NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 Mencoba Merayuku?

Eve sudah memberi tahu Alex bahwa malam ini dia akan mampir ke bar. Sekedar melepas penat dengan Darren.

Saat tiba di sana, ternyata Darren sudah menebak kedatangannya. Ia bahkan telah menyiapkan segelas anggur di meja, lengkap dengan satu kursi kosong di hadapannya.

“Darren, ini untukku?”

“Ya.” Darren tersenyum singkat.

“Kau bisa tahu aku akan datang?”

“Karena kalau kau sedang dalam masalah, ujungnya pasti akan ke aku juga, kan?”

Eve tertawa kecil, lalu duduk dan meneguk anggur yang disiapkan Darren. “Kau sudah dengar rumor itu rupanya.”

“Dan kebohongan terbaru dari pria itu juga,” sahut Darren tenang.

“Oh?” Eve menaikkan satu alis. “Jadi sekarang kau percaya kalau dia impoten?”

“Tidak juga.”

“Lalu kenapa kau sebut itu kebohongan?”

“Aku cuma yakin satu hal … dia tidak menyentuhmu.” Darren menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia tahu persis tentang foto-foto itu.

Ia tahu Alex memang tidak menyentuh Eve, karena mereka sudah sepakat sejak awal. Tapi Darren tak pernah bilang apa pun, karena ia sendiri menyimpan rahasia—ia tahu siapa Alex sebenarnya.

Eve mendes4h sambil memainkan bibir gelasnya. “Ya, karena dia impoten. Terserah kau mau percaya atau tidak.”

Darren hanya membalas dengan senyum tipis, menyadari Eve sedang kesal. Tapi dia tahu, wanita itu tidak benar-benar ingin mabuk malam ini—Eve hanya butuh teman bicara.

Dia kembali sebelum larut. Rumah masih sepi. Pak Frans bilang kalau Alex akan sedikit terlambat.

Eve tersenyum samar. Setidaknya, malam ini ia bisa menghindari percakapan canggung dengan pria itu. Namun belum sempat ia beranjak ke kamar, ponselnya berdering. Ada panggilan video dari Manda.

“Tumben sekali kau menghubungiku lewat video call,” sapa Eve sambil tersenyum.

“Tentu saja aku khawatir padamu. Kau pergi begitu saja dari kantor tadi tanpa mengatakan apa-apa.” Manda cemberut.

“Maaf, aku buru-buru tadi.”

“Apa suamimu ada di rumah sekarang?” tanya Manda curiga.

“Belum. Kenapa? Mau menyampaikan sesuatu padanya?” goda Eve sambil mengangkat alis.

“Eve!” seru Manda kesal. “Kau tahu tidak, Silvia hari ini dipecat dari perusahaan! Kalau kau masih kerja di sini, pasti sudah kutarik untuk perayaan.”

“Merayakan karena sainganmu tersingkir?” balas Eve sambil menyeringai.

“Hei! Jaga omonganmu! Aku bukan tipe wanita murahan seperti Silvia. Dia itu ... menjijikkan!”

Eve terkekeh. “Tapi kalau targetmu adalah Pak Rayyan, sepertinya kau memang harus sedikit berusaha lebih keras.”

“Maksudmu?”

“Rayyan itu pria paling tidak peka yang pernah hidup. Kau harus menunjukkan sedikit pesonamu, kalau tidak dia tidak akan sadar apa pun.”

Manda memutar bola matanya. “Kau bicara seolah-olah tahu caranya menggoda pria saja.”

“Siapa bilang aku tidak bisa?” tantang Eve sambil menyeringai. “Aku cuma belum menunjukkan saja.”

“Oh ya? Coba tunjukkan!”

“Sebentar.” Eve berjalan masuk ke kamar Alex dan meletakkan ponselnya di atas meja rias milik pria itu.

Di sisi meja ada foto Alex dalam bingkai kecil, yang langsung menarik perhatian Eve. Dia menatap ke foto itu dan berkata, “Lihat ini. Aku akan tunjukkan padamu—cara merayu pria.”

Manda menyipitkan mata, penasaran. Sementara itu, Eve sudah berdiri agak menjauh agar kamera bisa menangkap tubuhnya sepenuhnya. Dia menggerai rambut, menggoda foto Alex dengan kibasan manja, satu tangan mencengkeram pinggang, berjalan meliuk seperti sedang fashion show.

Tidak cukup sampai di situ, Eve mulai mengeluarkan suara-suara desahan genit, meraba-raba lengan dan tubuhnya sendiri seolah-olah sedang dalam sesi pemotretan lingerie yang terlalu antusias.

“Ahh~ ayo kemarilah, Sayang … sentuh aku …,” rayunya sambil menggeliat di depan kamera. Seperti cacing kepanasan.

