Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergolakan pertama
Nita memasuki usia Sekolah Dasar dan dia sekarang kelas 2 SD. Nita bukan murid yang pintar sekali, tapi dia termasuk murid yang selalu membuat masalah.
Nita pernah mendorong temannya ke dalam kolam renang sekolah. Lalu dia pernah tidak pulang ke rumah malah bermain ke rumah temannya.
Bahkan dia berani menjual mainannya kepada teman-teman sekelas. Kejadian ini ketahuan karena guru heran kenapa banyak murid membawa mainan. Setelah diusut ternyata mereka membeli dari Nita.
"Anak-anak, besok tidak boleh bawa mainan ya." ujar wali kelas 2
"Iya bu, kami tidak membawanya. Kami beli kok bu" jawab beberapa anak.
"Beli darimana? Di depan sekolah kan tidak ada yang jualan. Di kantin juga tidak ada yang jualan mainan" tanya bu guru heran.
"Beli dari Nita bu. Katanya kami boleh hutang dulu dan nanti dibayar." jawab anak-anak.
"Apa? Nita, benar kamu yang jual mainan ini?" tanya bu Guru.
"Iya bu, mainan ini saya jual murah kok. Kan saya ngga perlu lagi" jawab Nita enteng.
"Ibu kamu tahu ngga ini?" tanya gurunya lagi.
"Ngga, kan ini mainan saya bu. Suka-suka saya dong mau diapakan" Nita menjawab dengan santai.
"Astaga. Saya mau panggil ibu kami besok. Pulang sekolah serahkan surat ini ke ibu kamu" jawab Bu guru sembari menuliskan surat pendek dan memberikan kepada Nita.
"Ingat, sampaikan langsung kepada ibu kamu. Kalau besok ibu kamu tidak datang, kamu terpaksa saya hukum berdiri di luar kelas" ancam bu guru.
"Baik bu, nanti saya sampaikan" jawab Nita cemberut.
Dia melangkah dengan kesal sembari mengomel.
"Mainan punyaku kok, ya suka-suka aku dong, mau dijual kek, mau dihancurkan kek. Ini guru suka ikut campur lah" gerutu Nita sembari menendang tas nya di lantai sebelum duduk ke kursi.
"Harusnya dia ngurus kelas saja, nda usah urus urusanku. Ibu juga ngga bakalan marah kok. Toh, itu cuma mainan lama." omel Nita lagi merasa kesal. Dia mematahkan pensilnya karena emosi ya yang meledak-ledak.
Akhirnya sepulang sekolah Nita menyerahkan surat itu kepada bu Tere.
"Ibu, ini ada surat dari guru ku" sembari Nita menyodorkan surat yang didapatkannya kepada bu Tere yang lagi duduk merajut tas.
"Ha? Surat apa?" tanya bu Tere heran dan meletakkan rajutannya ke keranjang rotan penuh berisi benang wol.
Bu Tere lalu membaca surat itu dan keningnya berkerut.
"Apa maksud guru mu dengan kamu menjual mainan?" tanya bu Tere.
"Itu, mainan lamaku kan aku ngga mau lagi, jadi kujual ke teman-teman." jawab Nita enteng.
"Ha? Kok kamu ngga tanya ibu dulu Nita." bu Tere kaget.
"Iyalah bu, ngapain tanya? Itukan mainanku. Ya aku bebas dong mau jual kek, mau hancurkan kek atau mau buang" Nita menjawab dengan santai sambil membuka sepatunya.
"Nita, kamu masih anak-anak kok berpikir begitu. Itu kan ibu beli pakai uang, mana mainannya yang mahal lagi" ujar bu Tere kesal
"Lah, kan ibu sendiri bilang, itu mainan ku, milikku. Jadi terserah aku mau diapakan mainan itu. Karena itu semua punyaku." jawab Nita masih dengan cuek nya.
"Iya nak, tapi kan tidak ada salahnya bertanya sama ibu dulu. Dan ini kenapa jualan di sekolah? Kan tidak boleh murid berjualan Nita." terang bu Tere.
