Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Bernama Adira
Besoknya, Ella baru pulang. Rumah terlihat sepi, tentu saja kedua ART-nya tidak semangat seperti biasanya. Vania yang malas mendengar kabar tentang Adira, memilih masuk ke kamar. Dia akhirnya bisa merasakan menjadi anak satu-satunya. Bahkan ini merupakan impian terbesar selama hidupnya.
Di kamar, dia baru saja melihat ponsel yang ditinggalkannya kemarin. Banyak pesan yang masuk dari teman-temannya. Namun fokusnya adalah pada pesan yang Adira kirimkan.
Jantung Vania langsung memompa begitu cepat. Dengan buru-buru dia menghapus vidio yang dikirimkan Adira.
Vidio tersebut adalah, saat Vania pura-pura jatuh, juga sengaja melukai kepalanya sendiri.
"Adira sial*n." umpat Vania dengan napas yang memburu.
"Tenang Vania, tenang. Ibu atau Ayah mungkin belum tahu. Karena mereka masih mempercayai dan menyayangimu." ujar Vania menenangkan diri sendiri.
"Brengs*k kamu Adira. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu, jika nanti kamu kembali." menarik rambut frustasi.
Vania langsung menghapus vidio tersebut dari ponselnya. Saat dia menelpon nomor Adira. Nomor tersebut sudah tidak aktif.
Diluar, Ella yang mendengarkan penuturan Bu Mar dan Bu Siti hanya bisa mematung. Apalagi, saat melihat Bu Mar dan Siti bercerita dengan linangan air mata.
"Jadi Adira tidak ada di rumah Kakeknya?" lirih Ella.
"Tidak Bu, saya sudah memeriksanya." lapor Bu Siti.
"Kalian sudah cari ke teman-temannya?"
"Sudah Bu, bahkan Adira hanya mempunyai seorang teman."
"Mungkin, dia akan kembali dengan sendirinya. Biarkan dia introspeksi diri." ujar Ella meninggalkan Bu Mar dan Bu Siti.
Ella tak bisa berbohong, jauh dari lubuk hatinya dia juga khawatir tentang keselamatan putri bungsunya.
Di kamar, Ella hanya berdiam diri, menyesali setiap ucapannya.
"Kamu memang tidak tahu diri Adira. Kenapa kamu menghukum Ibu." isak Ella menatap foto keluarga yang ada pada dinding kamarnya.
Ella berulang kali menelpon Afandi, namun Afandi tidak menjawabnya. Bahkan membalas pesannya saja tidak.
Ditempat lain, Afandi sedang memutari jalanan, sesekali bertanya pada orang-orang dengan memperlihatkan foto Adira.
Sekarang dia sampai di alun-alun, tempat yang pernah disinggahinya bersama Adira dulu.
"Kenapa kamu menghukum Ayah nak?" isak Afandi, untuk pertama kalinya dia merasa sesak dihatinya.
Hari menjelang malam, namun Afandi juga enggan untuk pulang. Dia memeriksa galeri ponselnya untuk melihat foto Adira.
"Bahkan fotomu saja tidak ada di ponsel Ayah. Hanya ada ini, foto keluarga kita." sesal Afandi.
Vania makan sendirian, dia sudah berulang kali memanggil Ibunya, namun Ibunya berkata tidaklah lapar. Dan menyuruhnya untuk makan duluan.
Setelah makan, Vania naik ke lantai dua, untuk memeriksa kamar Adira.
"Cih, sepertinya gak ada barang berharga satupun." sinis Vania menatap rak buku Adira.
"Bukannya, tadi aku dengar dari Bu Mar kalau handphone Adira ketinggalan ya?" ujar Vania mulai antusias.
Vania mulai memeriksa meja serta laci-laci untuk mencari ponsel Adira. Namun, dia tidak juga menemukannya.
"Sial, kemana sih ponselnya." gumam Vania membuka lemari Adira.
Saat Vania masih sibuk mencari-cari, seseorang membukakan pintu kamar Adira.
"Vania, kenapa masuk kamar Adira?"
"Ibu ..." ujar Vania terkejut.
"Kenapa kamu bongkar-bongkar barang Adira? Apa yang kamu cari?" tanya Ella ketus.
"Bu, aku ..."
"Apa Vania, cepat katakan. Apa yang kamu lakukan disini."
"Aku hanya rindu Adira Bu," ujar Vania setelah menemukan jawaban yang tepat.
