisnis yang mengelola perusahaan travel haji dan umrah berskala internasional.”
Terdengar gumaman takjub.
“Dan Ustadz Al bukan hanya penerusnya, tapi juga CEO dari AlGhazali Tour & Travel, yang sudah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Agama,” tambah Pak Hasyim.
Reinaldi menelan ludah. Wajahnya memucat. Sementara Nayla berdiri dengan dagu terangkat sedikit, namun tetap anggun. Ia tak menyombongkan, tapi jelas hatinya penuh rasa puas. Perasaannya yang dulu pernah diragukan, kini justru terbukti jauh lebih berharga.
Al meraih tangan Nayla dan menatapnya lembut, lalu menoleh pada semua hadirin.
“Jabatan, gelar, dan latar belakang keluarga bukanlah alasan seseorang pantas dihargai. Tapi akhlak, komitmen, dan ketulusan hati… dan saya bersyukur Allah memilihkan Nayla untuk menjadi istri saya.”
Sorak dan tepuk tangan meledak. Reuni itu berubah menjadi malam penuh pembuktian.
Setelah acara reuni selesai, Al dan Nayla bersalaman dengan beberapa teman yang kini justru mendekat dengan ramah—berbanding terbalik dengan sebelumnya. Beberapa dari mereka bahkan meminta maaf karena dulu pernah memandang Nayla rendah saat memutuskan menikah dengan seorang ustadz “biasa”. Tapi kini, semua berubah.
Namun, di tengah keramaian, Reinaldi masih berdiri di sudut ruangan, menatap mereka dengan mata tajam dan rahang mengeras. Ia mendekat saat Nayla hendak keluar bersama Al.
“Nayla,” panggilnya dengan nada dingin. “Apa kamu yakin hidupmu sekarang bukan sandiwara? Kamu benar-benar bahagia dengan... pernikahan yang penuh ‘aturan’ ini?”
Nayla menatapnya, matanya tenang. “Rein, aku justru menemukan kebebasan sejati dalam aturan itu. Dan aku lebih bahagia dari yang pernah aku bayangkan saat bersamamu.”
Al tetap tenang. Ia hanya menatap Reinaldi tanpa amarah, namun tajam dan berwibawa. “Kadang, kebahagiaan yang sebenarnya datang saat kita bisa menundukkan ego dan bersyukur atas takdir Allah,” ucapnya pelan.
Reinaldi tersenyum sinis. “Kau menang, Al. Tapi hidup masih panjang. Jangan terlalu percaya diri.”
Al mengangguk. “Benar. Hidup memang panjang. Maka sebaiknya kita jaga agar akhir hidup kita tetap dalam ridha Allah.”
Dengan anggun, Nayla menggamit lengan suaminya. Mereka melangkah keluar gedung, meninggalkan keramaian dan lampu terang, berjalan menuju motor dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan.
Di perjalanan pulang, angin malam berhembus lembut. Nayla memeluk pinggang Al dari belakang, dan berbisik, “Terima kasih sudah berdiri untukku.”
Al tersenyum kecil. “Aku hanya menjaga apa yang sudah Allah titipkan padaku—istriku, cintaku.”
Sesampainya di rumah mewah orangtuanya, Nayla turun dari mobil dengan anggun. Al segera turun dari sisi pengemudi dan membuka pintu untuk istrinya. Mobil yang mereka tumpangi tampak mewah dan berkilau, membuat para tetangga maupun penjaga rumah memperhatikan mereka dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ini mobil rental ya, Mas?” tanya Nayla menggoda sambil menahan senyum.
Al hanya menoleh dengan tatapan geli. “Iya, rental... khusus dari garasi rumah ayahmu,” bisiknya pelan.
Nayla menahan tawa. Ternyata tadi diam-diam Al menghubungi sopir pribadi ayahnya dan meminta untuk mengantar mobil mewah milik keluarga Faisal ke tempat acara reuni. Tujuannya jelas—agar Nayla tampil percaya diri di depan teman-temannya yang dulu selalu memandang rendah dirinya.
Sesampainya di halaman rumah, Pak Faisal langsung menyambut mereka dengan senyum bangga. “Kalian tampil luar biasa malam ini. Bapak senang melihat Nayla bisa berdiri tegak dengan suaminya,” ujarnya.
Al merendah, “Semua ini karena dukungan keluarga, Pak.”
Pak Faisal mengangguk, lalu menepuk bahu Al. “Tapi kamu harus tahu, tidak perlu lagi pakai akal-akalan seperti tadi. Ambillah satu dari mobil kami, itu juga sudah kamu rawat lebih baik dari sopir kami sendiri.”
Nayla dan Al hanya saling pandang—kali ini dengan senyum penuh arti.
Malam itu sebelum tidur, Nayla bersandar di bahu suaminya, “Mas Al... kamu bukan hanya imamku, tapi juga pelindung harga diriku.”
