Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
Suasana sekolah seolah berubah menjadi hutan sunyi penuh mata-mata. Sejak surat peringatan itu keluar, semua gerak-gerik Nala, Raka, Dita, dan Juno diawasi. Mereka bukan lagi murid biasa. Mereka seperti tokoh dalam cerita yang setengah dibenci, setengah dikagumi. Beberapa teman mendekat diam-diam, memberi semangat tanpa suara. Tapi lebih banyak yang menjauh, takut tertular masalah.
Setiap mereka berjalan di koridor, suara-suara berbisik mengikuti dari belakang.
“Eh itu mereka, yang bikin podcast itu.”
“Berani banget ya, ngelawan sekolah sendiri.”
“Katanya sih gara-gara mereka, sekolah kita diawasin dinas.”
“Bikin malu aja.”
Nala sudah terbiasa dengan omongan-omongan seperti itu, tapi tetap saja, hati kecilnya terluka. Ia bukan ingin mencari masalah. Mereka hanya ingin bicara. Ingin generasi mereka punya ruang untuk jujur, untuk bernapas. Tapi yang mereka dapat justru label-label menyakitkan: pembangkang, pemberontak, kurang ajar.
Di ruang kelas, mereka tidak lagi diperlakukan sebagai siswa biasa. Guru-guru mengajar seolah mereka transparan, tak terlihat. Bahkan ketika Nala mengangkat tangan untuk bertanya, beberapa guru pura-pura tidak melihat.
Hari itu, Bu Yanti — guru Bahasa Indonesia yang biasanya lembut — tiba-tiba menyindir di tengah pelajaran.
“Kita harus tahu batas ketika menyampaikan pendapat. Jangan sampai kebebasan berbicara dipakai untuk menjatuhkan orang lain,” ucapnya, tanpa menyebut nama siapa pun. Tapi semua mata di kelas langsung menoleh ke arah Nala dan teman-temannya.
Juno mengepalkan tangan di bawah meja. Raka menunduk dalam-dalam. Sementara Dita hanya menghela napas pelan.
Setelah pelajaran, mereka bertemu lagi di ruang podcast kecil yang kini mereka jaga seperti markas rahasia.
“Jadi, ini harga yang harus kita bayar?” ujar Raka sambil menjatuhkan tasnya ke lantai.
“Kata mereka, kita kurang ajar,” sambung Juno, suaranya lirih tapi dalam.
Dita melipat tangannya, “Aku muak. Mereka cuma tahu permukaannya. Mereka nggak tahu gimana rasanya jadi kita.”
Nala menatap satu persatu, lalu berkata, “Kalau kita menyerah sekarang, mereka benar. Mereka akan pikir kita salah dari awal.”
Senyap.
“Kalau gitu, kita lanjut,” kata Raka akhirnya.
“Kita terus bicara. Karena diam, justru lebih menyakitkan,” balas Juno.
---
Beberapa hari kemudian, salah satu video potongan podcast mereka viral di TikTok. Bukan unggahan resmi mereka. Tapi seorang siswa dari sekolah lain mengambil potongan klip saat Nala berkata:
“Sekolah seharusnya tempat tumbuh, bukan tempat tunduk.”
Komentar mengalir seperti banjir yang tak bisa dibendung.
> “Ini anak-anak kurang ajar banget.”
“Udah dikasih sekolah gratis, malah ngelawan.”
“Coba aja sekolah di luar negeri, pasti tahu bersyukur.”
“Tapi... gue setuju juga sih, kadang sekolah nggak ngerti kita.”
Satu sisi menghujat. Sisi lain mendukung. Tapi yang paling menyakitkan adalah komentar dari orang dewasa yang menyamakan mereka dengan generasi “baperan, manja, nggak tahu sopan santun.”
Nala membaca semua komentar itu malam-malam, di layar ponselnya yang retak. Ia merasa seperti dihantam ribuan suara sekaligus. Suara-suara yang tak mencoba mengerti, hanya ingin membungkam.
“Kenapa selalu kita yang salah karena berani bicara?” gumamnya lirih.
---
Keesokan harinya, mereka dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Pak Yanuar.
Ruangannya tidak terlalu besar, tapi selalu terasa mencekam. Di dindingnya tergantung kutipan besar:
"Disiplin adalah jembatan antara tujuan dan pencapaian."
