NovelToon NovelToon
RINDU GUGAT

RINDU GUGAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Spiritual / Duniahiburan / Reinkarnasi
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ki Jenggo

Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.

Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.

Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Wayang Jawa

Gurauan para anak anak remaja itu yang kadang menjadikan aku rindu mereka. Dan gurauan khas nya yang membangunkan hiburan tersendiri bagiku.

"Tahu tidak, bahwa gurauan kalian itu kadang terngiang di telinga. Kalau sudah begitu aku bisa ketawa sendiri," kataku.

"Maaf, Kak, tertawamu di jalan atau saat di rumah?" tanya Ima.

Aku mau menjawab, tapi kalah dahulu dengan Hengki, "Ayo tebakan, Kakak pertama tertawanya di mana?"

"Ya di rumah, emang di jalan, seperti ODGJ," jawab Ima.

"Di rumah atau di jalan kalau tertawa sendiri ya sama bahayanya, dekat ODGJ, " jawab Pras.

"Lalu di mana kakak pertama tertawa, " tanya Hengki.

"La, iya.... di mana, ya.... " tanya Ima.

Aku tahu ini adalah kalimat plesetan. Tapi sulit untuk di tebak.

Maka hari itu, aku, Pras, Ima harus berpikir keras jawaban dari tebakan Hengki.

"Di kamar kecil, ah, " jawab Pras.

"Di Kamar kecil atau di mana aja, sama saja selama itu tertawa sendiri tetap dekat ODGJ," jawab Hengki.

"Lantas.... " kata Ima.

"Tertawamu kakak pertama ada di mulut," jawab Hengki.

Mendengar jawaban Hengki, kami tertawa terbahak bahak. Bahkan aku sapi terpingkal, jawaban yang mudah membuatku mumet.

Pras yang membuat lelucon itu bertanya dengan nada serius tentang arti sebuah tawa.

"Tertawa itu di bagi menjadi dua tempat. Yaitu mulut dan bibir, " kata Pras.

"Apa ada beda dengan mulut dan bibir, " kata Hengki.

"Nah, apa bedanya, Pras, " kata Ima.

"Bagiku.... kok mulut itu semua berlaku. Ada bibir, ada gigi ada lidah. sedangkan bibir ya hanya bibir, " jawabku.

"Nah, itu berdasarkan tempat, gaya tertawamu pun beda," kata Pras.

"Maksudmu? " tanya Ima

"Kali di mulut namanya tertawa lepas. Kalau di bibir namanya tertawa kecil, " kata Pras.

"Ya nggak guru, saja. Kan bibir itu tersenyum, " kata Ima.

"Senyum itu jenis tawa tapi malu malu, " kata Hengki.

"Kok ada, tertawa malu malu, " jawab Ima.

"Tertawa malu malu itu adalah saat Ima di lamar Cowok. Pertanyaannya, siapa yang mau sama Ima? " kata Pras tertawa. Dan kami juga ikut tertawa serempak.

****

Gurauan yang membuat perut kami terkoyak kecik, terhenti setelah Hengki menceritakan persoalan sebuah batu yang ada di salah satu Gunung di Ponorogo. Batu tersebut ada tapak kaki dalam ukuran besar. Orang di lokasi gunung tersebut, menyebut Kaki Tapak Bima.

"Kok kaya Peninggalan Taruma Negara saja," Sahut Ima.

"Beda, kalau Peninggalan Taruma Negara masih ada tulisan prasastinya berupa tulisan. Sedang ini tanpa tulisan, " ungkap Hengki.

"Masa, Raja Purnawarman juga ada di sini, " kataku.

"Atau mungkin se era, ya, Kak, ' kata Pras.

"Kita tanpa melihat lokasi apa bisa menduga, Pras, " kataku.

"Kalau se era, mana bisa kita berkata begitu, bila angka tahun pada batu Tapak Bima tidak ada," kata Ima.

"Kan sekadar menduga, Im, " kata Pras.

"Menduga sekalipun harus dugaan yang mendekati benar, Pras, " kata Ima Tegas.

Kami semua terdiam. Analisa kami berkecamuk dan terbang ke awang untuk saling memprediksi keberadaan batu Tapak Bima yang ada di sebuah Gunung tersebut.

"Kita harus mengetahui dulu baru dan bentuk tanda telapak kaki tersebut. Kalau telapak kaki yang ada mirip dengan telapak kerbau yang ada di tempat kita lihat kemarin kami masih sangsi. Sebab bentuknya sudah tidak beraturan dengan jenis batunya juga menyangsikan, " aku memberi keterangan.

"Apa itu telapak kerbau yang ada di gunung jimat? " tanya Ima.

"Bukan, di Gunung jimat kita tidak sempat melihat, " sahutku.