Al membelai lembut rambut istrinya, “Dan kamu adalah doaku yang diijabah. Aku akan terus jaga, bahkan tanpa harus kamu minta.
Pagi itu matahari menembus jendela kamar utama yang mewah dengan tirai berwarna krem elegan. Nayla terbangun lebih dulu, mengenakan jubah tidur lembut berwarna biru muda. Ia menatap suaminya yang masih terlelap di sampingnya, lalu tersenyum kecil dan menyentuh pipi Al dengan lembut.
Tak lama kemudian, Al menggeliat dan membuka mata. "Pagi, istriku yang manja," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Nayla tertawa kecil, “Pagi juga, suamiku yang... CEO tapi masih suka nyuci motor sendiri.”
Al tertawa pelan. “Itu namanya merakyat, Bu Ustadzah.”
Mereka pun bangun dan menunaikan salat Subuh berjamaah. Setelah itu, mereka sarapan bersama Pak Faisal dan istrinya, yang tampak sangat senang melihat kebahagiaan Nayla.
Namun, suasana hangat itu sedikit terusik ketika seorang wanita muncul di gerbang rumah. Wanita berambut sebahu itu terlihat ragu saat masuk, tetapi kehadirannya menarik perhatian.
Pak Faisal sedikit terkejut. “Itu... sepertinya teman lamamu, Nayla.”
Saat mendekat, wajah Nayla langsung berubah. Wanita itu adalah Tiara, sahabat masa kuliahnya sekaligus orang yang dulu pernah menyukai Reinaldi. Tapi hubungan mereka retak karena sebuah insiden yang melibatkan gosip murahan dan kecemburuan.
Tiara menatap Nayla dengan senyum tipis. “Hai, Nayla... lama tak bertemu. Boleh bicara sebentar?”
Al yang menangkap perubahan raut wajah istrinya langsung menggenggam tangan Nayla. "Kalau kamu tidak nyaman, nggak perlu dipaksakan," bisiknya.
Tapi Nayla menarik napas panjang dan berkata, “Nggak apa-apa, Mas. Aku mau tahu apa yang membuat dia datang setelah bertahun-tahun.”
Mereka pun masuk ke ruang tamu. Tiara membuka pembicaraan dengan nada tenang, “Aku tahu ini mendadak. Tapi aku harus jujur. Ada sesuatu yang dulu kutahan, dan sekarang aku rasa kamu berhak tahu... soal Reinaldi, dan... tentang kamu juga.”
Nayla menegang.
Al juga memasang wajah serius.
Tiara menunduk sejenak, mengatur napasnya sebelum berkata pelan namun mantap, “Waktu kita kuliah dulu, aku tahu kamu dan Reinaldi pacaran. Tapi yang kamu nggak tahu… dia juga dekat sama aku di belakang kamu.”
Nayla terperanjat. Al menggenggam tangannya makin erat.
“Aku sempat dibutakan perasaan, Nay,” lanjut Tiara, “Kupikir dia serius. Dia sering bilang kamu terlalu keras kepala, terlalu dominan. Dia bilang butuh sosok yang lembut. Tapi ternyata… dia cuma mainin aku. Dan sekarang aku dengar dia mempermalukan suamimu di acara reuni?”
Nayla menatapnya tajam. “Jadi… kamu ke sini untuk membela suamiku?”
“Aku ke sini karena aku tahu siapa Reinaldi sebenarnya. Dan aku nggak mau kamu mengulang luka yang pernah aku alami,” ucap Tiara jujur.
Al menatap Tiara dan mengangguk pelan. “Terima kasih sudah datang dan bicara baik-baik.”
Tiara tersenyum lirih. “Aku nggak minta dimaafkan. Tapi semoga kamu bisa menilai aku bukan dari masa lalu.”
Nayla akhirnya bangkit, mendekati Tiara dan memeluknya pelan. “Terima kasih sudah jujur. Mungkin dulu kita pernah saling menyakiti tanpa sadar. Tapi hari ini... aku lega.”
" Sebenarnya... aku sudah bahagia dengan suamiku, Tiara." Nayla tersenyum ke arah suaminya.
Tiara pun pamit. Setelah Tiara pergi, Nayla kembali duduk di sebelah suaminya.
“Dunia ini kecil, ya,” katanya lirih.
“Dan dunia itu jadi indah… karena kamu ada di sampingku,” balas Al sambil mengusap rambut Nayla dengan lembut.
Malam harinya, saat mereka kembali ke kamar, Nayla bersandar di dada suaminya. “Mas… aku bersyukur Allah menakdirkanku sama kamu.”
Al tersenyum dan mencium kening Nayla. “Aku juga… Dan Mas janji akan jaga kamu sampai surga.”
Namun selama ini Nayla belum pernah dikenalkan pada orangtua Alghazali, apakah mereka bisa menerima Nayla dengan latar belakang dan masa lalunya ?