NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 10

Ratna yang melihat rombongan guru memakai batik Korpri langsung mengerenyitkan dahi. Ada senyum kecil yang tersungging—senyum puas karena rencananya berjalan. namun wajahnya kembali merengut.

“Mahira harus tersingkir dan terpojokkan di tempat dia bekerja… aku nggak suka dia hidup bahagia,”tekad Ratna dalam hatinya, keras dan dingin.

Rombongan guru mendekat ke pelaminan.

“Maafkan Mahira ya, Bu…” ucap Bu Rukmini dengan suara sendu, menatap Ratna penuh empati.

“Iya, Bu… sabar ya,” sambung Bu Wiwin.

Mereka bergeser ke arah Ratna dan Rangga.

Ratna tampak menyeka air matanya pelan. Air mata yang tampak tulus… namun penuh kepalsuan.

“Terima kasih sudah berkenan datang,” lirih Ratna.

“Ya ampun… kamu masih sangat muda, Nak. Semoga ini keputusan terbaik buat kamu,” ucap Bu Fany simpati, memeluk Ratna erat.

Kali ini Ratna benar-benar menangis di pelukan Bu Fany.

“Maafin Kak Mahira ya, Bu… Tolong jangan dipojokkan dia. Walau perbuatannya bikin saya berat hati, tapi saya ikhlas, Bu. Daripada keluarga saya hancur…” ucap Ratna lirih seakan menanggung beban besar.

“Yang sabar ya… yakin saja ini takdir Allah yang paling baik,” balas Bu Fany lembut.

Satu per satu rombongan guru menyalami Ratna dan Rangga. Semuanya pulang dengan hati penuh tanya, penuh kasihan, dan penuh dugaan tentang Mahira.

Mata Bu Rukmini berbinar melihat banyaknya hadiah dan amplop yang dimasukkan ke kotak uang kondangan. Senyumnya sulit disembunyikan.

Setelah makan-makan, rombongan guru meninggalkan tempat resepsi dengan pikiran yang sama:

Bagaimana mungkin Mahira tega melakukan semua ini?

Sementara itu, di kontrakan Doni—tempat Mahira sekarang tinggal—Mahira mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya mengabur sebentar sebelum akhirnya terang. Ia mengucek matanya pelan.

“Astaga… aku kok ada di sini?” gumamnya bingung.

Ia mengingat-ingat. “Bukannya tadi aku tidur di ruang tengah habis salat subuh?”

Mata Mahira tiba-tiba membulat. Ia memegang-megang tubuhnya cepat, panik. Lalu mengintip ke bagian sensitifnya sekilas.

“Ah… masih aman,” ucapnya lega sambil menghembuskan napas panjang.

“Syukurlah… dia cuma mindahin aku. Nggak ngapa-ngapain.”

Ia meraih ponselnya, menekannya.

“Ah mati lagi… kenapa sih gampang lowbat,” gerutu Mahira.

Ia bangkit, mengambil charger dari ransel, lalu menuju nakas untuk menancapkan charger. Saat meletakkan HP, matanya menangkap tumpukan kunci dan selembar kertas terlipat rapi.

Mahira membuka kertas itu. Senyumnya muncul tanpa sadar.

“Kayak diukir gini tulisannya… rapi banget,” kagumnya lirih. Tulisan tangan Doni memang indah.

Ia mulai membaca.

“Dear istriku cantik walau tidurnya ngorok,”

Mahira spontan mendengus sambil tersenyum.

“Cih, pede banget lu… nyebut gue istri.”

Ia lanjut membaca.

“Aku keluar rumah dulu selama dua hari, ada urusan mendadak. Mau izin sama kamu tapi kamu sudah tidur.”

“Heran gue… nulis pake bahasa formal, ngomong aslinya jeplak-jepluk,” komentar Mahira sambil mengerutkan hidung.

Ia lanjut.

“Aku mengizinkan kamu keluar rumah. Silakan beraktivitas. Tapi kabari aku ya. Tulis saja di secarik surat—kamu ke mana dan pulang kapan. Jangan sampai nggak ngabarin. Suami kamu ini bisa khawatir.”

Mahira tersenyum geli, pipinya sedikit merona.

Ia membaca lagi.

“Pintu depan aku kunci. Pintu kamar juga aku kunci. Aku takut ada pria gendut botak berewokan masuk ke kamar. Kunci aku taruh di nakas.”

Mahira langsung tertawa ngakak.

“Perhatian juga dia… norak tapi lucu.”

Lalu lanjut.

“Di kulkas ada banyak bahan makanan. Kamu masak aja sendiri ya. Habisin semua, jangan sungkan. Oh, tadi pagi aku sudah masak. Dimakan ya, biar sehat dan kuat.”

Mahira tersenyum lagi, kali ini lebih lembut.

