NovelToon NovelToon
Dari Benci Jadi Suami

Dari Benci Jadi Suami

Status: tamat
Genre:Tamat / Berbaikan / Ibu Pengganti / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Diam-Diam Cinta / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:11.8k
Nilai: 5
Nama Author: nichi.raitaa

Tolong bantu support dan jangan lompat bab saat membaca ya, terima kasih 💗

Delilah Atmaja—seorang perempuan—yang sama sekali tak berkeinginan menikah, terpaksa menuruti kemauan sang ayah. Justru bertemu kembali dengan Ananda Dirgantara—musuh semasa SMA—dan justru berakhir di pelaminan. Tak berhenti sampai di sana, Rakanda Dirgantara—mantan cinta pertama Delilah—menjadi sang kakak ipar. Hadir juga hari dimana Raka menerima bantuan dari si jelita, Delilah. Membuat keruh hubungan rumah tangga Nanda dan Delilah yang telah menjadi seorang istri.

Dapatkah mereka akan melewati drama pernikahan dan pergulatan hati masing-masing? Akankah mereka berdamai dengan keadaan dan menemukan akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nichi.raitaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 17

Tak ada penolakkan dari Delilah yang kini meremas pelan kaos di sisi lengan atas Nanda. Netra keduanya terpejam dengan bibir yang saling tertaut. Tubuh mereka masih melekat hingga, satu dari mereka kembali pada kenyataan setelah kewarasan menguap sejenak. Terlarut dalam suasana, membuat Delilah ikut terbuai keelokan paras sang suami. Si jelita mendorong dada Nanda menjauh dan menarik diri seketika setelah mata si wanita terbuka.

Nanda tentu terkejut, manik legamnya mengerjap sesaat sebelum menyadari perlakuan barusan. Dia sendiri kehilangan kendali diri dan memangsa bibir ranum yang tadi dia pandangi. Sedikit kikuk dia berdehem dan ikut menarik diri membuat jarak antara mereka.

“Ah, a-aku—” Suara Nanda terbata.

“Mandi … kau sudah mandi?” Delilah memangkas kalimat Nanda, sang suami mengangguk, “kalau begitu, aku akan mandi.” Dia kemudian hendak pergi, tetapi Nanda mencekal tangan Delilah hingga tubuh sang istri ambruk kembali padanya.

“T-tunggu, jangan bergerak!” Nanda masih sedikit kikuk, dia menunjuk pecahan kaca yang berserakan di lantai dengan mata agar Delilah melihat kebawah juga.

Tak menunggu aba-aba, dengan sigap Nanda membopong tubuh mungil Delilah. Mengambil langkah jenjang perlahan membawa si istri ke lantai bersih, kemudian menurunkan si jelita. Mereka bertukar tatap sejenak sebelum Delilah beralih ke kotak obat. Mengambil perlengkapan yang dia butuhkan, membersihkan luka Nanda dan membalut dengan perban. Tanpa suara, Nanda juga menurut saja. Manik mereka berjumpa lagi, sepersekian detik setelah Delilah meniup pelan luka di tangan Nanda.

“Sudah, aku akan mandi.” Delilah kemudian berlalu menuju kamar mandi segera.

Di balik pintu, tubuh Delilah bersandar dan perlahan merosot ke bawah. Dia menyembunyikan wajah di balik dekapan dua siku yang bertemu. Bibir mungil si jelita terkunci rapat, tetapi hati sedang sibuk berteriak.

Bisa-bisanya aku membalas ciumannya, aku sudah gila! hati Delilah ribut.

Tak jauh berbeda, Nanda sedang duduk di bangku taman belakang sendirian, setelah menyuruh mbok Yem membereskan kamar yang berantakan. Dia sedang mengutuk kelakuannya sendiri. Dia melewati perjanjian yang telah mereka sepakati.

“Tunggu, tapi … bukankah tidak masalah? Delilah … membalas ciumanku juga tadi.” Nanda bergumam sambil menyentuh bibirnya sendiri perlahan. Kemudian berteriak frustasi mengacak rambut sendiri.

Pukulan pelan di pundak menahan gerakan si pria. Dia sedikit terkejut menatap sosok yang sedang berdiri di belakang. Sedikit heran menelisik pakaian yang sedang dikenakan sang istri, serba hitam. Wajah jelitanya sudah berhias make up tipis.

“Kau sudah selesai? Cepat sekali.” Nanda mengernyitkan kening.

“Berisik! Cepat ganti pakaianmu, Dokter.” Delilah menarik lengan Nanda, si pemilik lengan justru makin kebingungan, “kita akan pergi berkencan.” Delilah mengerlingkan sebelah mata.