Manda sudah tidak bisa menahan tawa. Tapi sebelum bisa memberikan komentar apa pun, suara berat yang familiar terdengar dari ambang pintu.

“Apa yang sedang kau lakukan?”

Eve membeku. Ia menoleh cepat, hampir terpelintir kakinya sendiri. “A-Alex?! Sejak kapan kau—”

Alex berdiri bersandar di pintu dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi.

“Sedang mencoba merayuku?”

Eve membuka mulut, tapi tidak ada kata keluar. “Aku … ini … hanya—”

Sialnya, saat ia menoleh ke layar ponsel, panggilan video sudah terputus. Manda kabur lebih dulu.

‘Manda sialan …!’

Alex yang semula berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat kini melangkah perlahan ke dalam kamar, pandangannya tajam menyapu tubuh Eve dari ujung kepala hingga kaki. Sorot matanya seperti sinar laser yang menguliti niat tersembunyi di balik sikap Eve barusan.

Dan memang, jika dilihat sekilas, Eve tampak seperti sedang merayunya—berdiri di depan meja rias, memandangi foto pria itu sambil membiarkan bahunya terbuka oleh tanktop tipis yang menempel di tubuhnya.

Eve langsung berkeringat dingin, tubuhnya menegang seperti rusa yang terjebak di tengah jalan saat lampu mobil menyala terang. Jantungnya menggila ketika langkah kaki Alex terdengar semakin dekat.

“Alex, aku … aku cuma—”

Kalimat itu mati di tenggorokan ketika tubuhnya terdesak di antara meja rias dan dada bidang pria itu. Kedua tangan Alex terangkat, mengapit tubuhnya. Tubuh Eve melengkung, punggungnya menekan tepian meja, sementara Alex mendekat, menunduk, hingga napasnya terasa membakar pipi Eve.

Dia pernah berada dalam posisi seperti ini sebelumnya, waktu di kafe—tapi waktu itu tempat umum, dan Alex tak mungkin berbuat lebih. Sekarang mereka di kamar, berdua, dan semua kemungkinan terbuka.

Alex memang impoten—setidaknya itu yang selama ini dipercaya Eve—tapi pria itu masih punya n4fsu, masih punya naluri dominan, dan jelas, masih bisa membakar udara di sekelilingnya hanya dengan tatapan mata.

“A-Alex ... apa yang akan kau lakukan?” bisik Eve, suaranya parau dan nyaris tak terdengar.

Mata Alex mengunci wajahnya, lalu turun perlahan ke bibir Eve. Pandangannya seperti belati panas yang menusuk kulit, membuat Eve gelisah dan salah tingkah. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar—dan itu kesalahan fatal. Alex mencondongkan wajahnya, mencubit dagu Eve, mengangkatnya sedikit, dan menghirup aroma tubuh wanita itu dalam-dalam, seolah mencoba mengingat setiap inci dirinya.

Hidung mereka kini saling menempel. Jika Eve bergerak sedikit saja, bibir mereka akan bersentuhan. Dan entah kenapa, saat Alex memiringkan kepalanya, Eve justru memejamkan mata … menyerah.

Namun cium4n itu tidak pernah datang.

Sebaliknya, Alex menjauh. Tiba-tiba. Mendadak. Seolah semuanya tak pernah terjadi.

“Aku hanya akan menyentuhmu,” gumamnya, suaranya dalam dan dingin, “jika ada kesepakatan di antara kita.”

Dan dengan kalimat itu, dia berbalik, meninggalkannya terperangah dalam diam. Tanpa sepatah kata lagi, tanpa penjelasan.

Eve masih membeku di tempat, dadanya naik turun, tubuhnya seolah terbakar oleh sisa-sisa kehadiran Alex. Lalu, seperti tersadar, dia mencengkeram ponselnya dan buru-buru kabur ke kamarnya sendiri. Tirai langsung ditutup, lampu dimatikan. Gelap. Sunyi.

Dia berdiri di tengah kamar, mengacak-acak rambutnya. Napasnya kacau. Wajahnya merah padam.

“Sial, sial, sial! Kenapa aku malah diam saja? Harusnya aku tendang saja anunya tadi! Kalau perlu sampai putus. Toh tidak berguna, kan?” gerutunya, memukul-mukul kepala sendiri.

Tapi bukan hanya malu yang menggerogoti pikirannya. Ada sesuatu yang lain. Sebuah pertanyaan menggantung berat di dadanya.

“Tunggu. Maksudnya tadi apa? Dia hanya akan menyentuhku kalau ada kesepakatan? Aku kira dia tidak bisa karena impoten. Apa dia …?”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!