"Cahaya akan menuntun kita pulang"
Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?
Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Where?
"Dia terus mengikuti kita, nak" ujar pria bernama Keith Clear itu. Ia terus membiarkan Benjamin di sekitarnya, meskipun ia tahu pria yang mengikuti mereka ini pasti berbahaya.
Benjamin terdiam dengan ekspresi takut. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, dan si penguntit selalu menunjukkan senyuman kejam.
"Keith, pergilah lebih dulu" saran Benjamin membuat keputusan. Keith yang mendengarnya terdiam. "Apa maksudmu? Bisa saja dia membunuhmu di sini" ujar Keith justru khawatir dengan nasib bocah di hadapannya yang usianya 17 tahun lebih muda darinya.
"Di atas pasti banyak orang" jawab Benjamin sudah memutar otak dan memikirkan rencananya. Keith terdiam. Ia terkesan dengan pemikiran remaja itu.
"Aku akan baik-baik saja" Benjamin kembali meyakinkan pemuda di hadapannya yang sudah dengan sukarela mendampinginya sedari tadi.
"Baiklah, jaga dirimu" pesan Keith akhirnya berjalan lebih dulu. Mereka tetap berjalan bersamaan. Keith berada di depan, di belakang Benjamin, dan si penguntit tetap mengikuti mereka. Sampai ketika jarak antara Benjamin dengan Keith sudah cukup jauh, Benjamin akhirnya menghentikan langkahnya.
"Aku sedang berlibur, mengapa kau tetap bekerja keras mencariku? Franz" tanya Benjamin tanpa berbalik badan, dengan pandangannya yang lurus ke depan.
"Kau sudah merasa hebat dengan membiarkan pria itu meninggalkanmu?" tanya Franz balik seraya tertawa meledek.
"Kau bodoh? Pria yang bersamaku tadi sama sepertimu" Franz yang mendengarnya terkejut.
Ia terheran. Biasanya vampir manapun memiliki aroma tubuh masing-masing dan ciri khas mereka yaitu mata merah, yang mudah dikenali.
Namun Keith, dia sama sekali terlihat seperti manusia biasa. Kulitnya tidak pucat, matanya normal, dan bahkan tubuhnya tidak mengeluarkan aroma vampir.
Aroma yang keluar dari tubuh Keith, justru aroma tubuh manusia pada umumnya.
"Kau mau membodohiku? Kau pikir aku percaya dengan tipuanmu, nak?" tanya Franz tersenyum sinis. Benjamin akhirnya menoleh ke belakang.
"Aku kira bangsawan akan lebih pintar dari perkiraanku, tapi sepertinya Sharon justru lebih pintar dan cerdas darimu"
Franz yang tak kuasa menahan amarahnya dengan cepat meraih leher Benjamin. "HUAA, PANAS!" teriak Franz ketika ia merasakan panas membakar di tangannya saat ia menyentuh leher Benjamin. Remaja itu mendorong Franz hingga menggelinding ke bawah.
Franz segera mengambil posisi aman. Ia terbang menuju Benjamin. Remaja itu mengeluarkan sesuatu, yang membuat Franz segera menghindar. "Aku lupa ayahmu orang yang sangat taat" gumam Franz tertawa kesal.
Benjamin memegangi sebuah botol kaca kecil, berisi air yang tampak murni dan bersih.
Franz tiba-tiba menjadi lebih rileks. Benjamin yang waspada tentu terheran. "Kau tidak ingat pesanku di rumahmu?" tanya Franz tersenyum misterius dan berjalan mendekati Benjamin.
Remaja itu mulai berjalan mundur. "Aku sudah melupakannya, berhenti mengungkit pesanmu yang tidak penting itu" jawab Benjamin semakin waspada. Ia akhirnya tersadar, ketika ia sudah sampai di ujung.
Di belakangnya hanya jurang, yang jika Franz mendorongnya, sudah pasti ia akan mati.
