Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit Pergi
Kini sudah terdengar suara deru langkah, yang berusaha mendekati kamarku.
"Mila anak Ibu. Jangan menangis lagi, Nak!" Beliau mengusap airmata.
Hati ibu mana yang tidak ikutan menangis jika melihat anaknya kini terluka.
"Ibu tidak mau melihat kamu terlalu bersedih seperti ini! Ibu benar-benar tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Kamu berusaha terlihat baik-baik saja, tapi hati kamu pasti sangat terluka dan tersiksa," tebak beliau.
Aku masih saja bungkam. Kelu rasanya hanya sekedar membuka mulut.
"Kamu ikut Ibu pulang sekarang!" ucap beliau mantap.
Ibu sudah berbicara dengan nada dingin, rahangnya terlihat mulai mengeras, namun mata sudah berkaca-kaca, dan tak banyak kata-kata lagi yang keluar dari mulut beliau.
Siapa saja yang melihatnya pasti akan tahu, bahwa beliau begitu marah dan bersedih, atas nasib anak semata wayangnya telah tersakiti.
"Apa tidak masalah jika Mila harus meninggalkan rumah ini?" Keraguan.
"Tentu tidak masalah, Nak. Semakin kamu disini akan tambah tersiksa. Ibu melihat wajah Ryan saja sangat muak, apalagi kamu yang menjadi korbannya. Lebih baik kalian terpisah agar masalah ini tidak bertambah melebar. Memang tidak baik meninggalkan rumah tanpa seizin suami, tapi jika sudah menyangkut terluka bathin dan tidak sejalan itu sah-sah saja," Beliau terus saja mendorong diri ini untuk segera pergi.
"Ayo, bangkitlah. Ibu akan bantu kamu."
"Baiklah, Bu."
"Hm, sudah jangan bersedih lagi." lengan dielus-elus.
Dengan pikiran yang kacau, aku turuti saja perkataan ibu, yang mana kini mau mengemasi baju dan barang-barang pribadi dengan dibantu oleh beliau.
Tanpa henti diri ini terus saja menitikkan airmata, akibat sudah mantap ingin pergi, dan bertekad ingin segera pulang kerumah orang tua.
Menatap seluruh tiap sudut ruangan. Banyak hal yang terekam baik dalam rumah ini. Kenangan pahit, sedih, bahkan bahagia ketika berada didekatnya. Namun sekarang hanya tersisa kesedihan.
Sudah dua koper yang kini ditangan, yang berisikan penuh dengan barang-barang.
Kalau bisa, secepat mungkin diriku ingin segera keluar dari rumah kak Ryan. Padahal dulunya bermimpi untuk membina rumah tangga sakinah mawadah warrohmah, tapi naasnya itu takkan bisa terwujud, malahan itu semua hanya impian dan angan-angan kosong belaka.
Menyeret koper dibantu Ibu. Mama dan kak Ryan terlihat berbincang-bincang diruang tamu penuh ketegangan.
Wajah kak Ryan sudah menegang, menatapku dengan mata membulat.
Terlihat sekali dia sudah kalut dengan segudang amarah yang mulai timbul, mungkin tak senang akibat melihat dua koper yang sudah terseret berada ditangan.
"Mila, apa-apaan ini?" lantang kasar suara Kak Ryan.
Melihatnya tak senang. Netra bertemu. Melengos saat tak sudi saling tatap.
Dengan cepat dia melangkah menghampiri, dan kini telah menarik tangan dan mencengkeramnya kuat.
"Berhenti, jangan keterlaluan kamu," cegahnya tak senang.
Nampak dia berusaha mencegahku untuk tak keluar dari rumahnya.
"Mila, kamu mau kemana?" ucap mertua yang ikut terkejut atas tindakanku.
"Maafkan aku Kak, Ma! Mila harus keluar dari rumah ini," Membalas pertanyaan mereka.
"Tapi tidak begini juga caranya."
"Sudah 'lah, Ryan. Tidak usah bertele-tele, ini adalah yang terbaik sekarang. Daripada anakku terus kau buat menderita," Pembelaan Ibu.
"Tapi, Bu. Aku tidak ikhlas jika Mila pergi."
"Mau tak mau, kamu harus ikhlas. Bukankah ini semua gara-gara kamu sendiri, jadi jangan katakan tidak rela. Kalau kamu tidak berkelakuan bej*t pasti kejadian ini tidak akan terjadi," Ibu masih tidak terima.
"Tapi, Bu. Tidak harus begini caranya."
