Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Hans menatapku tajam, matanya bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya. Di saat seperti ini, rasanya ingin sekali aku memukul tubuhnya berkali-kali hingga dia merasakan sakit yang kurasakan.
Namun, aku tau menamparnya saja takkan cukup untuk melampiaskan kemarahan ini, yang ada di dalam hatiku.
Aku benar-benar kesal melihat wajah sombongnya. "Apa kamu yakin banget, aku mandul?" tanyaku dengan nada sinis.
Hans tertawa terbahak-bahak, bagai setan yang mengejek penderitaan orang lain. "Hahaha, kamu buta apa gimana, Rea? Gak lihat apa sekarang madu kamu itu lagi hamil anak aku?"
"Ooh gitu, jadi kamu seyakin itu Rena hamil anak kamu, Hans?" sindirku sambil mengejeknya.
"Apa maksud kamu!" geram Hans, merasa tersinggung oleh kata-kataku.
"Gak ada maksud apa-apa!" jawabku sambil memalingkan wajah, tidak ingin melihat wajahnya yang membuatku mual.
"Kenapa kamu begitu berubah, Rea? Di mana Rea yang dulu lembut dan penyabar?" tanya Hans, seolah-olah dia tidak bersalah dalam mengubahku menjadi pribadi yang seperti ini.
Aku hanya menghela napas panjang, menahan kemarahan yang meluap-luap. Di dalam hati, aku berjanji akan membuktikan bahwa aku bukanlah pribadi yang lemah dan bisa diinjak-injak oleh orang seperti Hans.
"Karena kamu mengubahnya Hans, aku ikuti apa yang kamu ajarkan kepadaku !"
Rna berjalan dengan langkah mantap menuju ke arahku, senyum sinis terpampang di wajahnya.
Tangan di pinggang, dia menatap tajam perempuan yang telah merusak rumah tanggaku.
Aku merasakan jantungku berdegup kencang, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.
"Sayang, ayo kita makan. Aku lapar," ujar Rena dengan nada manja, tanpa menyadari betapa sakitnya hatiku.
"Eh, ada Rea. Gimana perasaan kamu setelah memenangkan tender?" tanyanya dengan nada sinis.
"Biasa saja," jawabku dengan nada datar, berusaha menahan amarah yang kian membara.
"Ayo, kalau mau makan bareng istri pertama, kamu yang traktir ya?" goda Rena, mencoba memancing reaksiku.
"Kalian saja," jawabku singkat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
Aku segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, diikuti oleh Titin yang duduk di sampingku.
Titin pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju kantor, meninggalkan Rena yang tertawa puas melihat kekalahanku.
"Bu bos, aku kok kesal banget sama Rena, kayak gak punya salah gitu Bu bos," seru Titin dengan wajah kesal dan tangan yang menggepal.
"Udah, Tin, gak usah dibahas lagi. Kita fokus ke kerjaan kita aja," sahutku sambil berusaha tenang.
"Baik, Bu bos," ujar Titin sambil menarik napas dalam-dalam.
Aku pun menyenderkan tubuhku di kursi mobil, merasa tidak sabar untuk bercerai dari Hans.
Tangan gemetar, aku menelpon Imas untuk menanyakan perkembangan gugatan cerai yang sedang kuberikan.
Aku [ "Imas, bagaimana kabar gugatan cerai ku? Apakah sudah sampai ke Hans?" ] tanyaku dengan suara yang bergetar.
Imas menjawab, [ "Tenang, besti, siang ini surat gugatan cerai kamu sudah sampai ke Hans. Semoga segalanya lancar ya, rea." ]
Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Imas, sahabat terbaikku yang selalu bisa kuharapkan dukungannya. Mendengar kabar itu, lega rasanya di hatiku.
"Bu bos, makan dulu yuk? Aku lapar," seru Titin sambil mengusap perutnya yang keroncongan.
"Ayo, kita makan dulu, biar tenaga kita terisi untuk menghadapi masalah yang ada," jawabku sambil tersenyum dan mengajak Titin untuk segera mencari tempat makan.