"Aku selalu menantikan adik perempuanku membunuhmu, namun tampaknya segala hal yang kami lakukan tidak berhasil karena kekasihmu. Jika aku membunuhmu hari ini, sepertinya aku bisa membunuhnya juga dan keluargamu tentunya"
Benjamin tidak mendengarkan perkataan itu dan terus memperhatikan seberapa terjal jurang itu. Di bawah jurang itu terdapat mata air. Mata air tersebut mungkin tidak dangkal.
Franz tersenyum dan mengambil kesempatan. "Selamat kembali ke alam baka, bocah merepotkan" ujar Franz mendorong Benjamin.
Remaja itu tentu terkejut. "Tidak! Tolong!" Benjamin akhirnya terjatuh. Franz memperhatikan Benjamin yang terjun dan akhirnya remaja itu tercebur masuk ke kedalaman air. "Malang sekali nasibmu, nak" gumam Franz tersenyum puas ketika melihat seekor buaya segera memasuki air ketika melihat Benjamin.
Benjamin yang berusaha naik ke permukaan terpaksa melepas tas berisi keperluan logistiknya. Ia akhirnya berhasil mengambil nafas. "Sialan" gumam Benjamin berusaha tenang. Namun matanya segera menangkap seekor buaya besar yang mendekat.
"Ya Tuhan, lindungi aku" gumam Benjamin mulai berenang menjauh secepat yang ia bisa. Franz yang melihat itu kembali tersenyum, dan ia akhirnya meninggalkan Benjamin.
Di sisi lain, buaya itu sudah semakin dekat dengannya. Ketika Benjamin mendapati dirinya tidak bisa naik ke daratan dan buaya yang sudah semakin dekat dengannya, Benjamin segera memejamkan matanya ketakutan.
"Tolong!" gumam Benjamin takut. Remaja itu segera terkejut ketika seseorang menariknya. Buaya itu gagal memangsanya.
Benjamin akhirnya berhasil naik ke daratan. "Hampir saja" ujar seseorang yang baru saja menariknya. Keith. Dia tiba tepat waktu. Nafasnya tersengal-sengal.
"Terimakasih banyak, Keith. Aku berhutang budi padamu" ujar Benjamin juga dengan nafas yang sama. "Keperluan logistikku tenggelam, bagaimana cara mengambilnya" gumam Benjamin kembali memperhatikan mata air itu.
"Aku sudah mendapatkannya" sahut Keith menyeret sesuatu. "K-Kau mengambilnya?" gumam Benjamin terkejut.
"Aku menyelam dan berusaha mengambilnya. Itu yang membuatku butuh waktu lama untuk kembali ke darat. Walaupun basah, setidaknya masih ada sesuatu yang bisa membantu dari logistik ini bukan?" tanya Keith tertawa kecil.
"Keith.." gumam Benjamin masih tidak percaya.
"M-Maaf, Ben. Aku-"
"Tidak, aku yang seharusnya meminta maaf. Aku sudah merepotkanmu sejauh ini. Sekali lagi terimakasih, Keith"
Keith menatap Benjamin terkejut. "Ngomong-ngomong, sejak awal aku tidak melihatmu membawa tas apapun" ujar Benjamin terheran. "Ahk iya, aku hanya pelari. Jadi aku hanya membawa peralatan lari saja" jawab Keith tertawa kecil.
"Apa kau tahu jalan keluar?" tanya Benjamin penasaran. "Itu permasalahannya. Aku baru pertama kali berlari di sini jadi aku tidak tahu rutenya. Peta yang kubawa sepertinya terjatuh. Ini semua karena ulah wanita aneh itu" jawab Keith tampak kesal.
"Wanita?" tanya Benjamin terheran. "Ahk iya, wanita aneh yang tiba-tiba saja menghalauku. Kulitnya putih pucat dan matanya merah"
Ciri khas itu berhasil membuat Benjamin mengenali siapa yang dibicarakan Keith.
"Sepertinya kita harus bermalam di sini dulu. Mencari jalan keluar pasti sulit, tapi jika kita mendaki ke puncak mungkin membantu" ujar Benjamin bangkit berdiri dan mulai mencari sesuatu. "Benar juga" gumam Keith setuju.
Di sisi lain.
"Ada apa Marella? Apa yang kau lamunkan?" tanya Patrick menyuguhkan susu kalsium tinggi untuk adiknya itu.
