Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamuan Makan Malam
"Kenapa aku harus menggunakan jasamu?" Laura mendelik, berusaha terlihat natural walau sebenarnya dia juga bingung kenapa dia harus bertanya.
Max mengangkat kedua bahunya, kemudian dia berdiri. "Kamu menyimpan nomor ponselku. Hubungi aku kapan pun kamu membutuhkanku," senyum nakal itu kembali Max lemparkan padanya.
"Aku tidak akan melakukannya!"
Max memainkan lidahnya di mulut, membuat sebelah pipinya menggembung. "Semoga saja." Max berpamitan, meninggalkan Laura yang terus menatap punggungnya.
Ponselnya berdering, Laura mengabaikannya karena tatapannya masih terus tertuju pada punggung Max, hingga pria menghilang dari pandangannya. Ponselnya kembali berdering, Laura tersentak dan buru-buru mengeluarkan benda pipih itu.
Laura sampai mengerutkan dahinya melihat nama suaminya terpampang di layar. Nicholas amat sangat jarang menghubunginya, terutama di jam sibuk seperti ini.
"Ya, Nick..."
"Kemana saja kamu," sapaannya disambut dingin oleh pria di seberang telepon.
"Aku..."
"Sst... Sudahlah, aku tidak butuh penjelasanmu. Mau makan malam denganku?"
Laura sampai mengerjap. Nicholas sungguh mengajaknya makan malam. Hati Laura melonjak kegirangan. Ia bahkan merasakan bunga bermekaran di hatinya. Selama ini, Nicholas jarang sekali mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama, dan tawaran ini terasa seperti kejutan kecil yang menggembirakan. "Makan malam? Tentu, aku ingin sekali!" jawabnya penuh semangat."
Terdengar decakan malas. "Ya, kamu harus ikut menghadiri makan malam nanti. Tuan Robert ingin melihatmu."
Bunga yang tadi mekar, layu seketika. Makan malam bisnis rupanya. Tuan Robert, salah satu klien penting di perusahaan milik mendiang ibunya. Ibunya dan pria itu juga bersahabat.
Laura mengira Nicholas mengingat hari pernikahan mereka dan ingin menebusnya dengan makan malam romantis. Lagi, dugaannya salah.
"Aku..."
Tut...
Panggilan diputus. Laura hanya bisa menghela napas panjang.
"Oke, Laura, setidaknya malam ini, kamu dan Nick bisa bersama." Laura menyunggingkan senyum lebar, hingga memamerkan deretan giginya yang rapi. "Baiklah, aku harus berdandan cantik agar Nick senang dan bangga padaku." Membayangkan suaminya terpesona padanya membuat semangatnya berkobar. Dengan langkah ringan, dia meninggalkan kafe.
Laura menghabiskan waktu dari siang hingga sore mempersiapkan diri. Ia memulai dengan berendam di air hangat yang penuh dengan aroma lavender, lalu mencuci rambutnya hingga terasa lembut dan berkilau. Setelah itu, ia berdiri di depan lemari pakaian, memilih gaun elegan berwarna merah anggur yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Ia memperhatikan setiap detailnya, dari sepatu hingga tas kecil yang simpel namun anggun.
Saat Nicholas pulang, Laura sudah berdiri di depan cermin, memoles lipstiknya dengan hati-hati. Ketika ia berbalik, wajahnya berbinar berharap, menunggu respon dari Nicholas.
"Bagaimana penampilanku?" tanyanya dengan suara lembut dan penuh harap.
Nicholas meliriknya sekilas, meletakkan kunci mobil di meja. "Bagus," jawaban singkat, tanpa memberikan ekspresi tambahan.
Laura mencoba tersenyum, meski hatinya sedikit terkecoh dengan respon dingin itu. "Terima kasih," ujarnya, mencoba menyembunyikan kekecewaan. Dia duduk menunggu Nicholas bersiap. Nicholas tidak suka menunggu, alasan Laura berdandan lebih awal.
Laura merasakan hatinya berdebar saat mereka menuju mobil. Laura berdiri di depan pintu penumpang, sambil menenangkan jantungnya.
"Kita akan terlambat jika kamu terus berdiri di sana." Nicholas sudah duduk di belakang setir kemudi. Buru-buru, Laura melompat masuk. Apa yang ia harapkan, Nicholas membukakan pintu untuknya? Laura menggigit bibir dalam, mencoba mengingat kapan Nicholas melakukan hal seperti itu padanya.
Laura mencuri-curi pandang ke arah Nicholas di balik kemudi. Pria itu tampak fokus pada jalan, tangannya yang kokoh menggenggam setir dengan tenang. Cahaya lampu jalan yang menerobos kaca mobil menyoroti wajahnya yang tajam—rahang tegas, hidung lurus, dan tulang pipi yang tinggi. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, memberi kesan formal namun tetap memikat. Nicholas memang pria yang sulit untuk diabaikan, aura otoritas dan pesonanya begitu nyata, bahkan saat ia diam.
Laura menarik napas pelan, berusaha menenangkan jantungnya yang terus berdebar. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Nicholas dulu selalu menoleh padanya saat ia berbicara, seolah-olah tidak ada hal lain di dunia yang lebih penting. Matanya yang hangat selalu penuh perhatian, dan senyumnya—senyum itu selalu membuat Laura merasa istimewa. Tapi kini, Nicholas bahkan tidak menatapnya lebih dari beberapa detik.
