Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 22
Malam hari ....
Mendengar deru mobil di halaman, Arjuna langsung mencelat ke luar.
Bukan mobil Kavi, melainkan sebuah taksi.
Pria itu memerhatikan siapa yang akan keluar dari dalamnya.
"Puja!"
Ternyata benar wanita itu. Wanita yang ditunggu dirinya sejak kemarin.
Taksi yang membawa Puja berlalu cepat, lekas menghilang dari pandangan.
"Kamu ke sini lagi?" Jun menghampiri sebelum Puja mencapai teras, senang wanita itu benar-benar pulang ke rumahnya, sesuai yang dikatakan di line telepon siang tadi. Dia pikir Puja hanya bercanda mengingat Kavi si munafik mulai menunjukkan perhatiannya.
Senyuman Puja membuatnya sangat terharu.
"Iya," jawab wanita itu. "Kamu kok masih di luar?"
"Aku nungguin kamu dari kemarin tahu!" cebik Arjuna, pura-pura kesal, tapi setelahnya langsung tersenyum. “Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyanya.
“Iya. Aku baik kok, Jun. Makasih perhatiannya.”
“Hmm.” Jawaban singkat Jun didukung sebuah pelukan, dia memberikan itu pada Puja. "Rasanya aku mau mati karena kuatir sama kamu."
Mendapat perlakuan demikian, Puja sebenarnya cukup sulit mengatur diri, namun lekas dibuatnya biasa karena pertemanan yang digemakan antar keduanya, jadi tidak masalah.
"Aku gak apa-apa. Aku juga bisa kerja dengan baik.” Setelah menepuk punggung lebar itu coba dia mendorong tubuh Jun untuk menjelaskan dengan cara nyaman. “Kemarin aku minta Kavi anter ke rumah Ibu. Jadi nginep di sana satu malem aja.”
Arjuna tak bersikukuh, pelukan dilepas mengikuti keinginan Puja. “Oh ya? Kavi ikut tidur di sana juga?”
Pertanyaan Arjuna makjleb, membuat pikiran Puja langsung melayang pada kenangan bagaimana dirinya terbangun dalam dekapan Kavi pagi tadi.
“Ah, iya. Dia gak mungkin nunjukkin hal sikap kurang ajar di depan ibu aku, 'kan?” Ditutup senyuman kaku.
Arjuna menelisiknya sebentar, lalu tersenyum. “Bagus deh,” katanya. “Seenggaknya dia masih punya otak di hadapan ibu kamu.”
Refleks Puja memukul lengan kekar Jun seraya tertawa. “Kamu ini!”
Melihat tawa itu, hati Arjuna berdesir hangat. Senyumnya bertahan sekian detik sebelum akhirnya pudar dan berkata, “Puja ....”
“Hmm?”
Pria itu diam lagi, seperti ada yang diingin disampaikan tetapi ragu. “Gak jadi. Ayo, masuk deh. Kita gak akan di sini terus, kan?”
“Hahaha!" Puja tertawa lagi. “Itu karena tuan rumahnya nahan aku di sini.”
“Hehe, iya ya?"
“Dasar!”
Keduanya pun berjalan masuk menuju bagian rumah. Berdampingan sambil terus mengoceh candaan yang penuh tawa.
Di samping gerbang yang belum tertutup sepenuhnya, di dalam mobil, Kavi lagi-lagi harus menerima pemandangan seperti itu.
Pemadangan dua manusia berpelukan, dan Arjuna yang lebih bisa membuat wanita itu tertawa lepas.
"Apa gua bener-bener harus mengalah?" tanyanya, pada diri sendiri dengan nada pahit.
Sampai sekian waktu, mobil tidak dia lajukan memasuki halaman rumah. Dalam remang suasana malam, Kavi sendiri. Menikmati perasaan resah yang bergulung membelit seisi jiwa yang patah rasa.
"Shit!" Kepala dibenturkannya ke setir, tersuruk di sana menikmati peliknya benang kusut yang tak terurai. “Gimana bisa gua kejebak kayak gini? ... Puja ... gua harus gimana?"
Tiba-tiba dia kembali mengingat kalimat yang diucapkan Arjuna untuk menyemangati Puja saat di rumah sakit.
"Jangan menjadi ranting yang mudah patah, Puja. Kamu harus kuat. Suatu saat, Kavi akan menyadari nilaimu yang sebenarnya."
Ya, dia mendengar kalimat itu. Karena di waktu sama saat kata itu dilontar Jun, dia masih berada di depan pintu ruang perawatan Puja setelah memberikan keranjang buahnya. Menguping beberapa kutipan obrolan antara mama, mertua dan Arjuna beserta Puja sendiri tentang betapa tolol dirinya sebagai suami.
