Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Demi Kenangan
Senja sudah lama berganti malam saat Tari pulang ke rumahnya. Langit mendung sejak sore, dan kini gerimis tipis mulai jatuh membasahi halaman depan. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan basah trotoar, menciptakan kilau kekuningan yang sendu.
Begitu memasuki rumah, Tari menaruh payung di pojok rak dan meletakkan jaketnya di gantungan dinding. Ia merasa lelah, bukan karena tubuhnya—tapi pikirannya yang terlalu penuh sejak kemarin.
Langkah Tari langsung menuju meja kerja kecil di sudut ruang tengah. Di sana, laptop tua yang menjadi pusat operasional Toko Bunga Dara dibiarkan menyala dalam mode sleep. Ia menarik napas panjang, lalu membuka laptop itu dan mulai memeriksa email. Seperti biasa, ada beberapa pesanan untuk minggu depan dan pertanyaan dari pelanggan. Tapi di antara itu semua, ada dua email yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Email pertama dari supplier utamanya di Lembang:
Subject: PERMINTAAN DITOLAK
“Kami mohon maaf, namun karena belum adanya pelunasan dari pesanan bulan lalu, kami tidak bisa memproses permintaan mawar putih dan bunga hydrangea Anda untuk minggu depan. Terima kasih atas pengertiannya.”
Email kedua dari penyedia dekorasi langganannya:
Subject: TAGIHAN JATUH TEMPO – PENGINGAT KEDUA
“Dengan hormat, kami mengingatkan bahwa tagihan No. 110235 untuk rangkaian wedding bulan lalu belum dilunasi. Mohon konfirmasi dalam 3x24 jam.”
Tari menutup laptop perlahan, menatap kosong ke arah tembok.
Ini nyata. Masalah keuangan yang selama ini ia tolak akui dengan segala kedegilannya, kini benar-benar menghantamnya seperti gelombang laut yang besar.
Ia bangkit, meraih sweater tipis, dan melangkah keluar. Paviliun toko bunganya yang bersebelahan dengan rumah masih gelap, tapi Tari membuka kunci pintu dan menyalakan satu lampu di dalamnya. Ia masuk ke dalam, sendirian, hanya ditemani gemericik hujan dan aroma bunga segar yang masih menggantung di udara.
Lampu gantung tua menyinari meja kerja utama dan rak-rak yang dipenuhi pot dan vas dari berbagai warna dan ukuran. Sudut-sudut toko penuh kenangan: tumpukan kartu ucapan yang dipesan pelanggan, pita-pita sisa pesta, dan foto-foto kecil dekorasi yang pernah ia buat.
Tari berdiri di tengah ruangan. Menatap semua bunga yang perlahan mulai layu karena stok yang tak sempat diperbaharui. Tangannya menyentuh kelopak mawar yang mulai menghitam di ujungnya. Rasanya seperti menyentuh hatinya sendiri—lelah, layu, tapi masih berjuang untuk tetap mekar.
Di sinilah ia selalu merasa paling hidup. Di antara kelopak bunga dan gunting pita, di antara bau tanah dan suara langkah pelanggan. Namun sekarang, toko ini seperti kapal kecil yang perlahan karam, dan ia hanya bisa menonton dari atas dek.
Tiba-tiba, pikirannya ditarik kembali ke masa lalu.
......................
Lima belas tahun lalu.
Tari kecil, mengenakan kaus bergambar kelinci dan celana pendek lusuh. Tangannya menggenggam erat tangan ayahnya saat mereka menyusuri jalan setapak di sebuah taman bunga di pinggiran kota.
“Tari suka yang mana?” tanya sang ayah sambil menunduk, tersenyum lebar.
“Yang ungu! Itu apa namanya, Yah?”
“Itu lavender,” jawab ayahnya. “Wangi banget, ya?”
Tari mengangguk dengan mata berbinar. Ia berlari-lari kecil di antara barisan bunga, lalu kembali ke pelukan ayahnya.
“Ayah, kenapa bunga bisa bikin orang senang?”
Ayahnya tertawa kecil. “Karena bunga itu jujur. Dia mekar kalau bahagia, layu kalau sedih. Dan dia nggak pernah pura-pura.”
Tari menatap bunga di tangannya. “Tari suka bunga. Nanti gede, Tari mau kerja di tempat yang ada bunga terus.”
Ayahnya mengangguk, lalu menatap anak perempuannya dengan mata yang penuh kasih. “Lakukan apa yang kamu sukai dalam hidupmu, Nak. Seperti ayah. Seperti ibumu dulu. Jangan menyesal.”
Momen itu tertanam kuat di ingatan Tari. Bahkan setelah ayahnya meninggal setahun kemudian karena kecelakaan kerja, kalimat itu selalu mengikutinya. Menjadi kompas dalam hidupnya. Ia percaya bahwa selama ia menjalani hidup dengan cinta, maka semuanya akan baik-baik saja.
Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
......................
Tari kembali duduk di bangku kayu dekat jendela toko. Lampu di luar sudah dipadamkan semua, hanya lampu kecil di dalam yang masih menyala lembut.
Toko ini adalah warisan terakhir dari ayahnya. Bukan secara fisik, karena bangunan ini dulunya adalah rumah tua milik keluarga neneknya. Tapi semangatnya, jiwa dari Toko Bunga Dara, berasal dari taman bunga di masa kecil itu.
Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Tari merasa cinta saja tidak cukup.
Ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya mulai dingin. Kepalanya menunduk, dan tanpa sadar, air mata jatuh satu per satu. Ia tidak menangis kencang. Hanya diam, tapi dadanya seperti diremas. Hujan di luar terus turun, seperti ikut merasakan kesedihannya.
Bagaimana bisa semua terasa begitu berat?
Di tengah gelap dan dingin malam itu, Tari tak sadar kapan matanya tertutup. Ia tertidur di atas meja kerja, dengan kepala bertumpu di lengan, dikelilingi aroma bunga yang kini seperti pelukan terakhir dari hidup yang ia kenal.
Pagi menjelang, dan sinar matahari pelan-pelan menembus tirai jendela toko. Tari terbangun perlahan, lehernya pegal dan tubuhnya kaku. Ia memandang sekeliling. Ruangan itu masih sama. Meja, bunga, dan tumpukan pesanan yang belum ia kerjakan. Tapi ada satu hal berbeda pagi ini.
Keputusan.
Ia bangkit, menyalakan air untuk membuat kopi, lalu memasukan nomor Tirtamarta-yang sepertinya dipegang asistennya- di ponselnya, Ia lalu mendraft sebuah pesan.
Tari Sukma Dara :
Selamat Pagi Bu Tirtamarta,
Saya harap anda sehat. Saya telah memikirkan semuanya dengan matang.Saya menerima tawaran Ibu. Saya ingin menemukan bagian lain dari diri saya yang belum pernah saya kenal.
Setelah tombol “pesawat” ditekan, Tari duduk diam.
Ia memandang toko bunga kecilnya yang masih sunyi. Semua akan berubah.
Tapi ia tahu, untuk menyelamatkan tempat yang ia cintai… ia harus berani meninggalkannya sejenak. Dan mungkin… itulah makna sesungguhnya dari mencintai sesuatu dengan sepenuh hati.