"Perasaanku tidak enak. Apa Benjamin baik-baik saja?" tanya Marella balik. Patrick menghela nafas memaklumi. Pertanyaan itu wajar.
"Biarkan dia menikmati waktu sendirinya" jawab Patrick duduk di sebelah gadis itu.
"Aku merasa bahwa sesuatu yang buruk mungkin menimpanya. Dia tidak pernah mendaki gunung itu, Patrick" Patrick yang mendengarnya terkejut.
"Dia memang sudah beberapa kali mendaki gunung ketika masih tinggal di Chicago. Tapi tidak dengan gunung Verstovia"
Patrick tertegun mendengarnya. "Kenapa terburu-buru? Kau mau ke mana?" tanya Patricia terheran ketika melihat Veronica menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. "Keadaannya sangat genting. Aku harus segera bergegas" jawab Veronica segera mengenakan jaketnya.
"Apa yang terjadi? Masa depan apa yang kau lihat?" tanya Patrick terheran dan bangkit berdiri.
Veronica terdiam ragu menjawab. Seakan sudah tahu, "Apa yang terjadi pada Benjamin?" tanya Marella tidak menoleh.
Semua terdiam. Veronica tidak menjawab dan pergi meninggalkan mereka.
"Yang benar saja"
......................
"Vampir?" tanya Keith terkejut. "Pantas saja dia kuat mengikuti kita" gumam Keith seakan tidak percaya. "Kau juga vampir bukan? Hanya saja kau campuran" Keith yang mendengarnya terdiam.
Benjamin, tahu?
"Aku tidak percaya jika aku seorang vampir. Aku tidak tidur, aku juga makan dan minum, dan aku tidak punya nafsu terhadap darah" ujar Keith tertawa kecil.
"Syukurlah. Kau masih bisa menua. Artinya kau tidak abadi" jawab Benjamin ikut tertawa mendengarnya. "Pria tadi.. dia dari bangsawan vampir bukan?" tanya Keith.
Benjamin yang mendengarnya menatap Keith terkejut. Ia mengira Keith tidak tahu bahwa Franz berasal dari bangsawan Ruby.
"Bagaimana kau tahu?"
"Matanya. Bangsawan vampir biasanya mempunyai mata lebih merah daripada vampir biasa"
Benjamin mengangguk-angguk paham. "Kenapa dia mengikutimu?" tanya Keith penasaran. "Ada banyak kejadian yang membuatku terlibat pertemuan dengannya" jawab Benjamin terkekeh.
"Ayah dan ibuku juga mati karena bangsawan" Benjamin menatap Keith terkejut. "Membunuh?" gumam Benjamin tanpa percaya.
"Ibuku seorang manusia dan ayahku adalah vampir biasa. Saat aku lahir, ibuku menjadi vampir. Bangsawan tidak menerima kehadiran vampir yang tidak abadi" Keith menjelaskan.
"Lalu?"
"Ketika aku berusia 4 tahun, desa aku tumbuh besar diserang oleh bangsawan vampir yang mencariku. Ayah dan ibuku terbunuh, dan seorang Romo tua dengan sukarela melindungiku dan membawaku ke Chicago" jawab Keith tertawa kecil mengingat masa lalunya.
Benjamin tertegun mendengarnya. "Astaga maaf, aku jadi buka-bukaan soal masa laluku" ujar Keith tertawa kecil. "Tidak masalah" jawab Benjamin tertawa kecil mendengarnya.
"Hari mulai gelap, saatnya kita menyalakan api unggun" gumam Benjamin mulai mengeluarkan beberapa barang-barang yang mulai kering dari dalam tasnya. Cuaca sejak siang menjelang sore benar-benar terik, sehingga barang-barang Benjamin yang ia jemur karena basah bisa kering.
Sementara Keith membantu Benjamin mendirikan tenda. "Aku harap tidak ada hal aneh yang mengganggu kita malam ini" ujar Keith sibuk merakit tenda.
"Aku hanya khawatir ada binatang buas di sekitar sini. Itu lebih merepotkan daripada orang jahat" jawab Benjamin berhasil memecah tawa di antara mereka berdua.