Berujung sesak di dada, lama membenamkan kepalanya ke setir yang dipegang dua tangannya.
"Sekarang gua beneran sadar ... lu itu ... argh!” Malah frustrasi.
Tidak perlu memakan angka satu tahun untuk membuatnya jatuh cinta pada istrinya sendiri.
"Lu berhasil menarik banyak hati gua sampe nyaris abis.”
Bayangan pelukan semalam di kamar Puja membuat Kavi semakin memanas hati, ingin mengulang itu lagi rasanya.
Wajah Puja yang tadi dia lihat di perusahaan pun terus menariknya seperti magnet hingga sulit berpaling.
“Gua kalah! Gua kalah!” Dua kali kepala dibenturkannya ke setir yang masih dalam genggaman.
"Di perusahaan ada Jimmy," racaunya, lalu mengangkat kepala untuk melihat ke arah bangunan di depan mata. "Di rumah itu ada Jun! Jadi di mana tempat gua yang sebenernya? ... Gak ada tempat.”
Lain Kavi dengan kegalauannya, lain Puja dan Arjuna di dalam rumah.
Keduanya duduk di sofa yang sama menghadap televisi menyala di depan sana. Siaran langsung konser musik menggema di antara dua manusia ini. Dua gelas minuman panas dan makanan serupa cake coklat menemani di atas meja.
Perhatian jelas tidak tulus ke layar itu. Hanya pada minuman yang sesekali diteguk lalu diletakkan kembali ke tempat asal.
"Andai aku yang pertama nemuin mereka, bakal aku bikin mereka mati." Arjuna menanggapi cerita Puja tentang kejadian kemarin di lapangan basket dengan tampang geram. "Sayangnya Kavi duluan. Dia kan sama ayam aja gak tegaan.”
Puja terkekeh. “Mana ada gak tegaan sama ayam. Menu makan di rumah Mama aja ayam gak pernah absen.”
“Gak tega cuekin maksud aku,” sangkal Jun, lalu mendengus. “Serius, kalo posisi aku, abis tu para bajingan.”
Puja tersenyum kali ini, dari Arjuna, tatapannya beralih lurus ke depan. “Dari mata Kavi waktu hajar mereka, aku juga ngeliat aura pekat dari rasa ingin menghabisi dua orang itu. Tapi dia bisa memegang kendali diri dan cuma bikin mereka bonyok. Aku cukup bersyukur dengan itu.”
Jun menoleh lalu menatap wanita itu tanpa menyela apa pun. Pancaran mata Puja, sangat dia pahami apa maknanya.
“Kavi akan dipenjara kalau membunuh mereka. Di tangannya ada ratusan karyawan yang bergantung. Juga kedua orang tua yang gak pantes dikecewakan.”
Puja jadi seserius itu, Jun jadi merasa harus bertanya, “Juga diri kamu sendiri, 'kan?”
Tepat pertanyaan Arjuna itu terlempar, Kavi datang dengan tampang lusuh. Jas yang tadi dikenakan saat di kantor kini tertenteng lesu di tangan kiri, menyisakan kemeja mendiang ayah Puja yang sudah kusut.
Puja belum menjawab Jun, tatapannya beralih mengikuti gerakan Kavi yang lewat begitu saja dan kini sedang meniti tangga.
"Kav!" Arjuna memanggilnya. "Lu gak mau gabung di sini dulu?”
Langkah kaki Kavi terhenti hanya untuk menoleh dan menanggapi ajakan sahabatnya itu. "Gua capek, Jun, pengin tidur," katanya, lalu mendorong langkah kembali sesuai tujuan tanpa melirik Puja sedikit pun.
"Kalian ada masalah di kantor?" telisik Arjuna.
Puja menggeleng pelan. "Gak ada." Pasang matanya menatap tangga yang baru saja dilalui Kavi dengan tatapan sulit. "Mungkin dia beneran lelah. Hari tadi kami memang melakukan banyak hal terkait proyek baru yang lumayan besar. Jadi seharian ini beneran sibuk dan serius dengan pekerjaan."
Langsung Jun memahami, menganggukan kepala, lalu berkata, "Kalo gitu kamu pasti capek juga. Istirahat gih.”
Kelopak mata Puja tak bisa menipu walau sudah dibungkus senyuman yang sangat banyak. “Kamu bener. Aku juga capek," akunya. "Kalau begitu aku naik juga ya?"
“Oke," tanggap Jun.
Tas di atas meja digamit Puja lalu berdiri. "Selamat malam, Jun."
Pria itu juga ikut berdiri. "Ya, selamat malam."
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..