"Sudah biarkan dulu, Ryan. Ini adalah keputusan terbaik untuk kalian berdua saat ini," timpal Mama.
Tak ku pedulikan lagi atas tatapan tak suka kak Ryan. Diri ini tetap berusaha untuk segera melangkah pergi, namun langkah jadi terhenti saat kak Ryan kini sudah berpindah tempat tepat berdiri di hadapanku yang mencoba menghadang.
Sorotan matanya menatap wajahku dengan tajam. Rahangnya nampak mulai mengeras akibat emosi, tapi aku membuang muka begitu saja, sebab tak ingin melihat wajahnya lagi. Bagiku saat ini, hanya ada rasa benci dan sakit hati yang sudah terlalu dalam akibat perbuatannya.
Kak Ryan terlihat masih ingin mencegahku pergi, dan sekarang malahan bersimpuh dihadapan.
Tanganku berusaha membuang tangan dia yang sudah memegangi kaki. Sekuat tenaga berusaha terlepas dan segera menghindari.
"Maafkan aku, Mila."
Airmata tenyata sudah jebol juga untuk luruh kembali, akibat tak tega melihatnya yang kini bersimpuh di kakiku.
"Mila, aku mohon kepadamu jangan tinggalkan aku, sungguh aku sangat ... Sangat mencintaimu. Aku mohon, Mila. Jangan pergi, ya!" ucapnya penuh permohonan.
"Lepaskan aku, Kak! Jangan seperti ini. Aku yakin tanpa diriku pasti kakak akan bahagia, jadi berdirilah sekarang! Berdirilah Kak, aku mohon ... berdirilah."
"Tidak ... tidak. Tidak bisa. Sebelum kamu urungkan niatmu itu aku tidak akan berdiri."
Tangannya masih enggan beralih dari kakiku, dengan diiringi menggeleng-gelengkan kepala ke kiri kanan. Tanda dia tak mau untuk segera berdiri.
"Aku ikhlas mencintaimu, dan sekarang diri ini akan ikhlas kehilanganmu. Semoga kamu bahagia bersama dia. Dan aku hanya bisa bahagia bersama doa, saat melihat kak Ryan tersenyum bahagia," ujarku sambil menyeka airmata, yang sudah mengalir lagi.
Sesak memenuhi dada, tetapi aku tetap harus membulatkan tekad. Sepertinya tidak akan ada kesempatan maaf.
Harus pergi sejauh mungkin dari pria yang sangat dicintai, sebelum semuanya semakin hancur.
"Aku tidak mau. Aku sangat paham jika kau terlalu mencintaiku maka dari itu jangan tinggalkan diriku, ya."
"Tapi cinta ini terlalu sakit. Apa kau tidak mengerti itu, hah?"
"Aku tertipu oleh Dona, jadi mohon mengerti 'lah."
"Itu bukan urusanku. Yang jelas kau sudah tega mendua. '
"Tolong dengarkan dulu."
"Maaf tidak bisa."
Deras sekali hujan airmata.
"Ahhk, mengapa kau tak pernah percaya dan kelakuan ku selalu tidak pernah benar dimatamu. Semua ucapanku selalu salah? Aku harus bagaimana biar kau percaya?"
"Ah, bawel amat kau, Ryan. Mila sudah memberikan semua padamu, tapi dimanakah kekurangannya sekarang, hah! Sampai kau membuat dia sakit hati. Seharusnya kau sadar bahwa ternyata cinta Mila tak berarti untukmu, sampai kau buat dia kecewa terlalu dalam begitu." Ibu kian dibuat emosi.
"Sudah ... sudah, Ryan. Kamu tidak udah berdebat dan merasa benar." Mama ujuk gigi.
"Benar itu. Sekarang kamu lepaskan Mila. Semakin lama kamu bersamanya, semakin kamu akan menyakitinya, maka dari sekarang jauhkan 'lah dirimu dari Mila," ibu ikut menimpali.
Tanpa perkataan dan perlawanan lagi. Membisu dengan lesu.
Kak Ryan masih berposisi sama bersimpuh dilantai dengan lemas.
"Maafkan Mila, Ma."
"Iya, Mila. Mama yang seharusnya minta maaf." Beliau kini terisak tidak rela.
Langsung saja diriku mencium tangan punggung kak Ryan dan mama mertua untuk berpamitan, agar secepatnya melenggang pergi dari hadapannya.
enaknya kalau ketahuan bukan hnya dihajar tp bakalan kena karma