Dengan pakaian berduka seperti ini? Yang benar saja! bisik Nanda dalam hati.

***

Benar, berkencan ke sebuah rumah duka. Tempat dimana keluarga pasien dokter Nanda sedang berkumpul untuk penghormatan terakhir pada almarhum sebelum dikebumikan. Sang dokter utama sedikit gemetar turun dari mobil yang dikendarainya bersama sang istri dengan pakaian yang serasi, serba hitam. Delilah melangkah ke sisi Nanda dan menggandeng lengan sang suami.

“Hari ini, akan kupinjamkan tanganku. Kau bisa meremas sesukamu.” Delilah bersitatap dengan Nanda, “tenanglah, aku bersamamu.” Delilah tersenyum tipis dan mengangguk.

Begitupun Nanda, dia memberanikan diri melangkah ke dalam salah satu ruang di gedung megah bercat putih dan biru terang itu. Tentu saja, hampir semua pasang tatap mata memandang ke arah sang dokter utama yang datang. Langkah Nanda tertahan sejenak, lalu Delilah menyadarkan sang suami dengan sedikit gerakan. Mereka kemudian melangkah beriringan menuju sisi peti dan memberi salam perpisahan dan doa.

Di sana berdiri seorang wanita dengan senyum dan air mata menggenang di pelupuk mata. Ratih—anak sulung dari mendiang Bimo—memandang sendu pasangan muda yang sedang menunduk di depan peti sang ayah. Kemudian, tentu berakhir dengan tatapan pada sang dokter yang baru selesai memberi hormat terakhir pada pasiennya.

“Dokter Nanda,” Suara Ratih terdengar serak dan sengau.

Nanda mengangguk dengan hati berdebar. Dia sama sekali tak bisa memberi senyuman. Manik sang dokter sibuk berlarian dan netra mengerjap berulang. Dia bahkan, tanpa sadar meremas tangan mungil Delilah yang masih setia melingkar di lengan.

“Terima kasih sudah datang.” Ratih menjeda kalimat, dia mendekat ke sisi peti dan memandangi wajah damai sang ayah, “terima kasih, telah setia mendampingi ayah kami. Tidak menyerah meski ayah selalu bilang lelah. Terima kasih dokter, sudah ada di sisi beliau hingga akhir. Saya melihat, jahitan di dada ayah kali ini begitu indah.” Ratih tak bisa menahan tetesan air mata yang kian deras, tetapi hatinya begitu penuh kelegaan. Melihat Nanda berkenan hadir.

Nanda terpaku, dia hening dan bergeming. Kehilangan seluruh kemampuan otot. Tak ada satupun suar yang berhasil keluar. Tidak ada kalimat yang mampu disusun dengan baik. Otak sang dokter berhenti bekerja mendadak. Beruntung tak ambruk ek lantai saking gugup.

“Terima kasih kembali, Anda dan keluarga telah berbesar hati. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan penghiburan. Dan almarhum sudah tenang dalam damai, diterima di sisi Tuhan dengan baik. Terima kasih juga, sudah memberi suami saya kesempatan sebagai dokter yang dipercaya.” Delilah maju satu langkah menjawab dengan tenang dan senyum tipis. Tak lupa meraih dan menggenggam erat tangan Ratih di depannya.

Nanda hanya terdiam melihat Delilah begitu mudah memberi zona nyaman pada orang lain. Terlihat sangat lihai menangani segala kondisi hingga meyakinkan dirinya pun begitu mudah. Entah Nanda yang melonggarkan aturan atau memang si jelita yang pandai membujuk. Atau karena dua hati mulai sibuk saling melindungi dengan cara masing-masing. Setelah lebih tenang, Delilah dan Nanda berpamitan kemudian.

Meski sudah meninggalkan ruangan tadi, sepasang suami-istri masih duduk di sebuah bangku taman rumah duka. Nanda masih hening, tak bersuara. Hanya senyuman tipis terlihat saat berpamitan pada keluarga mendiang Bimo.

“Kenapa kau begitu kaku, apa kau tak pernah singgah di rumah duka pasien?” Suara Delilah menyedot atensi. Nanda menggeleng pelan, justru tangan Delilah memukul bahu sang suami. “Dasar tidak sopan! Kenapa kau tidak—”

Nanda menangkap tangan Delilah yang terangkat di udara, “aku bukan tidak sopan, Delilah. Aku belum pernah kehilangan pasienku, sampai hari ini terjadi. Terima kasih untukmu, sekali lagi.” Manik legam Nanda mengunci pergerakan si jelita.

Ah, pengalaman pertama rupanya, batin Delilah berbisik.

