Spin off Novel Terpaksa Menikahi Waria Tampan
Setelah melewati hari-hari bersama Rian, timbullah perasaan cinta terhadapnya. Masa lalu Rian yang adalah seorang waria, sudah tidak dipedulikan Alya lagi. Namun, banyak orang-orang di sekitar Alya yang akan menjatuhkan dirinya, karena mengetahui masa lalu Rian. Karirnya sebagai seorang artis terancam, akankah Alya bisa menghadapi semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EsKobok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan
“Ah, makanya harus sungguh-sungguh latihannya sekarang,” seloroh Alya, membuat Rian tersenyum dengan tetap memeluk Alya dengan erat.
“Ya ... bisa aja sih sungguh-sungguh. Kalau gak ada si kutu kupret Morgan,” sahut Rian, membuat Alya menghela napasnya dengan panjang.
“Ngomong-ngomong, lo udah gak marah lagi sama gue?” tanya Alya, Rian menggelengkan kepalanya.
“Tendangan tadi udah cukup bikin gue puas,” jawab Rian yang terdengar asal, membuat Alya memandangnya dengan bingung.
“Jadi sekarang, kalau kesel main pukul aja gitu?” tanya Alya, Rian pun memandangnya juga.
“Tergantung, sama siapa orangnya.”
Alis matanya menyungging sebelah, “Kalau keselnya sama gue?” tanya Alya, memastikan keadaan.
Rian merengkuh erat tubuh Alya, “Kalau keselnya sama lo, cukup dinding aja yang dipukul. Lo jangan,” jawabnya, membuat Alya tersenyum mendengarnya.
Ucapan Rian sangat romantis, membuat Alya senyum-senyum sendiri mendengarnya.
Namun, kesadarannya seketika kembali, membuat Alya memandangnya dengan sinis.
“Yah nanti tembok gue retak, gimana? Terus kalau bangunannya roboh gimana?” tanya Alya sinis, membuat Rian tergelak mendengarnya.
Tangannya menyentuh lembut hidung Alya, “Harusnya khawatirkan tangan suaminya, bukan tembok,” godanya, membuat wajah Alya seketika merona mendengarnya.
Mendengar ucapan Rian, Alya jadi teringat dengan hal itu. Matanya membulat besar, tangannya segera meraih tangan kanan Rian, yang terlihat sudah lecet dan memar akibat semalam menghajar dinding kamarnya.
“Tangan lo ....” Alya memandang ke arah wajah Rian dengan sangat khawatir, membuat Rian tersenyum melihatnya.
“Gak apa-apa. Udah gue kasih obat merah semalem. Besok juga sembuh,” ujar Rian, membuat Alya semakin merasa bersalah dengannya.
Karena dirinya, Rian menjadi emosi dan tak tentu arah seperti itu.
“Maaf ya,” gumam Alya lirih, Rian tersenyum simpul mendengarnya.
“Gak apa-apa. Gue kalau marah gak bisa lama. Cuma sekadar meluapkan emosi aja,” ujarnya, Alya mengangguk kecil tanda ia mengerti dengan ucapan Rian.
Alya memandang ke arah Rian, “Ya udah, gue mau mandi dulu. Gak betah,” ujarnya.
Rian menyunggingkan senyumannya dan mulai menggoda Alya, “Mau mandi bareng, gak?” tawarnya, sontak membuat Alya menoyor wajahnya cukup keras.
“Dasar mesum!” bentak Alya, yang langsung meninggalkan Rian di sana.
Rian hanya tergelak, mendengar Alya membentaknya demikian. Ia memandang kepergian Alya ke arah kamarnya, dengan pandangannya yang berusaha menggoda Alya.
Sesekali Alya menoleh ke arah Rian, membuatnya tak bisa menahan senyumannya.
“Apa sih? Gak jelas,” gumam lirih Alya, yang masih terdengar jelas oleh Rian.
Rian tertawa kecil, sembari melihat Alya yang sudah menutup pintu kamarnya dengan rapat.
Ia menggelengkan kecil kepalanya, “Masa suaminya sendiri dibilang mesum,” gumamnya, sembari tertawa kecil memandang pintu kamar Alya.
***
Seseorang memencet bel, membuat Alya dan Rian yang sedang makan malam terusik.
Menyadari kedatangan orang yang ia tunggu, Alya pun segera berlarian ke arah pintu masuk ruangan apartemennya.
Rian memandang heran ke arah Alya, “Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Rian merasa kebingungan dengan keadaan.
Alya meraih gagang pintu, kemudian membuka pintu tersebut dengan sangat bersemangat.
“Paket, atas nama Alya,” ujarnya, yang ternyata adalah tukang paket yang sedari tadi Alya tunggu.
“Ya,” ujar Alya, yang langsung menerima paket tersebut.
“Makasih.”
