Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan Luminya - II
Malam mulai turun di kota petualang Solrath. Gemerlap lentera dan obor yang bertebaran di jalan-jalan berbatu menciptakan nuansa hangat yang kontras dengan kegelapan yang bersembunyi di balik bayangan.
Di tengah hiruk-pikuk para petualang yang lalu-lalang, dua sosok berjalan dengan tenang di antara mereka.
Jellal Astraus atau lebih tepatnya, "Asher", nama samarannya, mengenakan mantel petualang sederhana, pedang besar tersampir di punggungnya. Di sampingnya, Selvhia, atau "Sylvia", berjalan dengan elegan.
Keduanya sedang dalam perjalanan kembali dari misi sederhana yang diberikan oleh Guild Petualang, membasmi kawanan goblin di sebuah gua dekat perbatasan.
Bagi mereka, ini bukanlah tugas yang sulit. Bahkan, itu hanyalah formalitas untuk menjaga penyamaran mereka tetap sempurna.
Namun, di tengah perjalanan, ekspresi Jellal tiba-tiba berubah. Ia berhenti melangkah, matanya menyipit, seolah merasakan sesuatu.
Selvhia yang peka segera menyadari perubahan sikap tuannya. "Apa ada masalah, tuanku?" tanyanya dengan suara pelan.
Jellal tidak segera menjawab. Ia menutup matanya sejenak, membiarkan pikirannya meresapi suara yang tiba-tiba menggema di kepalanya.
"Tuan… kita punya masalah."
Suara itu adalah milik Selene Veildas, bawahannya yang setia.
Jellal menghela napas kecil, menyadari bahwa ini bukan panggilan biasa. "Bicaralah," jawabnya dalam pikirannya, suaranya terdengar dingin dan tegas.
"Seseorang telah melenyapkan pasukan ogre kita di sebuah desa kecil di perbatasan utara. Tidak ada satu pun yang selamat."
Mata Jellal berkilat tajam. Ogre bukanlah makhluk yang mudah dibunuh, apalagi dalam jumlah besar. Jika mereka dimusnahkan sepenuhnya, itu berarti ada seseorang atau sekelompok individu yang cukup kuat untuk melakukannya.
"Dan kau gagal mencegahnya?"
Nada suara Jellal terdengar malas, seolah mencemooh.
Di ujung lain komunikasi, Selene terdiam sesaat. Meskipun dia setia kepada Jellal, ia tahu bahwa tuannya tidak akan segan menegur bawahannya jika mereka gagal dalam tugas mereka.
"Mereka bergerak tanpa sepengetahuanku, Tuan." Suara Selene terdengar sedikit tertahan, tetapi tetap penuh penghormatan.
Jellal mendengus pelan. "Hmph… jadi pasukan ogre kita dibantai seperti sekumpulan binatang tanpa arti. Cukup memalukan, Selene."
Selene menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. Namun, ia tidak membantah. Baginya, kritik dari Jellal bukanlah penghinaan.
"Aku akan menyelesaikannya, Tuan."
Jellal menyeringai tipis. "Tentu saja kau akan menyelesaikannya. Aku tidak suka melihat bawahan yang gagal tanpa melakukan sesuatu untuk menebusnya."
Ia melirik ke arah Selvhia, yang menatapnya dengan penuh perhatian, meskipun tidak bisa mendengar percakapan dalam pikirannya.
"Hancurkan desa itu." Perintah Jellal terdengar mutlak. "Tak perlu sisakan satu pun. Jika mereka cukup kuat untuk membantai pasukan kita, maka mereka juga cukup kuat untuk mati di tanganmu."
Dari ujung lain komunikasi, Selene tersenyum dingin. "Dengan senang hati, Tuanku."
Komunikasi terputus.
Jellal membuka matanya kembali dan mendapati Selvhia masih menunggunya.
"Ada sesuatu, tuanku?" tanya Selvhia, suaranya tenang seperti biasanya.
Jellal memasang ekspresi santai. "Hanya sedikit kekacauan yang harus dibereskan oleh selene," katanya ringan. "Sepertinya malam ini akan ada hujan darah di sebuah desa kecil."
Selvhia tersenyum tipis, tatapannya berbinar dengan sedikit ketertarikan. "Menarik sekali. Sudah lama sejak aku terakhir kali mendengar teriakan keputusasaan."
Jellal tertawa pelan, lalu kembali melangkah dengan santai. "Selvhia, sepertinya kau menikmati penderitaan manusia."
Malam di Solrath masih berlanjut seperti biasa. Tidak ada yang tahu bahwa di suatu tempat di kejauhan, bayangan kematian mulai merayap.