Ketika suasana sudah gelap, mereka menghangatkan diri mereka di depan api unggun.
"Apa pria tadi tahu kau selamat?" tanya Keith teringat dengan Franz. "Semoga saja tidak. Aku harap besok hari ketika kita memulai perjalanan, kita tidak berpapasan dengan orang-orang gila seperti mereka. Tujuan pertamaku mendaki gunung ialah menyegarkan otakku yang lelah"
Keith tertawa kecil mendengarnya. "Sepertinya kita harus melewati jalan lain besok. Sepengetahuanku, mereka bisa mencium jejak kita sama seperti Canis"
Benjamin mengangguk-angguk paham. "Radius penciuman mereka benar-benar merepotkan" gumam Benjamin terkekeh.
Ketika hari semakin malam, mereka memutuskan untuk memasuki tenda lalu tidur.
Tidak ada hal buruk yang terjadi malam itu. Semua tampak tenang.
"Tidak! Bayiku! Lepaskan dia!"
"Apa yang terjadi?!"
"Bernandez!"
"Rose!"
"Apa ini?!"
Nafas Benjamin mulai sesak tidak karuan. Ia ketakutan melihat pemandangan berapi itu.
Sampai akhirnya,
"Benjamin!" remaja itu tersadar seketika dan posisinya langsung duduk. "Ada apa?" tanya Keith yang lebih dulu terbangun.
"Aku.. aku bermimpi hal buruk, tentang keluargaku" jawab Benjamin memucat takut.
Keith mengerutkan keningnya. "Apa yang kau lihat?" tanya Keith lagi. "Aku merasa aku berada di rumah keluargaku yang berada di Chicago, aku melihat mereka mengambil bayi perempuan dari tangan ibuku. Lalu aku melihat mereka membunuh ayahku"
Keith yang mendengarnya tentu terkejut. "Tenanglah, mungkin kau hanya kepikiran mereka" ujar Keith mencoba menenangkan remaja itu.
Benjamin akhirnya mulai bisa bernafas dengan teratur. "Ada api unggun di sini, tapi di mana tenda mereka?" Benjamin yang mendengarnya terkejut. Keith segera menahan Benjamin ketika remaja itu mencoba melihat keluar.
"Mereka datang" bisik Keith pelan. Benjamin menaikkan sebelah alisnya.
"Aku yakin dia sudah mati, Sisca" suara yang begitu familiar. Franz dan Sisca masih berkeliling di sekitar hutan itu.
"Tapi aku masih mencium aromanya" jawab Sisca, yang saat itu bersama Franz.
Ada yang aneh di sini. Jelas-jelas tenda mereka berada di depan api unggun, tapi kenapa Franz dan Sisca justru tidak melihat apapun di sana selain api unggun yang masih menyala.
"Sudahlah. Lebih baik kita pergi ke air terjun. Sheena bilang dia hendak mengunjungi kakaknya di dekat sana. Dia tidak kembali sejak beberapa hari lalu" Franz memilih untuk meninggalkan Sisca di sana.
"Merepotkan sekali" jawab Sisca akhirnya mengikuti Franz. Setelah dirasa Franz dan Sisca benar-benar pergi, Keith menghela nafas lega.
"Kenapa mereka tidak bisa melihat tenda kita?" tanya Benjamin bergumam tanpa sadar.
"Aku membuat tenda kita menjadi transparan. Sehingga mereka tidak melihat kita" jawab Keith segera. Benjamin menatap Keith tidak percaya. "Maksudnya?" tanya Benjamin terheran.
"Walaupun aku terlihat seperti manusia normal, tapi kekuatan vampirku ialah membuat segala sesuatu tidak terlihat. Termasuk tubuh manusia"
Benjamin yang mendengar penjelasan itu tentu terkejut. "Mengejutkan sekali. Untung saja" gumam Benjamin akhirnya merasa lega.
"Tapi aku tidak bisa memastikan apakah mereka masih ke sini besok atau tidak" ujar Keith mengintip keluar sejenak.
"Semoga saja tidak"
......................
