NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.17 - Si Indah yang Menjijikkan

“Lail, lo deket ‘kan sama Aldrin. Bisa kenalin gue ke dia, gak?”

Lail diam membisu mendengar permintaan teman sekelasnya. Dia memang dekat dengan Aldrin karena satu SD, tapi sekarang mereka sudah tak banyak berkomunikasi. Entahlah, semua kedekatan mereka saat SD, seolah lenyap tak bersisa ketika mereka masuk SMP.

“Hm, bakal aku usahain.” Hanya itu jawaban Lail.

Wajah gadis itu mendadak cemerlang.

Di waktu istirahat, Lail memutuskan pergi ke kelas sebelah untuk menemui Aldrin. Hal yang membuat Lail syok adalah saat semua menjadi sangat berbeda di SMP.

Padahal saat SD, semua berteman tanpa memandang gender, tapi memasuki masa SMP, anak-anak remaja memandang lawan jenis mereka bagaikan potensi romansa. Apa hanya Lail yang terjebak di masa-masa SD-nya? Mengapa semua orang di sekitarnya punya pacar?

Liburan semester mengubah hidup Lail sangat drastis.

Di pintu kelas Aldrin, ada siswa yang menghalangi. Dia memandang Lail seakan Lail spesies baru.

“Siapa?” tanya siswa itu. “Ada perlu?”

Lail mengangguk. “Bisa tolong panggilin Aldrin, gak?”

Siswa itu tersenyum jahil, menatap ke dalam kelasnya di mana Aldrin masih duduk berkelompok sambil mengobrol. “ALDRIN, PACAR LO NYARIIN!”

Lail terkesiap. Ingin sekali mengoreksi, tapi Aldrin langsung tahu kalau dialah yang mencarinya. Aldrin turun dari meja, berjalan menghampiri Lail.

“Ada apa, La?” Aldrin bertanya santai, diapun tak menyanggah sebutan pacar terhadap Lail barusan.

Sepertinya Aldrin sudah malas memperbaiki kesalahan penyebutan itu. Karena sejak kelas 6 SD pun, semua pencomblangan ini sudah dimulai. Dari guru yang sengaja membuat mereka duduk bersama. Pulang dari acara olahraga bersama. Bahkan candaan calon menantu dari ibu Aldrin sudah pernah Lail dengar. Padahal anak SD seharusnya tak perlu mengenal cinta ke lawan jenis dulu. Ke orang tua saja belum tentu, berani sekali melakukannya pada lawan jenis.

“Ada apa?” Aldrin bertanya lagi karena Lail terus tutup mulut.

Lail membawa Aldrin menjauh dari kelasnya demi menghindari tatapan selidik dari teman sekelas Aldrin. Aldrin ikut saja ke manapun Lail pergi. Dia pun sadar diri, sudah sejak lama orang-orang di sekitar mereka menganggapnya dan Lail punya hubungan spesial. Aldrin selalu tertawa kala mengingatnya. Apalagi Lail selalu jauh-jauh dari genre romansa di dalam hidupnya.

“Ada yang mau kenalan sama kamu, Al.”

Aldrin memutar bola matanya malas. “Bilang aja ke dia kalau gue gak suka cewek.”

“Hah?” Lail dibuat tak bisa berkata-kata.

“Udah, bilang aja gitu.” Aldrin ngotot.

“Aku gak bisa bilang begitu!” Lail tak mau kalah.

“Yaudah terserah bikin alasan apa aja.”

Lail mendecak sebal. Ini bukan kali pertama ada yang mau kenalan dengan Aldrin lewat dirinya. Tahu begitu, dia tak mau berteman dengan manusia ini saat zaman SD dulu. Mana enam tahun berturut-turut mereka selalu sekelas pula.

Baru saja Lail mau melangkah pergi, Aldrin menyeletuk.

“Lo hari ini ada jadwal olahraga ‘kan?”

“Yeah.”

“Entar berpasang-pasangan olahraganya.”

“Ya terus?” Lail mengangkat sebelah alisnya.

“Tau aja lo dapet sama cowok.” Aldrin menggoda Lail, dia terkikik geli.

Tanpa perasaan tega, Lail menarik hidung Aldrin kencang sampai terdengar erangan kesakitan. Lail menjulurkan lidahnya, mengejek Aldrin kemudian lari secepat kilat kembali ke kelasnya.

“La!”

Di kelas, Vika memanggilnya. Dialah siswi yang minta dikenalkan pada Aldrin lewat Lail.

“Gimana?” tanya Vika dengan wajah antusias.

Lail tersenyum kecut. “Aldrin bilang kalau dia gak mau pacaran, masih kecil. Fokus belajar aja dulu.”

Wajah Vika berubah berang, “Tapi ‘kan gue gak ngajak pacaran! Cuma kenalan doank. Masa gitu doank lo gak becus sih!”

“Maaf.” Hanya itu yang bisa Lail lakukan, meminta maaf. Vika mendengkus.

"Gak cukup, mana buku PR MTK lo?” “Huh?” Lail bingung.