Ella menghela napas. "Ibu juga rindu." lirih Ella sembari duduk di kasur Adira.r
Vania langsung duduk menyusul Ibunya. "Iya Bu, sampai sekarang aku merasa bersalah. Coba aja aku tidak masuk kamar Adira waktu itu. Pasti semua gak akan kejadian." ujar Vania menyandarkan bahunya.
"Iya, Ibu juga memperlakukannya dengan sangat keterlaluan. Padahal, kata staff Ibu, Kakek membeli dua pasang dress. Satunya memang untuk Adira, dan satunya lagi sudah pasti untuk mu." isak Ella menyesali perbuatannya.
Vania merasa kesal karena pengakuan Ibunya. Namun dia hanya bisa ikut berpura-pura sedih. Agar Ibu atau Ayahnya tidak ikut mengadilinya.
🍁🍁🍁🍁🍁
Satria akhirnya tau kalau gadisnya bernama Adira. Dia juga sudah melihat jelas foto tersebut dari ponsel Ifana.
Saat mengantarkan Ifana ke teras, tak sengaja Ifana melihat Bu Mar yang juga hendak pulang. Melihat Bu Mar, Ifana langsung menghampirinya dan dia juga baru ingat, jika Adira mengatakan kalau dia tinggal di perumahan pala indah.
Setelah basa-basi dengan Bu Mar, Satria langsung menghampiri Ifana dan bertanya ada apa. Ifana langsung menjelaskan, kalau rumah yang di depan adalah rumah Adira, temannya.
Satria langsung menduga, jika Adira pasti gadis yang dilihatnya menari-nari dan juga pernah dilihatnya saat bersedih.
"Gak percaya aku, kalau Adira temenan sama orang kayak kamu." kekeh Satria.
Mendengar itu, Ifana langsung memberikan bukti dengan memperlihatkan foto Adira dan juga dirinya.
"Oo ini yang namanya Adira. Cantik juga." batin Satria.
"Bagaimana sekarang percayakan?" tanya Ifana.
"Heum," balas Satria.
Afandi memilih pulang ke rumah Johan. Karena kalau di rumah sendiri dia masih teringat tentang Adira. Ingin Afandi melapor polisi. Namun, dia tidak mau nama baiknya dan juga istrinya hancur, karena anaknya kabur.
Johan menatap malas ke arah Afandi, melihat Afandi memasuki kamar yang biasa digunakan oleh Adira. Johan hanya tersenyum tipis.
"Sekarang kamu baru menyesal?" lirih Johan.
Namun, baru saja dia hendak memasuki kamar. Johan teringat sesuatu.
"Fandi ..." panggil Johan dari balik pintu.
Hampir sepuluh menit Johan menunggu dibalik pintu. Baru Afandi keluar dengan muka yang basah. Tak lupa, juga mata yang memerah. Johan tahu, jika Afandi baru saja menangis.
"Ada apa Ayah?" lirih Afandi.
"Duduk lah." ujar Johan duduk di sofa yang tidak jauh dari pintu kamar.
"Ayah, katakan yang sebenarnya. Apakah Ayah tahu dimana Adira?"
"Andai Ayah tahu, untuk apa? Untuk kembali kalian sakiti? Kalian kecewakan?" tekan Johan.
"Maaf ..." lirih Afandi.
"Bukankah sekarang jaman sudah semakin canggih? Kenapa tidak kamu lacak keberadaannya." pancing Johan.
"Dia bahkan tidak membawa ponselnya Ayah."
"Coba kamu buka, mungkin dia meninggalkan sesuatu di ponselnya. Misalnya petunjuk."
"Dia menggunakan pendeteksi wajah juga sidik jari untuk membukanya." ujar Afandi frustasi.
"Ternyata selain tidak menyayangi Adira. Kamu juga bodoh. Kenapa tidak kamu bawa ke tempat servis. Mereka pasti bisa membuka tanpa menghilangkan data yang ada." jelas Johan.
"Baiklah, sekarang juga aku akan ke sana Ayah. Kebetulan, aku juga membawa ponselnya."
"Istirahat lah, kamu kelihatan begitu lelah." ujar Johan tak tega.
"Aku gak bisa Ayah. Bagaimana kalau diluar sana Adira bahkan tidak mempunyai tempat istirahat yang tenang? Aku gak bisa. Aku akan pergi sekarang juga." ujar Afandi bergegas.
"Semoga kamu bisa melihat kebenarannya." lirih Johan setelah mobil Afandi hilang dari pandangannya.
Rasany ngk enk bget