Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GADIS DI PERPUSTAKAAN
Tiga hari telah berlalu sejak insiden kopi itu. Tiga hari yang sangat berat bagi Fajar.
Di kampus, ia menjadi bahan olokan. Video Damar menuangkan kopi ke kepalanya sudah tersebar di grup WhatsApp mahasiswa. Setiap kali ia lewat, mahasiswa-mahasiswa berbisik dan tertawa. Beberapa bahkan dengan sengaja menjauhinya, seolah kemiskinan adalah penyakit menular.
Damar dan geng-nya makin sering mengganggu. Kadang membunyikan klakson motor mewah mereka saat melewati sepeda tua Fajar. Kadang dengan sengaja mendorong bukunya jatuh saat lewat di koridor. Kadang berteriak: "Eh, si bocah kopi! Lo udah mandi belum hari ini?"
Fajar selalu diam. Ia belajar bahwa melawan hanya akan membuat segalanya lebih buruk.
Tapi ada satu tempat di kampus di mana Fajar merasa aman. Tempat di mana tidak ada yang mengganggunya. Tempat di mana ia bisa bernapas dengan lega.
Perpustakaan.
Perpustakaan Universitas Adidaya adalah bangunan besar empat lantai dengan koleksi buku yang sangat lengkap. AC-nya dingin, kursi-kursinya nyaman, meja-mejanya luas, dan yang paling penting: gratis.
Fajar mulai menghabiskan hampir semua waktu luangnya di perpustakaan. Pagi setelah kuliah, ia ke perpustakaan. Siang setelah makan (hanya nasi bungkus Rp 5.000 tanpa lauk), ia ke perpustakaan. Sore sampai malam sebelum perpustakaan tutup jam 9, ia di perpustakaan.
Ada beberapa alasan:
Pertama, AC gratis. Di kos tidak ada AC, hanya kipas angin tua yang suaranya berisik. Kalau AC di perpustakaan gratis, kenapa harus menyalakan kipas di kos yang bayar listrik?
Kedua, listrik gratis. Fajar bisa mengisi daya ponselnya dan laptop tua pinjaman dari perpustakaan tanpa menambah tagihan listrik kos.
Ketiga, buku-buku gratis. Fajar haus akan ilmu. Ia membaca semua buku tentang bisnis, ekonomi, manajemen, marketing, bahkan pengobatan tradisional dan akupuntur untuk mengasah kembali ilmu warisan kakeknya.
Keempat, tenang dan aman. Tidak ada Damar di sini. Tidak ada hinaan. Hanya buku dan keheningan.
Fajar punya spot favorit: sudut paling belakang di lantai tiga, dekat jendela besar yang menghadap taman kampus. Tempatnya agak tersembunyi, jarang ada orang lewat, tapi dapat cahaya matahari yang cukup saat siang hari.
Setiap hari ia duduk di sana. Membaca. Menulis catatan. Belajar. Sesekali menatap keluar jendela sambil memikirkan bagaimana caranya bertahan di kota ini dengan uang yang terus menipis.
Dan kemudian, pada hari Rabu sore, ia melihat gadis itu.
Fajar sedang membaca buku "Strategi Marketing Modern" ketika ia melihat seorang gadis berjalan masuk ke area spot favoritnya. Gadis itu tinggi sekitar 166 cm, kulit putih bersih, rambut panjang bergelombang diikat ekor kuda, wajahnya cantik natural tanpa makeup menor. Yang paling menarik perhatian Fajar adalah matanya—mata yang teduh tapi tajam, mata orang yang cerdas.
Gadis itu memakai kemeja putih sederhana dan celana jeans biru—tidak branded seperti mahasiswa-mahasiswa lain, tapi tetap rapi dan bersih. Ia membawa tiga buku tebal di tangannya.
Ia duduk di meja sebelah Fajar—hanya berjarak dua meter. Meletakkan bukunya, membuka laptop, dan mulai membaca dengan serius.
Fajar melirik dari sudut matanya. Ia bisa melihat judul buku yang gadis itu baca: "Digital Marketing Strategy", "Consumer Behavior Analysis", dan "Brand Building in Modern Era".
Buku-buku bisnis, pikir Fajar. Berarti dia juga jurusan bisnis. Tapi kok aku tidak pernah lihat dia di kelas?
Gadis itu sangat fokus. Ia tidak melirik ke kanan kiri. Tidak main handphone seperti mahasiswa-mahasiswa lain. Hanya membaca, sesekali menulis catatan di buku catatannya dengan tulisan yang rapi dan indah.
Fajar ingin menyapa. Tapi ia tidak berani. Ia melirik penampilannya sendiri—kemeja lusuh yang itu-itu saja (sudah ia cuci berulang kali tapi tetap tidak bisa menghilangkan noda lama), celana jeans yang sobek, sepatu yang bolong. Bandingkan dengan gadis itu yang rapi dan bersih.
Dia pasti akan meremehkanku kalau aku ajak kenalan, pikir Fajar pahit. Seperti yang lain. Lebih baik tidak usah.
Jadi ia hanya diam. Kembali fokus pada bukunya meski matanya sesekali melirik ke arah gadis itu.
Hari-hari berikutnya, pola yang sama terulang.
Setiap sore, sekitar jam 4, gadis itu datang. Duduk di meja yang sama. Membuka laptop. Membaca buku-buku bisnis. Sangat fokus. Sangat serius.