“Minta maaf itu gak cukup. Sebagai gantinya, mana sini PR MTK lo! Gue mau liat.”

"Tapi–"

Vika memelotot, akhirnya Lail pun pasrah. Meski bertekad untuk teguh pendirian, dia cukup lemah saat sudah didesak berkali-kali. Dia bodohnya Lail akan mengatakan ‘baiklah’. Seolah-olah dirinya memang ada di kelas ini hanya sebagai tempat untuk menyontek.

Pelajaran kedua adalah olahraga, semua perempuan ganti di kamar mandi sedangkan yang lelaki tetap di kelas.

“Ayo, La!”

Bella memanggil Lail. Lail mengangguk senang. Di kelas ini, hanya Bella seorang yang dekat dengannya. Karena mereka dari SD yang sama bahkan TK yang sama. Lail yakin, dia dan Bella akan berpasangan untuk olahraga nanti.

Atau... begitulah yang Lail kira.

Lail berdiri mematung dengan pasangan olahraganya. Bukan Bella. Melainkan siswa terkucilkan di kelasnya yang bodoh dan jarang berbicara. Sedangkan Bella berpasangan dengan Vika.

Jumlah perempuan dan lelaki di kelasnya memanglah ganjil, makanya Aldrin mewanti-wanti dirinya manakala dia berpasangan dengan lawan jenis.

Gelak tawa mengudara keras saat teman sekelasnya melihat pasangan Lail. Lail juga ikut tertawa, tawa pilu.

Haha... mereka yang bergantung padaku, akhirnya cuma membuangku. Miris.

...****...

Masa SMP Lail terhitung kelam. Itu menjadi sedikit lebih baik karena ada Aldrin yang senantiasa berceloteh banyak hal dengannya. Karena itulah Lail berharap kehidupan SMU-nya berlangsung menyenangkan. Namun, satu semester telah dilewati, dan Lail mulai muak dengan teman sekelasnya.

Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi. Lail akan menjaga jarak dengan mereka semua.

Yah, ngebuat orang lain bergantung tuh gampang. Ngeliat mereka memohon minta bantuan tuh menyenangkan juga.

Lail tersenyum miring.

Ia sadar kalau teman sekelasnya di SMU amat sangat jauh lebih buruk dibandingkan dengan teman sekelasnya saat SMP. Namun, belajar dari kesalahannya yang dulu. Tentu saja dia akan jual mahal. Mereka sudah tahu kalau Lail berguna, dan pasti akan meminta sedikit bantuan darinya.

Saat itu terjadi, Lail takkan melelangkan bantuannya secara cuma-cuma, semua ada harga. Dengan ini, Lail tak akan sedih semasa-masa mereka membuang dirinya.

+628991166****

La, ini Giselle. Lo bisa tolong gue gak?

^^^Anda^^^

^^^Tolong apaan?^^^

+62991166****

Temen gue minta buatin laporan hasil penelitian. Tenang, ada bayarannya kok.

Lail memindahkan posisi gagang permen di mulutnya. Kemudian mengirimkan stiker “oke” pada Giselle. Kalau dibayar, apa pun akan Lail lakukan.

Lail tak perlu mencari teman, lebih baik mencari uang. Nanti juga teman datang sendiri. Memang teman yang datang belum tentu loyal, tapi setidaknya dia punya sebagai bentuk relasi.

Tak lama, Giselle mengirimkan nomor temannya pada Lail agar mereka lebih mudah komunikasi. Menjadi joki tugas sudah Lail lakoni sejak SMP pada tahun ketiga. Dia sering menulis laporan atau paling tidak makalah. Semua itu karena kakaknya yang sudah kuliah. Mudah bagi Lail membedakan antara esai, makalah, paper, dan jurnal lewat berkas dokumen di laptop kakaknya.

Lail menatap ke jam dinding, sudah pukul delapan. Lail segera bersiap-siap. Jadwal belajarnya dengan Wiyan sudah kembali seperti semula. Lail tak tahu kenapa kemarin Wiyan mendadak mau libur, sebab dia bukan tipe orang yang membuang-buang waktu belajar.

“Mau ke mana?” tanya Delia dengan tatapan selidik.

“Ke kafe.”

Delia mengernyit. “Belajar bareng lagi?”

“Yoay.”

“Emang kalian gak bosen?”

“Bosen lah! Tapi gak apa-apa, soalnya aku ditraktir es krim banyak banget sama dia. Sayang kalau kesempatan emas disia-siakan.” Lail hanya nyegir kuda.

Delia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia jadi sadar, Lail mudah sekali diculik dengan embel-embel akan diberikan es krim ataupun buku.

“Kak?” panggil Lail.

"Apaan?”

“Kalau libur semester, emangnya libur ke kafe juga?”

“Enggak, kan ada kamu yang beliin kakak.”

Lail mendecak. Benar juga.