Netra Delilah mengerjap menatap sepasang mata elang di depan. Suara dering ponsel memangkas lomba adu tatap siang ini. Nanda tetap harus kembali ke rumah sakit untuk bekerja, setelah mengantar Delilah kembali ke rumah dengan aman.

“Aku akan segera kembali,” pamit Nanda dijawab dengan anggukan oleh Delilah.

Saat sampai di ruang parkir, Nanda bergegas masuk ke ruang pasien yang dimaksud oleh perawat yang menelpon tadi. Setelah melakukan visit dan memastikan kondisi pasien baik. Nanda berpamitan, di lorong dia tak sengaja berjumpa dengan Matthew yang tertunduk dalam. Sengaja dia mengambil langkah tepat di jalur si sahabat. Langkah Matthew terpaksa berhenti tepat di depan Nanda, mereka jelas bersitatap.

CTIK! Nanda memukul kening Matthew dengan telunjuk. Membuat si pemilik kening mengaduh sambil memegangi keningnya. Dia kemudian hendak melanjutkan langkah, tetapi berhenti tepat sebelum melewati Matthew. Saat malam di rumah, si dokter utama mendapat kabar jika ibu dari si asisten dokter kemarin juga tengah dalam masa kritis mendadak sebelum mereka masuk untuk melakukan pembedahan.

“Apa ibumu baik-baik saja sekarang, Mat?” Nanda berbisik, Matthew menatap dari samping sambil mengangguk. “Syukurlah, jadi kau bisa fokus lagi, ‘kan? Aku menunggumu.” Nanda melanjutkan langkah setelah memberi seulas senyum dan tepukan pada bahu Matthew.

Nanda menyusuri lorong hingga sampai ke ruangan yang sedari kemarin senyap dan gelap. Menyalakan lampu kemudian duduk di kursi setelah menyambar snelli yang tergantung. Dia membuka pesan di ponsel sebelum beralih ke layar monitor di depan. Dia membuka pesan dari Matthew yang mengucapkan terima kasih dan sebuah pesan lain.

Matthew :

Aku membagikan parcel buah pada perawat dan menyimpan dua surat di laci. Tolong cek mereka, sebuah surat terlihat seperti dokumen penting.

“Laci?” Nanda bergumam sambil menarik sebuah laci di sisi kanan.

Mendapati ada dua buat amplop di dalam. Dia membuka amplop coklat terlebih dahulu, sesuai keterangan Matthew. Tak ada nama pengirim, Nanda menyobek dan melihat isi dalam amplop coklat. Kening si dokter mengerut, aliran darah berdesir cepat. Tak mengulur waktu dia melangkah cepat menuju ruangan lain.

BRAK!

***

Jangan ketinggalan tombol like dan isi ramaikan kolom komentar yaa 🔥

1
Ripah Ajha
sungguh keren kata2mu Thor, aku jadi terhura eh terharu maksutnya🥰
nichi.raitaa: aw, terima kasih ya kakak juga sudah baca sampai akhir ... aku meleyot nihh 🫣🫠😘
total 1 replies
Krismargianti Andrean
lanjut thor nunggu nih ampe tambah es teh jumbo 5kali
nichi.raitaa: waduh kak ... apa nggak kembung 🤧 btw timamaciw sdh mampir, nih aku kasih 2 hati akuh 💗💗🫦
total 1 replies
Zee✨
hay kak nicki, aku mampir hehe semangattttt💪💪
nichi.raitaa: nyehehhee okidoki kak 💗 aku telhalu loh😵‍💫🫠
Zee✨: sama², nanti ye mau ngepel dulu😂😂
total 3 replies
Zee✨
dih kepedean amat bang😏
Zee✨: pantesan aku cari² nggak kelihatan, taunya di sana toh🤭
nichi.raitaa: 🤧😶‍🌫️ aku ampe ngumpet dibalik awan kakk
total 2 replies
Ripah Ajha
like Thor, tetep semangat update ya🥰
nichi.raitaa: terima kasih supportnya kak, wait ya 💗😘
total 1 replies
Ripah Ajha
gitu tu, kalok oasangan suami istri blom prnah mp, bawaannya emosi teros🤣
nichi.raitaa: aw ... si kk tau ajah 🤧🫣
total 1 replies
Ripah Ajha
keren karyamu thor
nichi.raitaa: terima kasih sdh membaca kak, semoga betah ya 💗
total 1 replies
·Laius Wytte🔮·
Kisahnya bikin baper, jadi terlarut sama ceritanya.
nichi.raitaa: terima kasih sudah membaca, Kak 💗 teruskan lagi yuk kakk 🥰
total 1 replies
Sandy
Seru banget, gak bisa berhenti baca😍
nichi.raitaa: terima kasih, sudah membaca kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!