Seorang gadis muda bernama Alya dikhianati oleh kekasihnya, Raka, dan sahabat dekatnya, Mira, yang menjalin hubungan di belakangnya. Dunia Alya runtuh. Namun, tanpa diduga, dia justru dinikahi oleh Davin, om dari Raka , seorang pria dewasa, mapan, dan berwibawa. Hidup Alya berubah drastis. Dia bukan hanya menjadi istri sah seorang pengusaha kaya, tapi juga tante dari Mira dan mantan pacarnya. Dari situ, kisah balas dendam elegan dan kisah cinta tak terduga pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Luka Lama dari Keluarga Davin
Sampai satu hari, Mira datang langsung ke rumah Davin.
Alya sendiri yang membuka pintu. Tanpa senyum. Tanpa basa-basi.
“Aku datang untuk minta maaf,” kata Mira pelan.
Alya menatapnya tajam. “Minta maaf karena kamu ketahuan? Atau karena kamu benar-benar menyesal?”
“Aku cuma khilaf. Aku…” ujar Mira. Tanpa rasa malu
“Khilafmu sudah menghancurkan nama baikku. Kalau bukan karena Davin dan aku kuat, mungkin rumah tangga kami sudah hancur.” jawab Alya dengan dingin
Mira tertunduk. “Tolong cabut laporanmu. Aku bisa dipecat dari pekerjaanku. Aku malu.”
Alya tersenyum sinis. “Sekarang kamu tahu rasanya malu? Waktu kamu tidur dengan pacarku, kamu malu nggak? Waktu kamu menyebarkan foto palsu, kamu malu nggak?”
Mira menangis. Tapi Alya tak bergeming.
“Dulu kamu rampas semuanya dariku. Sekarang, ini giliranku—bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk mengajarkan kamu pelajaran.”
Alya melangkah masuk dan menutup pintu perlahan. Meninggalkan Mira terisak di depan gerbang.
Beberapa minggu kemudian, kasus Mira diproses. Ia dikenakan sanksi sosial berat, bahkan pekerjaannya terancam. Ia tak masuk penjara karena pihak Alya akhirnya setuju menempuh jalur mediasi dengan satu syarat:
Mira harus membuat pernyataan permintaan maaf terbuka dan ikut dalam program rehabilitasi digital literacy selama enam bulan.
Dan itu direkam.
Sore hari, Alya duduk di taman bersama Davin. Mereka menonton video permintaan maaf Mira yang baru saja tayang di berbagai platform.
“Sudah cukup?” tanya Davin.
Alya tersenyum tipis. “Cukup. Aku tidak pernah ingin balas dendam. Aku hanya ingin orang tahu, aku tidak selemah yang mereka pikirkan.”
Davin menggenggam tangannya. “Kamu luar biasa, Alya.”
Dan di sinar senja yang hangat itu, Alya menatap masa depannya—bukan sebagai korban, bukan sebagai istri dari ‘om’ siapa-siapa—tapi sebagai dirinya sendiri. Perempuan yang kuat, cerdas, dan tak bisa dihancurkan oleh siapa pun.
Hidup Alya dan Davin perlahan mulai menemukan ketenangannya kembali. Setelah drama panjang dengan Mira yang akhirnya tuntas lewat jalur hukum, mereka mengira badai telah berlalu. Tapi ternyata, badai sesungguhnya datang dari arah yang tak mereka duga—keluarga Davin sendiri.
Siang itu, Alya sedang menyusun dokumen kerja di ruang baca ketika telepon rumah berdering. Ia yang menjawab, dan dari seberang sana terdengar suara lembut namun tajam,
"Saya Tante Melati, kakak almarhum ibu Davin. Tolong sampaikan pada Davin, saya akan datang sore ini. Dan saya harap Davin tidak lari dari keluarga lagi." ujar Tante Melati
Klik. Telepon ditutup tanpa sempat Alya menjawab.
Jantung Alya berdegup cepat. Ia tak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Davin pun tak pernah bercerita soal kerabat dekat, apalagi dari pihak ibunya.
Ketika Davin pulang, Alya langsung menyampaikan pesan itu. Reaksi suaminya mengejutkan: wajahnya langsung tegang, rahangnya mengeras, dan ia menghela napas panjang.
“Jadi akhirnya dia datang juga,” gumam Davin pelan.
“Kamu mau cerita sesuatu, Mas?” tanya Alya lembut.
Davin menggeleng pelan. “Tante Melati adalah satu-satunya saudara dari pihak ibuku yang masih hidup. Dia… tidak pernah menyukai ayahku. Dan otomatis, tidak pernah menerima aku juga. Apalagi saat aku mewarisi perusahaan dari Papa setelah Mama meninggal.”
Alya diam. Mendengarkan dengan hati-hati.
