Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.
Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.
Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.
Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"
Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.
Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CYTT(Part 10) Langkah Pertama Tanpa Neo
Happy reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Cahaya matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih diselimuti keheningan. Namun, seorang gadis masih terlelap di balik selimut tebalnya, enggan beranjak dari dunia mimpinya.
Gadis itu adalah Sienna. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dini hari tadi akhirnya dia kembali ke rumah.
Begitu tiba, tanpa berpikir panjang, Sienna langsung menuju kamarnya. Dia tahu tak ada siapa pun yang menunggunya. Lagipula, tubuhnya terlalu lelah, pikirannya terlalu penuh, dan hatinya… kosong.
Perpisahannya dengan Neo masih menyisakan luka yang sulit dijelaskan.
Di tengah keheningan yang masih menyelimuti, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pelan itu mengusik tidurnya. Sienna menggeliat kecil, mencoba mengabaikan gangguan itu. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, diiringi panggilan yang begitu akrab di telinganya.
"Non Sienna? Bangun, Non! Udah pagi. Memangnya Non nggak sekolah hari ini?"
Sienna mengerang pelan, menarik bantal dan menutup kepalanya, berharap suara itu segera menghilang.
"Bibik udah siapin sarapan, lho," suara itu kembali terdengar, masih lembut namun tegas.
Itu Bik Lastri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sangat lama di rumahnya. Wanita itu sudah seperti keluarga sendiri bagi Sienna, selalu peduli dan memperhatikannya sejak kecil.
Sienna menghela napas panjang. Akhirnya, dengan enggan, dia membuka matanya yang masih terasa berat. Dengan gerakan malas, dia bangkit dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
"Sebentar lagi, Bik," gumamnya dengan suara serak karena baru bangun tidur.
Dari balik pintu, Bik Lastri terkekeh pelan. "Kalau Non Sienna nggak segera bangun, makanannya keburu dingin, lho."
Sienna hanya mendesah. Hari ini baru saja dimulai, tetapi hatinya masih terasa berat. Sejenak, pikirannya kembali melayang ke seseorang yang kini berada jauh darinya.
Namun, meskipun tubuhnya enggan bergerak, hari tetap harus berjalan. Dengan perasaan kosong, Sienna menyibak selimut dan memaksa dirinya bangun.
Setelah mencuci muka dengan air dingin, dia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang kini mengenakan seragam sekolah dengan rapi. Dengan gerakan lambat, dia menyisir rambutnya, memastikan tidak ada yang berantakan.
"Oke, semangat, Sienna," gumamnya pada diri sendiri, mencoba membangkitkan energi positif sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.
Namun, langkahnya terhenti di ujung tangga. Matanya membelalak saat melihat sosok yang tengah duduk di meja makan.
Tubuhnya langsung mematung. "Mama" Batinnya. Mama Sonia, itu lah nama mama Sienna, terlihat duduk di sana, menikmati sarapan dengan ekspresi datar.
Wanita itu jarang berada di rumah, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sarapan bersama seperti ini adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi.
Menyadari keberadaan putrinya, Mama Sonia menoleh sekilas. "Udah bangun? Duduk" Nada suaranya lebih terdengar seperti perintah daripada sapaan seorang ibu yang lama tidak bertemu anaknya.
Sienna menelan ludah, lalu dengan canggung melangkah ke meja makan. Perlahan, dia menarik kursi dan duduk, menjaga jarak.
Suasana terasa canggung, seakan ada tembok tak kasat mata di antara mereka.
Sienna menunduk, menatap piring kosong di depannya. Dia lapar, tetapi selera makannya menghilang begitu saja. Ada begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi entah kenapa, lidahnya terasa kelu.
Mama Sonia menyesap kopinya sebelum akhirnya membuka suara. "Ada yang ingin kamu sampaikan ke Mama?" tanyanya dingin.
Sienna menggeleng pelan.
Ibunya menghela napas. Dia meletakkan cangkirnya, lalu menatap putrinya dengan ekspresi datar. "Kalau begitu, Mama yang akan bicara."
Sienna merasa jantungnya berdebar tidak nyaman.
"Apa yang kamu lakukan kemarin sudah cukup membuat Mama dan Papa malu di depan Om Leo. Mama tahu kamu pacarnya Neo, tapi itu bukan alasan buat ikut campur urusan keluarga mereka." suaranya tegas, tidak bernada marah, tapi cukup untuk menusuk ke dalam hati Sienna.
"Ini peringatan pertama dan terakhir, Sienna," lanjut Mama Sonia, menatapnya tajam. "Mama nggak mau hal seperti kemarin terulang lagi. Kamu harus tahu batasanmu."
Sienna mengepalkan tangannya di bawah meja. Batas? Sejak kapan aku tidak diizinkan peduli pada Neo? Pikir Sienna.
Namun sebelum dia bisa menyuarakan pikirannya, Mama Sonia kembali bersuara.
"Sebagai hukuman, selama dua minggu ke depan, mobil kamu Mama sita. Uang jajan juga akan Mama kurangi."