Dan setiap hari, Fajar memperhatikannya dari kejauhan. Tidak berani menyapa. Hanya mengagumi dari jauh.
Ia memperhatikan kebiasaan-kebiasaan kecil gadis itu: cara dia mengernyitkan dahi saat membaca sesuatu yang sulit, cara dia menggigit ujung pulpen saat berpikir, cara dia tersenyum kecil saat menemukan sesuatu yang menarik di buku, cara dia meregangkan leher yang pegal setelah membaca terlalu lama.
Dia cantik, pikir Fajar. Bukan cantik yang menor kayak mahasiswi-mahasiswi lain yang full makeup. Tapi cantik yang natural. Cantik yang cerdas. Cantik yang... berbeda.
Suatu sore, Fajar sedang membaca buku tentang akupuntur. Ia sangat fokus karena ini adalah ilmu warisan kakeknya yang ingin ia dalami lagi. Tiba-tiba, pulpen yang ada di meja terjatuh dan menggelinding—tepat ke arah meja gadis itu.
Fajar tersentak. Pulpennya berhenti tepat di depan kaki gadis itu.
Gadis itu menunduk, melihat pulpen itu, kemudian mengangkatnya. Ia berdiri, berjalan ke meja Fajar.
"Ini punyamu?" tanyanya dengan suara lembut tapi tegas.
Fajar mendongak. Untuk pertama kalinya, ia melihat wajah gadis itu dari dekat. Cantik. Sangat cantik. Matanya teduh dan hangat—berbeda dengan tatapan mahasiswa-mahasiswa lain yang selalu meremehkan.
"I-iya, terima kasih," jawab Fajar gugup, menerima pulpennya dengan tangan gemetar.
Gadis itu tersenyum tipis—senyum yang ramah tapi tidak berlebihan. Kemudian ia kembali ke mejanya dan melanjutkan membaca.
Jantung Fajar berdegup kencang. Ia baru saja berbicara dengan gadis itu. Suaranya lembut. Senyumnya hangat. Tidak ada tatapan meremehkan. Tidak ada hinaan.
Mungkin... mungkin tidak semua orang di kampus ini jahat, pikir Fajar dengan perasaan sedikit lebih ringan.
Sejak hari itu, kadang mereka saling melirik. Kadang ketika mata mereka bertemu, gadis itu tersenyum tipis sebelum kembali fokus. Fajar selalu membalas dengan senyuman gugup.
Tapi mereka tidak pernah benar-benar berbicara. Hanya senyuman-senyuman kecil. Tatapan-tatapan singkat. Diam-diam saling memperhatikan.
Suatu malam, ketika perpustakaan hampir tutup dan hanya tinggal mereka berdua di lantai tiga, Fajar memberanikan diri.
"Permisi..."
Gadis itu mendongak. "Ya?"
"Kamu... mahasiswa bisnis juga?" tanya Fajar gugup.
"Iya. Manajemen Bisnis. Kamu?"
"Sama. Tapi kok aku nggak pernah lihat kamu di kelas ya?"
"Aku mahasiswa transfer. Baru masuk semester ini. Kelas sore."
"Oh..." Fajar mengangguk. Jadi itu sebabnya mereka tidak pernah sekelas.
Keheningan canggung.
"Kamu... sering banget baca buku bisnis," kata Fajar mencoba melanjutkan percakapan meski gugup luar biasa.
Gadis itu tersenyum kecil. "Iya. Aku suka bisnis. Terutama marketing dan branding. Menurutku, di era modern ini, yang bisa bertahan adalah mereka yang paham cara memasarkan diri dan produk mereka dengan benar. Kamu sendiri? Kok sering banget di sini?"
"Aku... aku suka baca juga," jawab Fajar jujur. "Dan... perpustakaan ini tenang. AC-nya gratis. Listriknya gratis. Jadi... lumayan menghemat."
Ia tidak tahu kenapa ia jujur mengakui itu. Mungkin karena gadis ini tidak terasa seperti akan menghakiminya.
Gadis itu menatap Fajar lebih lama. Matanya seolah membaca sesuatu. Tapi bukan tatapan meremehkan. Tatapan itu penuh... pengertian.
"Kamu mandiri ya," katanya pelan. "Aku respect itu."
Fajar tertegun. Respect? Ini pertama kalinya ada orang yang bilang "respect" padanya sejak ia datang ke kota ini.
"Terima kasih," gumam Fajar, tidak tahu harus bilang apa lagi.
Pengumuman dari speaker: "Perpustakaan akan tutup dalam 10 menit. Mohon seluruh pengunjung bersiap-siap."
Gadis itu mulai membereskan bukunya. "Aku pulang duluan ya. Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa," jawab Fajar.
Gadis itu berjalan menuju tangga. Tapi sebelum menghilang, ia berbalik sejenak.
"Namamu siapa?"
"Fajar. Fajar Baskara."
"Amara. Amara Danastri."
Dan dengan senyuman kecil, ia menghilang di balik tangga.
Fajar berdiri terdiam di spot favoritnya. Nama itu terus berputar di kepalanya.
Amara. Amara Danastri.
Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Kota Gemilang, ia tersenyum. Senyum tulus yang datang dari hati.
Mungkin di kota yang kejam ini, masih ada secercah harapan. Mungkin tidak semua orang jahat. Mungkin... mungkin ia tidak sendirian.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.