"Ah ibu, masalah kecil dijadikan masalah besar. Intinya, mainan itu punyaku jadi terserah aku lah" jawab Nita mulai kesal dan mulai mengeluarkan air matanya ingin menangis meraung-raung seperti biasa yang dilakukannya kalau sudah terpojok.
"Ya sudah, ibu ngga permasalahkan lagi. Besok ibu akan menghadap ke gurumu." bu Tere dengan cepat mencoba mengembalikan suasana hati Nita agar tidak menangis meraung-raung lagi.
Nita hanya tersenyum simpul karena tau ibunya pasti akan mengalah.
"Baik bu, terimakasih ya bu karena selalu membela Nita. Nita sayang sama ibu" ujar Nita bergelayut manja di tangan bu Tere dan mencium pipi bu Tere.
Selalu begitu, akhirnya bu Tere mengalah lagi kepada Nita, setiap ada masalah selalu dianggap kenakalan anak-anak.
Ditambah Joni dan Doni yang memang sering bermain diluar, dianggap lebih nakal daripada Nita.
"Sayang, besok aku harus ke sekolah" ujar bu Tere kepada pak Guntur malam harinya.
"Nita berulah lagi?" tebak pak Guntur sembari mengernyitkan kening menghitung sudah berapa kali di dalam setahun ini mereka dipanggil ke sekolah.
"Iya, dia menjual mainan nya ke teman-temannya" jawab bu Tere singkat.
"Ha? Kenapa dia seberani itu?" pak Guntur kaget langsung terduduk dari posisi rebahannya.
"Joni dan Doni tidak pernah begitu diusia dia ini. Memang mereka nakal, tapi masih batas toleransi" ujar pak Guntur kesal
"Biasalah sayang, tidak semua kan anak-anak sama tingkah nya. Lagian yang dijual mainan sudah lama. Jadi aku rasa ngga ada ruginya juga loh. Kan memang dia tidak mau lagi mainan itu" jelas bu Tere berusaha membela Nita yang menurut nya sah-sah saja.
"Meskipun mainan itu sudah lama, tapi kan dibeli dengan uang keringat kita sayang. Seakan anak ini tidak menghargai barang namanya. Kalau bosan ya dianggap seperti sampah, makanya dia bisa menjual. Kamu lihat Doni? Dia menyimpan mainannya dengan baik-baik. Joni? Semua barangnya masih utuh sampai ke Doni." pak Guntur membalas argumen bu Tere dengan gamblang serta membandingkan mereka.
"Lah, mereka kan laki-laki, Nita perempuan sayang" balas bu Tere
"Justru harusnya anak perempuan kan yang lebih menjaga barang-barangnya? Apalagi mainannya Nita tu ngga murah loh. Dan dia main jual saja? Berapa dijualnya mainan itu? Uangnya kemana?" cecar pak Guntur kesal sekali sampai wajahnya merah padam. Biasa dia masih bisa menoleransi kelakuan Nita yang sekedar usil tapi kali ini menjual mainan nya? Lama-lama isi rumah juga dijual.
"A...aku belum ada tanya" bu Tere tergagap karena dia tidak memikirkan sampai ke sana. Dia hanya merasa kenakalan Nita adalah kenakalan anak-anak biasa.
"Panggil dia dari kamarnya, aku mau bicara sama dia" geram pak Guntur menahan nada suara dan amarahnya.
"Tapi, jangan marahin Nita ya, kasihan dia." bela bu Tere takut pak Guntur marah besar tapi tetap bergerak menuju kamar Nita dan memanggil Nita menghadap ayahnya.
"Sini, duduk di depan ayah. Ayah mau bicara." panggil pak Guntur dengan nada suara rendah yang mencekam.
Nita yang awalnya mengantuk ketika dipanggil ibunya, langsung membuka mata mendengar suara ayahnya yang tidak biasanya. Nada suara ini artinya ayahnya sudah marah, tapi masih menahan nya. Biasa abangnya yang sering dipanggil dengan nada begini.
Nita dengan langkah pelan mendekat ke arah ayahnya. Dia hanya menundukkan kepala dan diam membisu setelah menduduki kursi di depan pak Guntur.