Sienna terdiam. Dia menatap ibunya sejenak, lalu kembali menunduk. Percuma membantah. Ibunya sudah mengambil keputusan, dan tidak ada ruang untuk negosiasi.
Tanpa banyak bicara lagi, Sienna menghabiskan sarapannya dengan rasa hambar, lalu bangkit dan melangkah keluar menuju garasi. Biasanya, Pak Doni, supir keluarganya, sudah siap menunggunya.
"Pak Doni, tolong antar aku ke sekolah," ucapnya datar.
Namun, yang dia dapatkan hanyalah keheningan. Pak Doni tampak ragu, seolah enggan menatap matanya.
"Kenapa, Pak?" tanya Sienna, bingung.
Sebelum Pak Doni bisa menjawab, suara lain menyela dari belakang. "Mulai hari ini, kamu bisa pakai transportasi umum. Bukannya kamu suka itu?"
Sienna menoleh cepat dan melihat Mama Sonia berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada.
Sienna menatap ibunya tak percaya. "Ma? Seriously?"
"Ini hukuman untuk kamu, Sienna."
Sienna mengembuskan napas kasar. "Apa Mama berniat memiskinkan aku?" tanyanya tajam.
Mama Sonia tersenyum tipis, senyum yang terasa seperti ejekan.
"Tentu tidak. Tapi setelah kejadian kemarin, Mama sadar… mungkin kamu perlu merasakan hidup seperti orang lain."
Sienna mengatupkan rahangnya. Dia ingin membantah, ingin berdebat, tetapi tahu itu percuma.
Dengan mendengus kesal, dia meraih tasnya dan melangkah pergi.
Di luar gerbang rumah, dia mengeluarkan ponselnya dan mencoba memesan taksi online. Namun, satu per satu notifikasi penolakan muncul di layar.
"Tidak ada pengemudi di sekitar Anda."
"Maaf, pesanan Anda tidak dapat diproses."
Sienna menggeram, nyaris ingin melempar ponselnya. Serius? Bahkan untuk memesan taksi pun hari ini harus menyebalkan?
Dia menatap jalan raya di hadapannya. Mobil-mobil melintas dengan cepat, bus kota berhenti sejenak untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Sejenak, Sienna ragu. Naik transportasi umum? Itu bukan sesuatu yang pernah benar-benar dia lakukan sendirian.
Melihat tidak ada pilihan lain, Sienna menghela napas panjang. Dengan enggan, dia melangkah menuju halte, lalu menatap kosong ke jalanan.
Bus kota datang beberapa menit kemudian. Tanpa banyak berpikir, dia naik dan mencari tempat duduk di dekat jendela.
Di dalam bus, suasana cukup lengang. Hanya ada beberapa penumpang, sebagian sibuk dengan ponsel mereka, yang lain menatap kosong ke luar jendela. Sienna pun menghela napas, membiarkan dirinya tenggelam dalam pemandangan kota yang perlahan bergerak di luar sana.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Seseorang mendudukkan diri di sebelahnya, lalu terdengar suara yang begitu akrab di telinganya.
"Jadi, setelah ditinggal cowok lo, lo jadi miskin dadakan?"
Sienna tersentak. Matanya melebar, refleks menoleh ke samping. Di sana, dengan senyum menyebalkan, duduk seseorang yang sama sekali tidak ingin dia temui hari ini.
"Lo...?" suaranya nyaris bergetar, bukan karena takut, tapi karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pemuda itu menyeringai. "Yah, kenapa tampangnya gitu? Kayak liat hantu aja," ucapnya santai.
Sienna langsung melotot. "Ngapain lo di sini, Raven?"
Di sampingnya, duduk seorang pemuda dengan senyum santai, seolah tak terganggu oleh tatapan tajam Sienna. Raven Xavier.
Nama itu sudah cukup membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum berurusan dengannya. Bagi Sienna, Raven bukan sekadar murid bad boy yang terkenal di sekolah, tetapi juga seseorang yang selalu mengusiknya, dan yang lebih parah, menjadi alasan utama Neo sering cemburu.
Entah apa yang membuat Raven begitu membenci Neo, tetapi satu hal yang pasti, keduanya tidak pernah akur. Sienna sendiri tidak tahu alasan di balik permusuhan mereka, dan jujur saja, dia tidak terlalu peduli.
Berbeda dengan Neo yang sering mengikuti balapan liar, Raven tidak pernah terlibat dalam dunia itu. Namun, soal tawuran, lain cerita. Terkadang dia ada di garis depan, terkadang hanya menjadi pengamat. Yang jelas, nama Raven sudah cukup dikenal di lingkungan sekolah sebagai sosok yang tidak mudah ditantang.
Dan kini, dia duduk di samping Sienna, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia.
"Lah, suka-suka gue dong. Ini kan transportasi umum, siapa aja bisa naik," jawabnya santai, menyandarkan tubuh ke kursi.
Sienna mendesis, meremas rok seragamnya yang sudah sedikit kusut. "Gue lagi nggak mood bercanda, jangan ganggu gue."
Alih-alih menjauh, Raven justru menyeringai lebih lebar. "Santai, Sienna. Siapa tahu hari ini malah jadi lebih menarik buat lo?"
