Hidup yatim piatu dan dibesarkan oleh ayah angkatnya. Jia Grietha sangat berharap bisa hidup dengan baik, tetapi pria pemabuk dan kasar itu membawanya ke meja perjudian.
Dari parasnya yang cantik dan bodinya yang seksi, membuat semua orang selalu terpikat. Terutama Gara Harveyd langsung tertarik pada pandangan pertama. Pewaris yang sombong dari keluarga Harveyd yang terkenal kaya raya di kota.
Saat melihat Jia, Gara pun secepatnya membawa pulang gadis itu dengan harga satu milyar. Awalnya, Jia mengira Gara adalah penolongnya, akan tetapi ia makin jatuh ke dalam jurang yang berduri.
Bukannya diberi kebebasan, Jia dijadikan istri rahasia untuk pemu4s naffsunya semata. Setiap saat harus patuh apabila Gara meminta jatahnya. Jia benar-benar tidak tahu lagi langkah apa yang harus diambil untuk mengakhiri hubungannya dengan Gara yang ingin menikahi wanita lain juga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asti Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Bersama Juan
"Kenapa tidak kau makan sotonya?" lirik Gara yang duduk di depan Jia.
"Itu, apa tuan tidak masalah kalau makan di tepi jalan begini?" tanya Jia sedikit bisik-bisik. Pasalnya, Jia pikir Gara mau ke restoran mewah, tapi ternyata malah dibawa ke kedai pinggir jalan. Apalagi tempatnya agak ramai dikunjungi orang tua dan anak-anak pinggiran.
"Tidaklah, ini tidak masalah bagiku," ucap Gara lalu makan santai dan sesekali melahap satenya di piring lain. 'Hm, selera tuan Gara memang agak beda, dia tidak terlalu peduli kualitas rasa masakan, yang penting masakan ini sudah cocok di mulutnya,' batin Jia merasa Gara tidak pilih-pilih makanan.
"Tapi kalau ada yang melihat kita di sini, nanti tuan bisa masuk berita," kata Jia mulai menyantap sotonya.
"Hahaha, jadi itu yang kau pikirkan?" tawa Gara yang memakai topi supaya orang-orang tidak mengenalnya.
"Ya, aku kan baru pertama kali makan berdua bareng tuan di tempat umum seperti ini," ucap Jia gugup.
"Bodoh, jangan pikirkan itu lagi, mending habiskan sotomu," marah Gara menunjuk.
"Baik," angguk Jia pun patuh.
Saat Jia mau menyeruput kuahnya, tiba-tiba dua anak kembar menghampiri Gara dan Jia. Keduanya senyum-senyum di sebelah Jia.
"Hei, kenapa kalian berdiri di situ?" Tatap Gara sedikit risih melihat dua anak laki-laki itu mau melengket ke Jia.
"Ih, om galak sekali, kami kan cuma lihat kakak cantik," puji mereka ke Jia.
"Hehe, terima kasih, kalian juga tampan dan menggemaskan," balas Jia tersenyum manis. Gara cemberut mendengar pujian itu keluar dari mulut Jia.
'Ck, aku juga tampan dan manis kok,' celetuk Gara dalam hati sambil mengunyah sotonya dengan tidak karuan.
"Hush, sana, kembali ke orang tua kalian!" usir Gara setengah bentak.
"Tuan, jangan begitu, mereka masih anak-anak, tolong lembut sedikit saja," ucap Jia membelai kepala dua anak itu. Gara semakin cemberut dan kesal melihat Jia main-main sentuh mereka.
"Ya tuh, om galak banget sih!" cetus mereka.
"Bodo amat," balas Gara ketus.
"Kakak, kenapa kau jalan sama om galak ini?" Tunjuk anak pertama.
"Ya tuh, mending kakak cari suami lain saja," sambung anak kedua. Jia dan Gara tersentak bersama disebut pasangan suami istri. Keduanya sama-sama tersipu dan berpaling muka.
"Wkwk, wajah om kok merah begitu?" tawa mereka menunjuk Gara. Gara membuka dompetnya, lalu memberikan dua lembar uang ke anak-anak itu.
"Sudah, jangan ganggu kami, nih ambil terus pergi ke tempat kalian semula," senyum Gara memberi uang.
"Wih, galak-galak tapi om ternyata baik," puji mereka menerima hadiah Gara.
"Hehe, terima kasih om." Lompat mereka senang lalu melihat Jia. "Kakak, tadi ucapan kami tidak usah didengar, tidak perlu cari suami lain, dan semoga kak dan om galak cepat-cepat punya anak kembar seperti kami," ucap mereka cengengesan.