Pak Yanuar menatap mereka tajam.
“Kalian tahu, sekarang nama sekolah ini dibicarakan di media sosial karena kalian. Apa kalian bangga dengan itu?”
Raka menatap lurus, “Kami tidak bermaksud mempermalukan sekolah. Kami hanya ingin... didengar.”
“Dengan membuat podcast yang menyudutkan guru?” potong Pak Yanuar.
“Yang kami sampaikan itu kenyataan yang kami alami,” jawab Dita cepat.
Pak Yanuar mengetuk meja pelan.
“Kenyataan atau tidak, ada cara untuk menyampaikannya. Kalian bukan jurnalis. Kalian murid. Dan murid seharusnya tahu posisi.”
Nala tidak tahan.
“Kalau murid hanya diam dan mengikuti semua, apa itu namanya pendidikan?”
Pak Yanuar terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Kalian harus berhenti sekarang. Jika masih melanjutkan podcast, konsekuensinya tidak akan sesederhana surat peringatan.”
“Apakah kami akan dikeluarkan?” tanya Juno, tenang tapi tajam.
Pak Yanuar tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka satu per satu. Tatapan yang cukup untuk membuat mereka tahu: ini serius.
---
Malam itu, mereka duduk di warung kopi kecil dekat sekolah.
Dita membuka obrolan, “Kalau mereka keluarkan kita… apa itu artinya kita kalah?”
Raka menggeleng. “Kita kalah kalau kita berhenti percaya sama suara kita.”
“Apa kita lanjut?” tanya Juno.
Nala menatap mereka semua.
“Ya. Karena mereka boleh bilang kita kurang ajar. Tapi kita tahu, kita hanya sedang mencoba jadi manusia.”
---
Di episode podcast berikutnya, mereka bicara tanpa sensor. Tanpa takut.
“Generasi kami lelah dijelaskan tapi tidak dipahami. Kami tidak kurang ajar. Kami hanya ingin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya,” ucap Nala di pembukaan.
Dita menyambung, “Kalau bicara jujur itu disebut melawan, maka sistem pendidikan ini memang sudah butuh dikaji ulang.”
Juno dan Raka melanjutkan dengan kisah nyata dari teman-teman mereka yang merasa tertekan, tidak didengar, dan dipaksa menjadi robot nilai.
Dan kali ini, mereka menutup podcast dengan satu kalimat yang membuat siapa pun yang mendengarkan merasa ditampar:
"Kalian boleh memaksa kami diam. Tapi kata-kata kami akan terus tinggal di kepala kalian."
---
Beberapa hari setelahnya, media lokal meliput podcast mereka. Artikel berjudul “Sekelompok Siswa SMA Bicara Tentang Pendidikan: Kurang Ajar atau Jujur?” tersebar di Twitter dan Instagram.
Orang-orang dewasa mulai terbagi dua kubu.
Ada yang mendukung:
> “Anak-anak ini berani. Kita dulu nggak punya ruang seperti mereka.”
“Inilah pendidikan yang sejati mengajarkan anak berpikir kritis.”
Tapi tentu saja, ada yang tetap menyalahkan:
> “Sekolah sekarang gagal membentuk generasi yang patuh.”
“Kalau semua murid begini, negara ini hancur.”
---
Meski hujatan terus datang, semangat mereka justru semakin kuat. Mereka mulai menerima pesan dari siswa-siswa lain di berbagai kota. Cerita tentang guru yang tidak adil, sistem yang menekan, mimpi yang dikerdilkan.
Dari balik layar, mereka sadar: suara mereka bukan hanya milik mereka sendiri. Ini sudah menjadi suara kolektif.
Di akhir minggu itu, mereka kembali ke ruang podcast. Nala duduk di kursinya, menatap mikrofon, lalu berkata:
“Kalau kata mereka kita kurang ajar, maka biarkan kami menjadi generasi yang kurang ajar. Karena sopan santun yang hanya berarti tunduk, bukanlah nilai yang patut diwariskan.”
Mereka semua terdiam sejenak setelah rekaman berhenti.
Juno tersenyum, “Kita mungkin sedang membuat sejarah.”
Raka tertawa kecil, “Atau sedang mengukir pelanggaran besar.”
Dita menatap langit-langit, lalu bergumam,
“Apapun itu... kita tidak akan lagi jadi generasi yang gagal paham.”