"Buka hatimu untukku kak Praja," mohon Ardina Rezky Sofyan pada sang suami dengan penuh harap. Air matanya pun sejak tadi sudah menganak sungai di pipinya.
Pernikahan sudah berlangsung lama tapi sang suami belum juga memberinya kebahagiaan seperti yang ia inginkan.
"Namamu belum bisa menggantikan Prilya di hatiku. Jadi belajarlah untuk menikmati ini atau kamu pergi saja dari hidupku!" Balas Praja Wijaya tanpa perasaan sedikitpun. Ardina Rezky Sofyan menghapus airmatanya dengan hati perih.
Cukup sudah ia menghiba dan memohon bagaikan pengemis. Ia sudah tidak sabar lagi karena ia juga ingin bahagia.
Dan ketika ia menyerah dan tak mau berjuang lagi, akankah mata angin bisa berubah arah?
Ikuti perjalanan cinta Ardina Rezky Sofyan dan Praja Wijaya di sini ya😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bhebz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Sebuah Penolakan
"Ada apa ini?" tanya Maher Abdullah dengan emosi tertahan. Ia benar-benar sangat tidak nyaman melihat sebuah adegan di depan matanya, di mana Praja Wijaya seorang pengusaha muda, sukses, dan kaya raya berlutut dihadapan Ardina.
Praja Wijaya langsung berdiri dari posisinya. Ia menghadap Maher Abdullah kemudian berucap,
"Ardina adalah istriku pak Maher. Dan aku ingin ia kembali padaku." Praja menjawab seraya menatap Ardina yang membuang wajahnya ke arah lain.
"Bicara apa anda pak Praja? Ardina sudah lama menjanda dan akulah yang akan mendampinginya. Jadi tolong, anda bisa segera pergi dari sini."
"Aku tidak akan pergi jika bukan istriku sendiri yang mengatakannya. Ia sangat mencintaiku. Iyyakan Din?"
Pria itu meraih tangan perempuan berhijab itu tapi sayangnya langsung ditepis olehnya.
"Pergilah pak. Aku tidak ingin ada masalah di tempat ini."
"Din? Kamu mengusirku?" Praja melongo tak percaya.
"Iya, seperti aku yang tidak pernah kamu anggap selama ini. Jadi kumohon untuk memberiku privasi." Perempuan itu melipat tangannya di depan dadanya dengan mata berkaca-kaca.
"Nah, pak Praja dengar 'kan? Ardina saja tidak ingin bertemu lagi dengan anda. Jadi silahkan keluar dari sini."
"Maaf pak Maher, kami ini keluarga. Jadi anda tidak perlu ikut campur urusan kami." Praja tidak perduli dengan perkataan Maher Abdullah. Ia hanya ingin mendapatkan istrinya kembali.
"Heh, tentu saja saya perlu ikut campur. Ardina datang ke tempat ini bersama dengan saya, dia bawahan saya, dan juga dia juga calon istri saya. Anda yang seharusnya yang harus tahu diri."
Maher Abdullah tampak mengeraskan rahangnya karena mulai terpancing.
"Calon istri. Pak Maher tahu konsekuensinya mengatakan hal seperti itu pada istri orang hah? Itu pelanggaran pak!"
"Sudah! Semuanya silahkan keluar dari kamar ini. Tidak seorang pun diantara kalian yang punya hak untuk berada di area pribadi aku. Maaf pak Maher dan pak Praja. Pintu ada di sebelah sana," ujar Ardina seraya menunjuk pintu keluar.
Maher Abdullah langsung keluar dari kamar itu karena merasa sadar diri. Akan tetapi tidak bagi Praja Wijaya, ia harus berada disana karena ia punya hak pada istrinya itu.
"Din? Dimana cintamu yang dulu kamu bangsa-banggakan padaku. Aku sudah menyesal dan aku juga merindukanmu. Apa itu tidak cukup?"
"Pak Praja. Jangan permalukan diri anda sendiri. Silahkan anda pergi dari sini." Maher Abdullah menyahut dari arah pintu.
"Silahkan keluar pak Praja. Dan ya, kita sudah selesai. Aku sedang ingin beristirahat jadi silahkan keluar. Pintunya jangan lupa ditutup dari luar ya."
"Din?"
"Aku bisa memanggil pihak pengamanan hotel jika anda masih berada di sini. Dan ya, harga diri yang engkau bangsa-banggakan selama ini itu akan hancur. Jadi silahkan pergi dari tempat ini pak Praja."
Ardina tidak ingin lagi berdebat. Ia meninggalkan pria itu dengan hati teriris sakit. Airmatanya ia tahan sekuat tenaga untuk tidak tumpah menjebol pertahanannya.
Praja Wijaya menghela nafasnya. Ia tetap berada disana dengan perasaan rindu yang menggunung. Ia baru menyadari kalau ternyata sakit yang ia torehkan pada istrinya itu begitu sangat membekas dan sulit untuk disembuhkan.
Ardina menyusut airmatanya dan segera menghampiri makanan yang baru diantarkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu. Ia membuka kemasannya hingga membuat aroma makanan itu menguar ke seluruh ruangan.
Begitu sedap dan menggoda selera. Ia pun makan dengan bahu yang kadang bergetar menahan tangisnya. Dan hal itu tak lepas dari tatapan sendu dari Praja Wijaya.
Tangan pria itu mengepal. Rasanya ia sangat ingin kesana dan memberikannya pelukan tapi apa daya, Ardina ternyata belum juga mau memaafkannya.
Setidaknya, kamu sudah menikmati pemberianku Din. Aku mungkin akan melihatmu dari jauh saja, ujarnya membatin.
"Sadarilah sesuatu pak Praja. Ardina tidak ingin mengenalmu lagi yang mungkin telah memberinya banyak luka."
Praja Wijaya menatap pria itu yang ternyata masih berada di depan kamar Ardina.
"Dan, anda juga harus menyadari satu hal pak Maher, istri-istrimu sudah terlalu banyak di istanamu. Apakah itu belum cukup hah?!"
"Hahaha. Kalau aku mampu membahagiakan mereka kenapa tidak? Ardina akan menjadi ratu di istanaku. Jadi, ikhlaskan saja sekretarisku itu melayaniku sampai ke hal yang sangat pribadi!"
Bugh
Praja Wijaya tak sadar langsung memberikan satu pukulan telak pada perut pria paruh baya itu.
"Jaga mulutmu pak Maher! Ardinaku tak akan pernah kuserahkan pada siapapun. Dia adalah milikku yang sudah diikat oleh Tuhan denganku."
"Hahaha! Pria pecundang. Rencana kerja sama kita batal!" Maher langsung meninggalkan Praja dengan perasaan yang sangat marah.
"Terserah! Aku tidak peduli brengsek!"
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Like dan komentarnya dong 🤭
Ada bunga, ada Kopi, ada update 😂