"Sial, dia menghapus aroma Benjamin agar kita tidak bisa mencarinya" gumam Joseph menggerutu kesal.
"Kerja keras yang tidak membuahkan hasil" keluh Damian yang masih mengantuk. Vampir yang kebiasaanya di luar nalar ialah Damian.
"Aku justru mencium aroma lain" ujar Esmeralda. Walaupun gadis itu masih dengan keadaan yang sama, Joseph mengikat tangannya agar Joseph bisa mengarahkan gadis itu.
(Green forest begete Joseph)
"Ada banyak yang berlalu lalang di sini, dan itu sudah pasti terjadi" jawab Patrick tidak heran. "Tidak.. aroma yang kucium ini, aneh. Antara vampir dengan manusia, dan sedari awal masuk aromanya tetap ada sampai kita sudah jauh dari pos awal" Veronica mengerutkan keningnya.
"Aku kira aku saja" gumam Veronica menatap lurus ke jalan yang masih panjang.
"Apa kau tidak bisa melihat masa depan selanjutnya?" tanya Patrick pada Veronica. "Apa yang kulihat tidak akurat" jawab Veronica.
Patrick menghela nafas bingung. Damian tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanya Joseph terheran. "Jackson" gumam Damian menyadari aroma yang mendekat.
Esmeralda segera berbalik badan dan berhasil mencampakkan seseorang yang hendak menyerang Joseph.
"Tidak ada pendaki lain bukan?" tanya Esmeralda memastikan. "Tidak" jawab Joseph tentu masih shock dengan reflek gila itu.
Seorang pria bangkit. Matanya merah darah, ia menyeringai memperlihatkan gigi taringnya, kulitnya putih pucat.
"Bagus juga reflekmu, Esperanda" ujar pria itu bangkit. Siapa lagi kalau bukan, Jackson. "Sepertinya aku harus memberitahu kalian sesuatu" ujar Jackson mulai berjalan mendekat.
Mereka mulai waspada. Joseph segera menarik Esmeralda sedikit ke belakang. Patrick segera maju melindungi Veronica, dan Damian segera menarik Morenthes menjauh.
"Oh wow, kalian sangat waspada" gumam Jacksoj tertawa meledek. "Sharon berada di dekat air terjun, Franz dan Sisca sedang menuju ke sana. Menurut kalian apakah dia akan aman?"
Patrick yang mendengarnya terkejut. Ia hendak maju namun Damian segera menahannya.
"Dia aman karena dia kuat" jawab Esmeralda dengan santai. Jackson menaikkan sebelah alisnya. "Benarkah?" tanya Jackson dengan ekspresi merendahkan.
"Sheena bahkan mati karena ilusi Sharon" jawab Esmeralda dengan santai.
Jackson yang mendengarnya terdiam. Patrick menatap Esmeralda terkejut. Esmeralda mengambil sebuah batu dan mulai memainkannya. Gadis itu melempar batu itu ke sebuah pohon dan berhasil menumbangkan pohon itu. Terlihat seorang laki-laki beranjak menjauh dari sana. Itu Brian.
"Tujuan kalian ke sini mencari dia bukan? Sepertinya kau harus berhadapan dengan kami dulu" ujar Esmeralda mengeluarkan bola air di tangannya. "Aku tidak mau kalian hanya tinggal nama" pesan Patrick paham dengan rencana Esmeralda. Ia dan yang lain bergerak menjauh.
Di sana hanya tersisa Esmeralda dan Joseph. "Jangan sampai mati kau, Josh" pesan Esmeralda ketika Joseph melepas tali yan mengikat tangan Esmeralda. "Aku tidak akan mati dengan mudah" jawab Joseph sombong.
"Benarkah?" tanya Esmeralda. "Ya, karena aku yang terkuat" jawab Joseph berubah wujud menjadi serigala.
"Atasi bocah itu, kau boleh membunuhnya" perintah Esmeralda bergerak ke arah Jackson. Joseph bergerak cepat menerjang Brian.
Jackson segera menahan serangan Esmeralda.
"Sepertinya merepotkan"
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
selamat berjuang /Good/
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
lanjut thor 🙏❤️