Sienna menatapnya tajam. Kalau hari ini sudah dimulai dengan buruk, sepertinya nasibnya benar-benar tidak berpihak padanya.
Tidak ingin memperburuk suasana hatinya, Sienna memilih untuk mengabaikan kehadiran Raven di sampingnya. Dia menghela napas pelan, menatap ke luar jendela bus, membiarkan pikirannya tenggelam dalam pemandangan kota yang berlalu.
Raven, yang menyadari dirinya diabaikan, hanya menyeringai kecil. Kalau Sienna tidak mau meladeni, ya sudah. Setidaknya perjalanan mereka tidak membosankan baginya.
Hampir dua puluh menit berlalu sebelum akhirnya bus berhenti di halte dekat sekolah mereka. Begitu melihat jam di ponselnya, mata Sienna langsung membelalak.
"Sial!" desisnya.
Tanpa memperdulikan Raven, dia segera turun dan bergegas menuju gerbang sekolah. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
Gerbang sudah dikunci.
"Astaga…"
Panik, Sienna berlari ke depan gerbang, mencoba menggoyangnya dengan sia-sia. Ini pertama kalinya dia terlambat sejak masuk SMA.
Sementara itu, Raven berjalan santai mendekatinya, senyum jahilnya tak pernah luntur.
"Kenapa panik?" tanyanya dengan nada menggoda. "Bukannya dulu ini udah kebiasaan lo? Gue denger waktu SMP lo bad girl sekolah."
Sienna menoleh dengan tatapan mematikan. "Mulut lo bisa diem nggak, sih?"
Alih-alih merasa bersalah, Raven justru terkekeh. Dengan santai, dia menarik tangan Sienna.
"Ikut gue."
Sienna menepis tangannya. "Gue nggak..."
"Lo mau bolos?" potong Raven cepat.
Sienna terdiam.
"Kalau nggak, ikut gue. Kita bisa masuk lewat gerbang belakang."
Meskipun ragu, Sienna akhirnya mengikuti langkah Raven. Mereka berjalan menyusuri sisi sekolah, menuju gerbang belakang. Namun, begitu sampai, Sienna kembali dibuat frustrasi.
"Raven," panggilnya tajam. "Ini gimana caranya masuk? Gerbangnya juga dikunci."
Raven melirik pagar besi yang menjulang tinggi, lalu menyeringai. "Lo bisa manjat, kan?"
Sienna melotot. "Manjat?! Dengan rok sependek ini?" batinnya panik.
Tanpa menunggu jawaban, Raven sudah lebih dulu menaiki pagar dengan cekatan. Dalam hitungan detik, dia sudah berada di sisi lain pagar dan menepuk celananya dengan santai.
"Ayo, Sienna."
Sienna menggigit bibir, ragu.
"Jangan takut. Ada gue," ujar Raven lebih lembut. "Gue bakal jagain lo."
Sienna menghela napas panjang. Ini gila. Tapi dia tidak punya pilihan lain.
Perlahan, dia mulai menaiki pagar. Tangannya mencengkeram erat besi dingin, sementara kakinya bertumpu mencari pijakan. Begitu mencapai puncak, dia terdiam. Gimana cara turunnya?
"Pegang tangan gue," kata Raven, mengulurkan tangannya ke atas.
Sienna menatap uluran itu dengan keraguan sebelum akhirnya menggenggamnya. Namun, tepat saat dia hendak turun, kakinya terpeleset.
"Aaaaa! Raven!" Pekiknya panik.
Dalam sekejap, tubuhnya meluncur turun. Dia memejamkan mata, siap merasakan benturan keras.
Tapi yang ada justru sebaliknya. Tubuhnya mendarat dalam sesuatu yang hangat dan kokoh.
Perlahan, Sienna membuka matanya. Begitu melihat posisi mereka, wajahnya langsung memanas.
Raven sedang menggendongnya.
Mereka bertatapan dalam keheningan yang canggung. Sienna bisa merasakan napas Raven yang begitu dekat, serta lengan kuatnya yang melingkari tubuhnya dengan erat.
Namun, kesadarannya segera kembali. Wajahnya memerah, dan dengan refleks, dia langsung melayangkan pukulan ke dada Raven.
"Turunin gue!" bentaknya.
Raven terkekeh, tapi tetap menurunkannya perlahan. "Santai aja, girl. Gue baru aja nolongin lo."
Sienna mendengus kesal, sementara Raven hanya tersenyum puas.
"Udah deh, ayo masuk sebelum ada guru yang lihat," katanya sambil berjalan santai menuju gedung sekolah.
Sienna ingin protes, tapi tahu itu hanya akan sia-sia. Dengan mendengus, dia akhirnya mengikuti langkah Raven.
Namun, di balik pikirannya yang penuh kekesalan, dia sama sekali tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang dia lupakan, pesan terakhir dari Neo sebelum mereka menjalani hubungan jarak jauh.
»»——⍟——««
Untuk ilustrasi visual, aku post di ig ya. Kalian bisa follow ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls, karena aku bakal post beberapa cuplikan adegan di sana. Oke thankyou semua!