"Haha, kalian ini banyak bicara ya, mau om bawa ke rumah?" tatap Gara melotot.
"Ahh, om tampan tapi serem, kabur!" pekik mereka lari meninggalkan Gara dan Jia yang dari tadi diam akibat ucapan anak-anak itu.
"Hei, jangan pikirkan kata-kata mereka, habiskan saja sotomu," perintah Gara.
"Baik, tuan." Angguk Jia patuh dan makan.
"Anak kembar? Ck, itu mustahil," decak Gara tidak peduli ucapan mereka. Sedangkan Jia diam-diam memegang perutnya lalu melirik Gara yang asik makan. 'Apa suatu saat nanti, aku bisa jadi seorang Ibu?' batin Jia mulai membayangkan dirinya hamil. Entah itu bayi Gara atau orang lain nanti, yang jelas Jia ingin juga menjadi seorang Ibu.
Usai membayar makanan, Jia dan Gara jalan berdua di pinggir jalan kota menuju ke tempat mobil terparkir.
"Tuan, terima kasih sudah membawa ku makan di tempat tadi," lirih Jia agak gugup duduk di sebelah Gara. "Hmm," dehem Gara singkat lalu menyalakan mesin dan mulai menyetir pergi dari jalan itu.
"Tuan, malam ini mau bermalam di rumah?" tanya Jia memecah keheningan di dalam mobil. Sekali lagi, Gara cuma mendehem. Jia pun diam dan tidak bertanya lagi. Jia merasa Gara sedang tidak mau diganggu. 'Apa besok saja aku bilangnya?' batin Jia dan memejamkan mata.
"Bagaimana kaki dan tanganmu? Sudah membaik?" tanya Gara tanpa menoleh. Yang ditanya malah tidak menjawab, membuat Gara pun menengok Jia.
"Eh, cepat sekali dia tidur," kaget Gara baru sadar Jia sudah tidur di sebelahnya. Gara pun menepikan mobilnya sebentar, lalu membuka jaketnya kemudian menyelimuti Jia. Sekilas matanya melihat bekas pergelangan tangan dan kaki Jia yang masih lebam. Pria itu pun menatap datar Jia lalu menghembuskan nafas berat.
"Sial, kenapa aku jadi bersalah begini sih!" gerutu Gara kembali menyetir dan sesekali melirik Jia. "Argh, menyebalkan." Gara kesal, perasaannya agak aneh malam ini. Sampai di rumah, pria itu pun membawa Jia ke dalam, lalu dengan hati-hati membaringkan Jia ke tempat tidur.
"Sudah pukul sepuluh, sepertinya aku tidur saja di sini." Gara mengganti pakaiannya, memakai piyama dan melihat jam dinding. "Ck, aku tidak peduli dengan wanita yang satu itu." Gara naik ke ranjang, ogah memikirkan Celin. Ia sekarang lebih memilih tidur dan memandang wajah cantik Jia yang tertidur pulas. Beberapa menit kemudian, Gara memejamkan mata dan ikut tertidur. Pria itu pun nampak tidak memikirkan ucapan yang ingin didengar dari Jia, begitupun Jia nampak lupa mengatakan itu.
Sementara di rumah Harveyd, pembantu Ann masih terjaga dan mondar mandi sendirian, ia memikirkan Celin dan Gara yang belum kunjung pulang.
"Apakah nyonya dan tuan muda kembali tidur di hotel?" Pikir Ann lalu menghela nafas panjang.
"Lebih baik, aku biarkan dulu malam ini, kalau besok mereka belum pulang, aku harus melapor ke tuan Marvin." Ann pun menyerah dan pergi tidur. Memang malam ini Celin tidak pulang ke sana, karena wanita itu sedang menikmati tidurnya bersama Juan.
Pria berkulit sawo matang, dan punya lesung pipi di kanan itu, ia belum tidur dan sedang dipeluk Celin di atas ranjang yang sama. Dengan lembut, ia membelai rambut Celin yang sedang tertidur nyenyak.
"Maaf, Celin, aku sudah membuatmu menderita,"
"Mulai sekarang, aku akan cari cara agar kau tidak terikat lagi dengan keluarga Harveyd."
"Tapi sebelum itu, aku harus memastikan orang-orang yang mau membunuhku tidak ada lagi, agar kelak kau tidak ikut ke dalam masalahku."
Juan mengecup kening Celin, memeluknya erat.