“Dia menyalahkan Papa atas kematian Mama. Padahal… Mama meninggal karena sakit. Tapi menurut dia, Papa-lah penyebab semuanya karena terlalu keras dan ambisius.” jelas Davin
Alya menggenggam tangan Davin. “Apa kamu siap untuk bertemu dia?”
Davin mengangguk, meski terlihat ragu.
Sore itu, tepat pukul lima, sebuah mobil sedan hitam berhenti di halaman rumah mereka. Dari dalamnya keluar seorang wanita elegan berusia sekitar 60-an, dengan setelan blazer warna krem dan kalung mutiara menggantung di lehernya. Wajahnya tirus dan dingin, sorot matanya tajam menilai bahkan sebelum bibirnya sempat berkata apa-apa.
“Alya?” sapanya datar.
“Kamu… istrinya Davin?” tanya Tante Melati,
Alya mengangguk sopan. “Iya, Tante. Silakan masuk.”
Saat Davin muncul dari balik pintu ruang tamu, suasana langsung berubah menegang. Keduanya saling menatap, seperti dua musuh lama yang tiba-tiba dipaksa berada di meja yang sama.
“Tante,” sapa Davin akhirnya.
Melati hanya tersenyum tipis. “Kamu makin mirip ayahmu.”
Obrolan di meja makan itu seperti medan perang terselubung. Melati mengajukan pertanyaan-pertanyaan sinis tersamar halus,
“Jadi kamu sekarang menikah dengan gadis seusia anak kuliahan?” tanya Tante Melati,
“Kamu benar-benar percaya cinta, Davin? Atau cuma pelarian dari luka lama?”tanya Tante Melati, lagi dengan menusuk
“Anak-anak? Belum punya? Atau memang belum direncanakan karena takut trauma masa kecil terulang lagi?” ujar Tante Melati, menyakitkan
Alya menahan diri sekuat tenaga. Tapi saat Melati mulai merendahkan orangtuanya dan menyebut bahwa Alya "gadis tanpa latar belakang terhormat" Davin berdiri dari kursi dengan keras.
“Cukup, Tante,” ucap Davin dingin.
“Kalau Tante datang ke sini untuk menghina istri saya, lebih baik kita akhiri saja pertemuan ini.” ujar Davin, marah
Melati terdiam. Lalu perlahan, ia meletakkan garpu dan berkata, “Aku datang bukan hanya untuk bertemu kamu, Davin. Tapi karena aku punya sesuatu yang kamu perlu tahu. Tentang ibumu.”
Malam itu, mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Melati membuka map dokumen dan menyerahkan beberapa lembar foto serta surat tulisan tangan yang telah menguning.
“Itu surat terakhir dari ibumu sebelum dia meninggal,” kata Melati.
“Selama ini aku menyimpannya. Dan aku pikir… kamu harus tahu sekarang.” lanjut Tante Melati,
Davin membuka lembaran itu perlahan. Tangannya bergetar. Alya yang duduk di sampingnya, menyentuh bahunya dengan lembut.
Isi surat itu singkat, tapi sangat menyentuh. Ibunya menulis tentang kecemasan, kesedihan karena merasa tidak pernah cukup baik untuk suaminya, dan ketakutan bahwa Davin akan tumbuh dengan luka yang sama. Di akhir surat, ada satu kalimat yang membuat hati Davin serasa diremas:
"Maafkan Mama, Nak. Jika suatu hari kamu membaca ini, ketahuilah bahwa Mama selalu mencintaimu… tapi Mama terlalu lelah untuk terus pura-pura bahagia."
Davin menutup surat itu dan memejamkan mata. Ada air mata yang mengalir, tapi ia menahannya untuk tidak jatuh terlalu banyak.
“Aku… tidak tahu dia semenderita itu,” bisik Davin
“Ayahmu terlalu kaku. Terlalu keras. Tapi dia juga cinta ibumu dengan caranya sendiri,” ucap Melati lebih lembut kali ini.
“Aku marah padanya dulu. Tapi sekarang aku sadar… tidak ada yang benar-benar salah. Kita semua hanya gagal mengerti satu sama lain.” lanjut Tante Melati,
Alya menatap Melati. “Lalu kenapa baru sekarang datang, Tante?”
Melati menatap Alya untuk pertama kalinya dengan pandangan berbeda. “Karena aku takut. Takut melihat kamu bahagia dan aku salah menilai.”
bersambung
kn ksel kl trs ngusik alya sm davin....
raka bnrn tlus atwcma modus????
kya'nya dia pduli sm alya,tkut d skiti ktanya....
aku udh mmpir lg...tp gmes pgn getok kplanya tu orng,gila bgt smp ftnah plus neror sgla sm alya....pdhl kn mreka yg udh jht....