Mendadak Lail merasa kasihan pada Regas yang senantiasa menunggu kedatangan Delia ke kafenya. Lagi pula, kenapa bisa Regas jatuh hati pada seseorang seperti Delia yang bahkan tak suka dekat-dekat dengan lawan jenis? Satu-satunya teman lelaki yang dia miliki pun agak belok dilihat dari kelakuannya.

Seperti biasa, rute yang Lail ambil menuju kafe adalah rute para pejalan kaki. Sambil menikmati pemandangan sekitar perumahan yang masih asri, Lail bersenandung ria. Tak peduli jika suara sumbangnya membuat bunga- bunga layu.

Keluar dari gang perumahan, Lail menyapa satpam yang duduk di pos. Lail iseng melirik ke gang masuk perumahan Agoni. Dari sana, seorang remaja berjalan keluar. Entah kenapa, Lail jadi kalut. Dia berlari masuk ke pos satpam.

“Neng, kenapa?” tanya pak satpam heran.

Eh?

“Iya yah, kenapa malah kabur.” Lail nyengir. Pak satpam menggeleng heran.

Lail memandangi si remaja yang baru keluar Perumahan Agoni. Bola matanya melebar sempurna. Remaja itu... dialah yang Lail tolong tempo hari tapi malah menyebutnya sebagai seorang manipulatif. Perasaan kesal di hati Lail kembali lagi.

“Ternyata dia orang kaya toh.” Lail bergumam.

“Neng Lail kenal?” tanya si pak satpam penasaran.

“Gak bisa dibilang kenal sih, tapi pernah papasan sekali. Orangnya aneh, Pak.”

“Orang kaya emang aneh, Neng. Seolah mereka kayak dari belahan bumi yang beda dari kita.” Pak satpam menimpali.

Lail mengangguk setuju.

...****...

“Udah nunggu lama, Iyan?” Lail menyapa Wiyan yang sudah duduk di tempat biasa mereka duduk.

“Baru 5 menitan.”

Lail duduk di samping Wiyan. Meja di depan mereka sudah tergeletak dua buku beserta alat tulis. Lail mengulum senyum tipis. Wiyan sangat serius belajar, padahal Lail itu satu angkatan dengannya. Lail jadi curiga kalau dia sudah menjadi guru privat Wiyan.

“Lo kemarin ke sini?” tanya Wiyan sambil menyeruput kopi latte-nya. “Yep.” Jawab Lail.

“Kayak biasa?”

“Yeah, aku jadi babu kakakku mulu.” Keluh Lail.

“Kenapa emangnya?”

“Gue denger kemarin ada keributan.”

Kemarin?

Satu-satunya keributan yang Lail ketahui adalah saat dirinya melabrak seorang penguntit. Itu tidak seheboh yang Wiyan pikirkan, karena gadis itu mudah sekali ditakuti.

“Tahu dari mana?”

“Ada orang yang ngasih tau.”

Lail merenggut kesal, jawaban macam apa itu?

“Itu cuma keributan kecil, lagian aku jadi penonton doank kok.”

Itu bohong.

Wiyan menatap Lail tidak percaya. Yah, memangnya sejak kapan gadis ini bisa dipercaya? Wiyan tidak sebodoh itu sampai tak tahu kalau Lail memupuk kemunafikkannya sampai setebal batang pohon beringin.

Lail tersenyum jahil, “Kenapa~? Kalau khawatir bilang aja–”

“Ya, gue takut lo lecet.” Wiyan langsung memotong ucapan Lail. Dia memandang Lail begitu lekat sampai orang yang ditatap takut kedua matanya akan keluar.

Lail bungkam mendengarnya. Dia menengok ke arah Wiyan dengan ekspresi yang tak bisa dideskripsikan. Mata mereka bersibobrok. Lama sekali, tak ada yang bergerak ataupun bersuara.

Mendadak Lail mengangkat tangannya di depan wajah Wiyan.

“Iyan... geli. Gak usah gitu.” Ucap Lail setelah lama terdiam, dia menarik kursinya sedikit menjauh dari Wiyan.

Wiyan berkedut kesal. Seharusnya sejak awal Wiyan tak bawa perasaan saat menghadapi Lail yang unik. Wiyan menghela napas panjang, kemudian menarik kembali kursi Lail mendekat kepadanya. Lail yang tak siap memegangi ujung kursi karena takut terjatuh saat ditarik Wiyan.

“Mending mulai belajarnya.” Usul Wiyan.

Seolah melupakan kejadian semenit lalu, Lail bersikap normal lagi terhadap Wiyan.

Tanpa mereka sadari, Regas yang berdiri di belakang meja konter menonton sejak awal. Dia tertawa kecil. Lucu rasanya melihat interaksi antara adik Delia dengan temannya. Regas tahu yang bersama Lail adalah temannya karena dilihat sekilas saja, Lail adalah tipe yang susah untuk berkomitmen.

Yah, Lail adalah sosok yang bebas.

Sama seperti kupu-kupu, yang terbang bebas di langit indah. Duduk dari satu bunga ke bunga lainnya.

Tapi, apakah kalian tahu?

Kupu-kupu adalah serangga indah yang menjijikkan.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!