"Aku juga belum sempat melihat lokasi batu tersebut. Namun ini sekadar keterangan. Dan saat aku ingin melihat, cuaca kurang mengizinkan, " kata Hengki.

"Artinya begini, Telapak kaki yang dipahat pada batu itu goresan atau pahatan timbul, ini juga membedakan waktu kapan ada. Batu tersebut dengan gambar telapak kaki itu berbentuk timbul atau cekung ini juga beda, " ujarku.

"Nah ini enaknya adalah kapan kita kesana. karena kata masyarakat sana telapak kakinya tersebut besar melebihi ukuran telapak kaki kita. Maka orang sana menyebut telapak kaki Bima. Dan menggambarkan kekuatan Bima yang gagah dan besar, " terang Hengki.

"Sebentar, sebetulnya Bima yang di gambarkan di situ siapa, Heng? tanya Ima.

"Paling ya Bima yang di pewayangan," ucap Hengki.

"Astaganaga, saya kira Bima teman sekelas di SMA dulu, Im," ungkap Pras.

Kami pun tertawa kembali. Dan inilah asyiknya bertemu dengan mereka.

"Sebetulnya siapa, sih, Bima tersebut?" tanya Ima.

"Bima, yang digambarkan oleh masyarakat adalah salah satu anggota Pandawa Lima, " ujarku.

"Pandawa Lima itu siapa lagi, " tanya Hengki.

"Di sebut Pandawa Lima karena jumlahnya Lima. Pandawa dalam dugaanku adalah Pandu dan Hawa, " terangku. Aku menghisap rokok pelan dan memandang mereka. Mereka aku lihat nampak memperhatikan kata kataku.

Aku melanjutkan penjelasanku, di sebut Pandawa adalah Pandu dan Hawa. Yang artinya bisa berasal dari Pandu dan kemauan hawanya. Hawa bisa berarti angin atau nafsu yang berarti birahi. Tapi juga bisa berarti keluar dari wanitanya Pandu bila Hawa di artikan perempuan. Dari itu Pandawa adalah Putra Pandu.

"Karena jumlah putra Pandu lima maka di sebut Pandawa Lima, " tegasku.

"Nah ini Pewayangan Jawa. Kamu jelas tidak paham, Im, " ujar Pras.

"Kamu sendiri apa mengerti, " kata Ima membalas Kata Pras.

'Aku, guru, Loh.... " kata Pras.

"Paham, Pras? " tanyaku.

"Jelas tidaknya Kak, " jawab Pras yang di sambut tawa kami.

Memang anak anak muda sekarang sudah enggan dalam menyaksikan pakeliran Wayang. Padahal para Dalang tidak kurang mencari alternatif pasar, agar Wayang tetap bisa bersaing dengan kesenian lain.

Bahkan para Dalang merelakan mencampur kesenian wayang dengan seni lain. Seperti musik modern, tari bahkan ada yang membawa aneka seni kreasi lain. Dan cara seperti itu bisa mengajak generasi muda tidak ketinggalan pada seni wayang.

Tapi sayang, kadang justru mengesampingkan kisah dan cerita dalam pewayangan. Di awal cara kreasi yang semacam itu juga menimbulkan pro dan kontra para seniman dalang. Namun bila tidak ingin ketinggalan dan wayang lekat di hati generasi muda mau tidak mau harus bisa membangun kreasi.

"Kisah Wayang sebetulnya sudah banyak di kupas pada masa masa lalu. Misalnya di Serat Adi Parwa dan juga Arjuna Wiwaha, " kataku.

"Memang Wayang ada sejak kapan sih, Kak? " tanya Ima.

Aku menghela napas panjang. Lalu menatap mereka satu persatu.

"Sejak masa Keder sudah ada wayang. Dan Wayang pada masa Majapahit juga menjadi satu bentuk kesenian sakral. Karena tergolong seni sakral maka waktu dan tempat pementasan tidak sembarangan," ujarku.

"Maksudnya tidak sembarangan? " tanya Pras.

"Butuh waktu yang sakral pada pementasan tersebut. Hari pun di pilih hari yang sakral. Bila sudah ada jam di pilih jam yang sakral. Tempatnya juga tempat yang sakral, " jawabku.

Mereka saling menganggukkan kepala sebagai tanda memahami akan penuturanku.

*****

1
jhope's wife
aku mampir🐳

bantu support karyaku juga yuk🐳
Evichii
Wuah seru kita jadi ikutan diajak jalan-jalan.. 👏🏻
Evichii
Bahasanya kerennn.. 🔥
ica
semangaaat!!!
Los Dol TV
mantul, thor
ica
semangat berkarya!!!

mari terus saling mendukung untuk kedepannya
Los Dol TV: siap....
total 1 replies
Wy Ky
n
Los Dol TV: terima kasih, ya... semoga kau sehat dan cantik selalu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!