Ia menggigit bibir, memutar ulang kenangan lama di kepalanya. Mereka pernah melewati masa-masa indah. Nicholas adalah pria yang penuh kejutan manis. Ia pernah membawakan bunga di hari kerja Laura yang sibuk, memasak sarapan untuknya saat ia sakit, dan bahkan menungguinya berjam-jam di hujan deras hanya untuk memastikan ia sampai di rumah dengan selamat.
Namun sekarang, semuanya berubah. Nicholas yang perhatian itu seperti menghilang, digantikan oleh seseorang yang dingin dan jauh.
Laura menoleh ke arah jendela, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. Pertanyaan yang sama terus menghantui pikirannya. Kenapa Nicholas berubah? Apakah dia melakukan sesuatu yang salah?
Ia melirik lagi, memperhatikan bibir Nicholas yang sedikit mengatup rapat, rahangnya yang mengencang, dan sorot matanya yang tajam memantau jalan. Wajah itu masih wajah pria yang dulu dicintainya, tetapi sikapnya seperti orang asing.
"Kamu mengatakan sesuatu?" suara Nicholas memecah keheningan, membuat Laura tersentak.
Laura buru-buru menggeleng, pipinya terasa memanas. "Tidak, hanya... tidak ada apa-apa," jawabnya terbata-bata.
Nicholas hanya mengangguk kecil tanpa berkata lagi, meninggalkan Laura dengan pikirannya yang semakin bising. Mobil melaju dengan mulus, tetapi hati Laura terasa penuh dengan benjolan pertanyaan yang tidak kunjung terjawab.
Sampai kapan aku harus seperti ini? tanyanya dalam hati, memandangi bayangan Nicholas yang terpantul di kaca jendela. Ia berharap, setidaknya malam ini, ada celah untuk mereka kembali berbicara—seperti dulu.
Ketika mereka tiba di aula hotel mewah tempat makan malam berlangsung, Laura terpesona oleh suasananya. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya yang lembut ke seluruh ruangan. Meja-meja bundar dengan taplak putih rapi tersebar di aula, dihiasi bunga segar dan lilin kecil yang menyala temaram. Para tamu mengenakan pakaian formal, bercengkerama sambil menikmati minuman pembuka yang dibawa pelayan berjas hitam.
Nicholas berjalan lebih dulu, seperti biasa tidak menoleh ke arah Laura. Langkahnya penuh percaya diri, sementara Laura mengikuti di belakangnya, merasa seperti bayang-bayang.
Hak sepatunya mengeluarkan suara halus yang tenggelam dalam riuh rendah percakapan dan alunan musik lembut dari panggung kecil di sudut aula.
Begitu mereka mendekati meja besar di tengah aula, seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu elegan berdiri dan tersenyum lebar. “Laura! Lama sekali kita tidak bertemu!” serunya, suaranya menggelegar dengan kehangatan.
“Paman Robert!” Laura tersenyum lebar, melangkah maju untuk menjabat tangannya. Ada kelegaan di matanya, setidaknya ada satu wajah yang ramah di tengah suasana yang membuatnya merasa asing.
Tuan Robert tertawa kecil, menepuk punggung tangan Laura dengan lembut. “Kamu semakin cantik saja, seperti ibumu dulu. Nicholas benar-benar pria beruntung,” katanya, melirik Nicholas yang hanya memberikan senyum tipis tanpa komentar.
“Terima kasih, Paman. Kamu juga terlihat sehat,” jawab Laura sopan, meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman di hatinya karena Nicholas tetap diam di sampingnya.
“Duduklah, duduklah. Malam ini kita merayakan proyek baru yang akan menguntungkan kita semua,” Tuan Robert mengarahkan mereka ke kursi. Laura duduk di sebelah Nicholas, berusaha menyesuaikan diri dengan suasana pesta yang gemerlap.
Percakapan di meja didominasi oleh diskusi bisnis antara Nicholas, Tuan Robert, dan beberapa tamu lain yang bergabung. Laura lebih banyak diam, mengamati dekorasi mewah aula dan para tamu yang tertawa-tawa. Namun, pandangannya terhenti pada sosok di sudut aula.
Max.
Pria itu berdiri di dekat bar, mengenakan setelan hitam yang rapi, gelas anggur di tangannya. Di sebelahnya seorang wanita cantik bergaun biru gelap sedang tertawa kecil, menggantungkan tangannya di lengan Max. Mereka tampak seperti pasangan sempurna, menikmati suasana malam itu.
Laura tertegun. Jantungnya berdegup lebih cepat saat Max tiba-tiba menoleh, dan mata mereka bertemu. Senyumnya yang khas langsung muncul. Ia mengangkat gelasnya sedikit, seolah memberinya salam dari kejauhan.
Laura cepat-cepat mengalihkan pandangan, wajahnya memerah. Namun, detik berikutnya, ia melihat Max berjalan mendekati meja mereka, meninggalkan wanita tadi dengan senyum ringan.
“Laura?” suara Max terdengar ramah, namun ada nada menggoda di dalamnya.
Nicholas yang sedang berbicara dengan Tuan Robert menghentikan kalimatnya, menoleh ke arah Max dengan dahi berkerut.
“Maaf mengganggu,” Max berkata santai, menatap Nicholas sekilas sebelum kembali fokus pada Laura. “Aku hanya ingin menyapa. Apa kabar?”
Laura membuka mulut, tapi tidak tahu harus menjawab apa. Pandangan semua orang di meja kini tertuju padanya, termasuk tatapan dingin Nicholas yang seperti ingin menelusuri siapa sebenarnya Max.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura