Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Mencari Ares
Sejak kejadian di butik, Ralina tidak pernah bertemu dengan Ares. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Teman satu asramanya bilang Ares pulang ke rumahnya dan ponselnya tertinggal di asrama.
Hari ini Ralina menyempatkan diri mencari keberadaan Ares. Ia mengunjungi perkampungan tempat tinggal kekasihnya itu. Sudah cukup lama ia tidak pergi ke daerah pinggiran kota hingga agak lupa letak persis rumah Ares.
Ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan raya. Rumah Ares masuk ke dalam gang yang jalannya tidak bisa dilewati mobil. Terpaksa ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Kawasan yang ia datangi terbilang kumuh dan padat penduduk. Jauh berbeda dengan lingkungan perumahannya. Di sana rumah-rumah berjajar tanpa sekat, jalanan hanya selebar satu meter.
"Rumahnya waktu itu dekat sungai paling ujung kan? Depan rumahnya ada pohon mangga," gumam Ralina sembari mengingat-ingat.
Ia pernah datang ke rumah Ares saat SMA untuk mengembalikan buku catatan yang dipinjamnya. Ia baru tahu kalau ada lingkungan seperti itu di kotanya.
"Hidup sejak dulu begini-begini terus! Susah ... Terus! Susah ... Terus! Tidak ada bahagianya sama sekali!"
"Punya suami tidak berguna! Punya anak menyusahkan semua!"
"Sudah tahu miskin, masih saja sakit!"
"Dikira sakit tidak butuh biaya? Menyusahkan! Sudah harus merawat, tidak bisa kerja pula!"
Ralina menghentikan langkah memandangi seorang wanita yang tengah mengupas singkong di depan rumah sembari menggerutu. Meskipun badannya tampak lebih berisi, wajahnya masih ia kenali sebagai ibunya Ares.
Ia tampak ragu untuk mendekat, namun ia memberanikan diri melangkah.
"Em, permisi ...," sapanya.
Wanita itu tampak terkejut melihat kehadiran Ralina. Raut wajah marahnya langsung berubah menjadi senyuman yang ramah. Ia meletakkan pisaunya dan berdiri menghampiri Ralina.
"Iya?"
"Apa benar ini rumah Ares?" tanya Ralina.
"Ah, iya, benar. Ini rumah Ares. Kamu siapa dan ada perlu apa datang ke sini?"
Sepertinya ibu Ares tidak mengenalinya lagi. "Saya Ralina, Ibu. Saya temannya Ares."
Ia mengulurkan tangan hendak menyalami tangan ibunya Ares, namun wanita itu menolak.
"Aduh, tidak usah bersalaman. Tangan ibu kotor," ucap ibu Ares malu-malu.
"Jadi, ada perlu apa gadis cantik seperti kamu sampai mencari Ares ke tempat seperti ini? Apa anak itu membuat masalah di kampus?"
"Oh, tidak, Ibu ... Saya hanya ada perlu sebentar dengan Ares," tepis Ralina. Ia heran saja ibunya Ares sampai berpikir seperti itu tentang putranya.
"Ares ada di dalam. Masuklah, biar ibu panggilkan!"
Ralina mengikuti ibu Ares di belakang.
"Ares ... Ada temanmu datang!"
"Iya, Bu. Sebentar." terdengar suara sahutan Ares dari salah satu kamar.
Ralina mengedarkan pandangannya ke sekeliling mengamati tempat tinggal Ares yang sangat sederhana. Rumah itu berlantaikan tegel kuno berwarna abu-abu dengan dinding kayu dan langit-langit rumah yang tidak tertutup plafon. Rumah itu sama persis seperti dulu.
"Duduk dulu di sini, ibu mau membuatkanmu minum sebentar."
"Ah, tidak perlu repot-repot, Bu."
Ibu Ares mengulaskan senyum. "Tidak apa-apa. Setidaknya kalau ada tamu harus dijamu dengan minum. Duduklah!"
Selepas ibu Ares berjalan ke arah dapur, Ralina duduk di sofa yang sudah sangat usang. Ia tampak kurang nyaman, kondisi rumah itu lebih parah dari yang dulu.
"Ralina?"
Ares yang baru saja menyibakkan tirai pintu kamar langsung terkejut melihat keberadaan Ralina di sana. Raut wajahnya tampak tidak senang dengan kehadiran kekasihnya di sana.
"Kamu kenapa ada di sini?" tanyanya seraya menghampiri Ralina.
Ralina berdiri dan memeluk Ares. Ada perasaan lega di hatinya telah menemukan pemuda itu. Awalnya ia sangat khawatir takut terjadi sesuatu kepada Ares. Ia lantas melepaskan pelukannya.
"Aku khawatir sekali kamu tidak bisa dihubungi."
"Ponselku ketinggalan di asrama. Aku belum sempat kembali ke sana untuk mengambilnya."
"Iya, aku tahu. Frans yang memberitahuku katanya kamu pulang."
"Kakak ...."
Suara anak perempuan kecil terdengar dari arah kamar.
"Itu adikku, dia sedang sakit. Aku sedang menyuapinya. Aku mau masuk lagi, kamu mau ikut masuk?"
Ralina mengangguk.
Mereka masuk ke dalam kamar bersama.
Di atas kasur usang terbaring seorang anak perempuan kecil kisaran usia delapan tahunan. Wajahnya tampak pucat pasi.
"Kakak, dia siapa?" tanya anak itu dengan nada yang lemah.
Ralina mengulaskan senyum. "Hai, nama Kakak Ralina, temannya Kak Ares," ucapnya ramah.
"Ini adik bungsuku, namanya Iris."
Ralina berjalan mendekat, ia duduk di ranjang samping adik Ares. Tangannya mengusap lembut dahi anak itu. Terasa hangat.
"Adikmu sakit begini kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" tanya Ralina.
"Sudah, hari ini baru pulang. Dia sudah di rumah sakit 3 hari. Aku yang menjaganya makanya tidak bisa pergi ke kampus."
Ralina baru tahu alasan Ares tidak bisa ia temui di kampus. Ternyata adiknya sakit. Ia menjadi merasa bersalah selama ini terlalu banyak menjadikannya sebagai tempat bersandar. Padahal, Ares juga memiliki keluarga yang butuh diperhatikan.
"Kakak ... Makan lagi," pinta Iris.
Ares mengambil piring bubur ayam yang tadi belum selesai dimakan adiknya. Ia duduk di kursi dan kembali menyuapkannya kepada sang adik.
"Maaf, ya, kamu jauh-jauh datang malah aku sibuk begini," kata Ares.
"Tidak apa-apa. Melihatmu baik-baik saja juga sudah membuatku senang."
"Aku yang jadi tidak enak hati sudah datang tiba-tiba tanpa tahu situasi dan kondisi." Ralina merasa bersalah. Ia bertamu ke sana seakan justru semakin menambah beban di sana.
"Tidak apa-apa. Sebenarnya aku juga senang kamu datang ke sini."
"Jangan kaget, ya ... Rumahku memang begini." Ares tersenyum getir.
"Aku dulu juga pernah main ke sini, jadi aku sudah tahu."
"Maaf, ibu agak lama!"
Ibu Ares datang membawa sebuah nampan berisi minuman, kue, dan buah.
"Nak Ralina minum saja di luar, ayo ... Takutnya nanti ketularan sakit," ajak ibu Ares.
"Tidak apa-apa saya di sini saja, Bu."
"Oh, ya sudah ... Ibu letakkan saja ini di depan."
"Ibu juga mau melanjutkan pekerjaan lagi. Ibu tinggal dulu, ya!"
Ralina membalasnya dengan senyuman. Ia semakin tidak enak melihat isi nampan yang sepertinya didapatkan dari luar. Sepertinya ibu Ares membeli semuanya untuk menjamu dirinya.
"Iris, kamu bisa melanjutkan makan sendiri, kan? Ini tinggal sedikit. Kakak mau bicara sebentar dengan Kak Ralina," bujuk Ares.
Wajah Iris langsung berubah murung seperti akan menangis. Ia menggelengkan kepalanya.
"Sudah, sudah ... Kamu suapi saja Iris sampai selesai. Biasanya anak sakit memang jadi manja. Aku bisa menunggu," kata Ralina.
Ares melanjutkan menyuapi adiknya. Ia semakin merasa tidak enak membiarkan Ralina berlama-lama di rumahnya.
"Kak Ralina kuliah di tempat Kak Ares?" tanya Iris tiba-tiba.
Ralina mengangguk.
"Kakak tidak mengalahkan peringkat Kak Ares, kan?"
Ralina tertegun mendengar pertanyaan itu.
"Iris, sudah ... diam ... Tidak boleh bicara saat makan," tegur Ares.
"Ibu akan marah kalau peringkat Kakak turun," celetuk Iris.
"Iris ...," sekali lagi Ares memperingatkan agar adiknya tidak meneruskan bicara.
"Kak, Kakak tinggal di rumah saja dan ajari Iris belajar. Nanti kalau nilai Iris turun, ibu akan marah-marah," keluh Iris.
Ares memijit kepalanya. Ia memang tak bisa mencegah kepolosan adiknya untuk menceritakan hal yang seharusnya tidak Ralina dengar.
kira" kemana raliba apa diculik jg sama bobby bisa sj kn raliba dpt info dr seseorang beritahu kbradaan karina yg trnyata dibohongi jg sma orang itu krn oerginya ralina g ada yg tau knp hamin g ngejar waktu itu
tristan pdkt sama ralina ny jngan kasar"
klo g kabur masa iya tristan rela jd suami karina yg urak an demi mnjaga ralina udah dikuras uagnya msih korban raga pdhl udah menyadari klo suka sama ralina... buang " ttenagadan harta tristan
ralina kabur kemana nih
iklaskn ralina yg sudah di incar trintan dr kecil
ralina d culik jga sma karina apa ya? duuhhh ko jd ngilang2 kmna lgi ralin...,,