Alya kembali masuk ke dalam apartemennya, dan segera duduk kembali di tempat duduk sebelumnya.
Dengan perasaan sangat penasaran, Rian hanya bisa memandang ke arah Alya saja. Saat ini, Alya sangat sibuk untuk membuka paket yang ia pesan.
“Taraaaa!!” gumam Alya, sembari menunjukkan barang yang ia pesan kepada Rian.
Terlihat sebuah handphone keluaran terbaru, dengan tiga buah kamera bulat di bagian belakang handphone tersebut.
Mata Rian membulat, bingung dengan benda yang ia lihat itu.
“Lo beli handphone baru?” tanya Rian bingung.
“Enggak, ini bonus buat lo karena udah kerja dengan benar selama beberapa bulan ini,” sanggah Alya, yang langsung memberikan handphone tersebut ke arah Rian.
Rian menerimanya dengan bingung, “Ini ... gimana cara pakainya?” tanyanya kebingungan.
“Nanti gue ajarin. Sekarang, gue lagi atur supaya kontak gue ada di handphone lo. Biar kita bisa saling kabar-kabaran kalau di lokasi syuting. Supaya gue gak susah nyariin lo,” ujar Alya, sembari tetap mengutak-atik handphone baru tersebut.
Beberapa saat mengutak-atik handphone-nya itu, Alya masih belum juga selesai. Rian memandang ke arah bubur yang ada di hadapan Alya, yang sudah terlihat tidak menarik dan sepertinya sudah tidak hangat lagi.
Rian menghela napasnya, kemudian segera menyuapi Alya bubur tersebut.
“Sembari makan, ya,” ujar Rian dengan lembut, dengan tangan yang menyuapi bubur ke arah Alya.
Alya terdiam sejenak, melihat Rian yang sepertinya sangat perhatian terhadapnya.
Pandangannya tertuju pada manik mata Rian yang indah, yang baru Alya sadari, ternyata sangatlah indah melebih matanya sendiri.
Sambil menyuap bubur, Alya hanya bisa memandangnya dengan bengong, saking terkesimanya ia melihat mata Rian itu.
Rian tersadar, setelah memandang ke arah mata Alya. Pandangan mereka kini sama-sama bertemu pada satu titik, membuat Alya merasa canggung memandangnya.
Entah perasaan apa yang mereka rasakan, tetapi saat ini mereka sama-sama sudah tidak menginginkan siapa pun lagi di hidup mereka.
Sudah lama sekali Alya tidak merasakan keharmonisan dalam hubungannya. Saat ini, Rian mengambulkan keinginannya itu, dan selalu membuat Alya merasa sangat diratukan.
“Ayo, sambil makan. Keburu dingin,” ujar Rian lagi, membuat Alya tersenyum lalu mengangguk kecil mendengarnya.
Alya menyuap kembali makanan yang Rian sodorkan padanya. Alya merasa sangat senang, karena Rian sudah memperlakukannya dengan baik, bahkan saat marah sekalipun.
Memang sejak pertama kali bertemu dengan Rian, Alya merasa Rian sangat berbeda pada pandangannya. Ia selalu membandingkan Rian dengan Dion, yang memang sangat berbeda cara memperlakukannya.
Rian memandang dalam ke arah Alya, “Boleh minta satu permintaan?” tanyanya.
Keningnya mengerut karena penasaran, “Permintaan apa?” tanya balik Alya.
Wajahnya merona, mungkin karena malu untuk mengatakannya.
“Bisa panggilin satu guru private, buat gue belajar baca tulis? Sekalian, untuk belajar bahasa Inggris juga. Gue malu, kalau para crew ngomong, dan gue sama sekali gak nyambung sama mereka,” ujar Rian, membuat Alya mendelik kaget mendengarnya.
Tak disangka, keinginan Rian untuk belajar jauh lebih tinggi dibanding perkiraannya. Alya saja tidak kepikiran sampai ke sana.
Alya tersenyum mengangguk, mengiyakan permintaan Rian yang sangat sederhana baginya.
Wanita mana yang tidak setuju, kalau lelakinya ingin belajar untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi?
Alya sangat mendambakan sosok Rian yang perfect, menurutnya.
Rian tersenyum bahagia, sembari menciumi pipi Alya dengan senangnya.
“Terima kasih. Pasti gue akan belajar sungguh-sungguh, biar gue gak malu-maluin lo,” ujarnya, membuat Alya tersentuh mendengarnya.
“Lo gak pernah permaluin gue, kok,” ujar Alya, Rian tersenyum simpul sembari mengelus puncak rambut Alya.
***
klo bubur wahyuu ...ehh Wagyu Bru mahal...
msh mdg Rian yg nyari duit nyamar JD waria,lah Dion.bertahun² hidup mewah di baak ketek Alya 😏 😏😏