Terakhir, ia membaca:

“Tenang, sayang. Aku cuma dua hari. Nanti kita ketemu lagi. Kamu pasti kangen sama aku.”

“Sampai sini dulu… I love you, istriku.”

Ttd: suamimu.”

Mahira menatap surat itu lama. Pipinya merona, hatinya terasa hangat.

“Yah… norak, bawel, tapi… manis juga sih,” bisiknya sembari tersenyum kecil.

Ia melipat kertas itu rapi, mengambil kunci, lalu melangkah menuju pintu. Begitu membukanya, ia mengedarkan pandangan ke ruang tengah. Senyumnya kembali muncul.

“Rapih dan wangi juga kontrakannya,” gumamnya kagum.

Mahira melangkah ke dapur. Ia tercengang—dapur itu begitu bersih, seolah tak pernah dipakai memasak.

Ia menuju meja makan dan membuka tudung saji. Aroma ayam sambal hijau langsung menyeruak, ditambah wangi sayur bayam, bakwan, dan tempe goreng.

“Hmm… tampilannya menggoda, tapi aku nggak yakin rasanya,” katanya ragu.

Ia duduk, mengambil piring, menaruh nasi, lalu mengambil paha ayam. Begitu gigitan pertama masuk ke mulutnya, Mahira terbelalak.

“Wow, enak juga!” serunya pelan, kemudian makan dengan lahap.

Selesai makan, ia membereskan meja dan mencuci piring. Saat membuka kulkas, matanya berbinar—penuh bahan makanan, buah-buahan, dan sayuran segar.

Mahira kembali ke kamar. Perut kenyang membuat matanya semakin mengantuk. Ia menuju nakas, mengambil ponsel, lalu menyalakannya. Aplikasi WhatsApp langsung penuh notifikasi.

“Ibu di mana?”

pesan dari Pak Yanto.

Mahira menghela napas. “Pasti mereka kaget pengantinnya diganti.”

Pesan lain masuk.

“Bu Mahira, kok nggak jadi pengantin?” dari Bu Fani.

Mahira belum siap membalas. Namun hatinya sedikit lega—ternyata masih banyak yang peduli pada dirinya.

Ia membuka Facebook. Detik berikutnya, napas Mahira tercekat. Namanya sedang viral, jadi bahan perbincangan. Sebuah akun bernama anto224 sedang melakukan siaran langsung.

Mahira terdiam menatap layar. Tidak bisa ia pungkiri, hatinya terasa perih. Seharusnya pernikahan itu miliknya. Sebagian besar dana hajatan memakai uangnya, sementara keluarga Rangga hanya menyumbang sedikit.

Rasa sakitnya makin menusuk saat Anto menghujat dirinya dan menyuruhnya meminta maaf kepada keluarga, terutama Ratna.

“Kalian tega…” isaknya lirih.

“Kalian kenal aku dari kecil… Saat kamu kesulitan bayar kuliah, siapa yang bantu, Anto…” gumamnya. Ia hampir menuliskan komentar itu, tetapi mengurungkannya. Ia tidak ingin memicu masalah lebih besar.

Mahira membuka kolom komentar.

Ratusan akun menyerangnya membabi buta.

Tagar-tagar seperti #MahiraBiangOnar, #MahiraKawinLari, #MahiraBikinMalu memenuhi layar.

Bahkan ada tagar memuja Ratna: #TerimaKasihRatna.

Air mata Mahira jatuh deras.

Semalam ia sudah dihujat di grup keluarga, kini ia dipermalukan di media sosial.

Ingin sekali ia membanting ponsel itu. Namun ia menghela napas panjang.

“Ini ponsel pemberian Ibu…” bisiknya.

Ia memeluk ponselnya—ponsel jadul yang sudah menemaninya enam tahun.

“Ibu…” isaknya semakin keras.

“Tidak ada satu pun yang mengerti aku… Semua orang menghakimi tanpa pernah mencari tahu,” tangisnya pecah. Sesenggukan memenuhi kamar.

Mahira bangkit. Keinginan untuk merusak barang di kamar menggelora. Namun ia berhenti.

“Doni pasti marah kalau kamarnya berantakan,” gumamnya akhirnya mengurungkan niat.

Ia keluar kamar. Ada dorongan aneh untuk bertengkar dengan siapa pun demi melampiaskan amarahnya.

Namun yang ia lakukan justru berjalan ke kulkas. Ia mengambil beberapa apel dan memasukkannya ke keranjang. Lalu melangkah ke ruang tengah, menyalakan televisi, dan menatap layar yang menampilkan film SpongeBob.

Matanya ke televisi, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.

Satu per satu apel masuk ke perutnya, tanpa sadar.

Sampai tidak ada yang tersisa—satu keranjang apel habis dilahapnya.

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!