Titin menekan pedal gas mobilnya, memacu kecepatan menuju restoran yang sudah direncanakan.
Begitu tiba di depan restoran, kami segera turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran yang tampak mewah dan nyaman.
Segera setelah duduk, seorang pelayan datang menyapa kami ramah, "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"
Titin dan aku pun segera memesan makanan dan minuman favorit kami, menanti pesanan sambil menikmati suasana restoran yang hangat. Titin pamit sejenak untuk ke toilet, meninggalkan aku yang asyik memainkan ponsel.
Aku membuka aplikasi Instagram, dan mata aku langsung tertuju pada postingan Rena dan Hans yang sedang berpose mesra.
Entah apa yang di fikiran Rena bisa bisa dia memposting di sosial medianya, semua juga tau kalo Hans itu masih suami aku.
Terasa panas melihat kemesraan mereka yang diumbar di sosial media. Terlebih lagi, komentar pedas dari netizen yang mencemooh keberanian Rena memamerkan hubungannya begitu terang-terangan.
Aku hanya bisa diam, menahan rasa sakit dan kecewa yang menggelayut di hatiku. Tak lama kemudian, Titin kembali dari toilet dan melihat ekspresi muram ku
. "Ada apa, Bu bos ? Kok mukanya cemberut gitu?" tanya Titin dengan kepedulian.
Aku tersenyum paksa, berusaha menyembunyikan perasaanku, "Ah, nggak apa-apa, tin. Hanya saja, melihat postingan Rena tadi membuatku sedikit... ya, sudahlah. Mari kita nikmati makan siang kita" seruku
Titin dan aku duduk di meja makan, lahap menyantap hidangan di hadapan kami. Pikiranku dipenuhi oleh kebencian yang mendalam terhadap Rena.
Wanita itu benar-benar keterlaluan. Tak kalah membencinya adalah Hans. Bahkan kini, perasaanku lebih banyak kebencian daripada cinta yang pernah ada.
Aku berusaha meyakinkan diri, mulai hari ini tak ingin terlalu terluka dengan apa yang Rena lakukan bersama suamiku.
"Ibu bos, kok bengong? Itu ponselnya bunyi," seru Titin, menyadarkanku dari lamunanku yang kelam.
Aku segera mengambil ponsel yang bergetar di atas meja. Melihat nama yang tertera, ternyata dari bibik yang ada di rumah sakit . Tanpa ragu, aku langsung mengangkat teleponnya.
Aku [ "Halo, ada apa? Bik?" ] tanyaku dengan raut wajah yang masih terlihat kesal.
Bibik [ lebih baik non langsung ke sini saja non,]
Suara di seberang telepon itu mengalihkan perhatianku dari kebencian yang sempat menguasai pikiranku.
Kini, aku harus kembali fokus pada urusan keluarga dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Walaupun hatiku masih terluka, aku berusaha keras untuk tetap tegar demi keluargaku.
Bibik akhirnya memutuskan panggilan teleponnya, dan aku merasa tidak sabar untuk segera pergi ke rumah sakit menemui Mama.
Aku segera mengatakan pada Titin agar dia naik taksi ke kantor karena mobilnya akan aku gunakan untuk pergi ke rumah sakit.
Titin pun menyetujui saran itu, dan aku segera menyudahi makanan yang baru saja kusantap di restoran.
Dengan langkah cepat, aku berjalan menuju parkiran mobil, berharap dapat segera melihat keadaan Mama.
Setelah masuk ke dalam mobil, aku segera melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit tempat Mama dirawat.
Di dalam hati, aku berdoa agar kondisi Mama baik-baik saja dan tidak mengalami sesuatu yang serius.
Sesampainya di rumah sakit, aku bergegas menuju lantai tiga di mana Mama sedang mendapatkan perawatan. Dalam perjalanan, hatiku semakin cemas dan khawatir dengan kondisi Mama.
"Dokter!" seruku ketika melihat dokter menyebalkan keluar dari bangsal mama
Aku mendekatinya, berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan Mama saat ini.
***
dikit dikit nangis
dikit dikit nangis