Cerita hanyalah khayalan dari penulis semata. Hanya sekedar hiburan jika ada hal baik ambillah, jika buruk buanglah dan abaikan.
Kisah berawal dari Vynnitta gadis berusia muda yang di usir ayahnya. Ia pun melamar sebagai pelayan tuan muda dengan gaji besar. Karena tuannya itu sakit dan butuh di perhatikan.
Seiring waktu tumbuhlah perasaan terlarang di hatinya. Hingga ia tanpa sengaja menemukan cara untuk mengurangi penderitaan dari Franklin yang terkena racun beku dan hampir mati karena ulah istrinya sendiri.
Raisa, yang di selimuti oleh dendam terhadap keluarga Bou. Membuatnya ingin menghabisi keturunan terakhir dari keluarga itu. Dengan menyiksa Franklin perlahan dan mengambil alih hartanya dengan bantuan Alex, selingkuhannya.
Sebuah tanda akar di tengkuk yang Vynnitta dapatkan ketika ia tersesat di hutan. Selalu bereaksi dan membantunya menyembuhkan Franklin, meski akhirnya ia harus mengorbankan kehormatannya sendiri.
Cerita yang menarik untuk kalian ikuti ...cekidot!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkoyaknya Mahkota Vyn
🌹🌹🌹🌹🌹
Seiring dengan penyatuan yang di lakukan oleh keduanya. Ada kekuatan yang menguar dari dalam tubuh Vyn, di barengi dengan robeknya segel mahkota.
"Vyn meringis, ia memeluk raga Franklin dengan kencang. Hingga kuku-kuku pada jari tangannya menancap di bahu pria yang tengah mengungkungnya ini.
Franklin semakin mendorong senjatanya lebih dalam lagi, mengoyak bagian berharga Vynnitta untuk melepaskan hasrat dan juga racun dalam tubuhnya. Keduanya saling berpelukan erat. Franklin sengaja mendiamkan senjatanya di dalam agar Vyn rileks terlebih dahulu.
"Akh!" Vyn memekik ketika sebuah kekuatan berpusat di bawah perutnya mengalirkan sebuah tenaga. Hingga ke seluruh tubuhnya.
Franklin mulai memompa tubuh bagian bawahnya. Sebuah kekuatan merasuk hangat ke setiap sendi darahnya. Pikirannya seakan menggila. Ia tak lagi dapat berpikir apapun selain menikmati rasa yang belum pernah ia kecap sebelumnya. Bahkan tenaganya kembali full luar biasa. Hingga ujung dari penyatuan mereka sampai pada pelepasan gelora keduanya.
Ketika itulah, cahaya keemasan pada tengkuk Vyn meredup. Seiring dengan kesadaran Vynnitta yang berangsur-angsur hilang.
"Vy–Vyn." Franklin memanggil wanita yang baru saja menyelamatkan nyawanya. Hingga kini ia merasa sangat bugar dan sehat.
"Vynnitta, ku mohon sadarlah." Franklin menepuk pelan kedua pipi Vyn bergantian. Akan tetapi pelayannya itu tak juga membuka matanya. Akhirnya ia meletakkan wajah Vynnitta di dadanya. Memeluk raga itu erat seiring dengan isak yang mengguncang bahunya. Ada rasa bersalah menyeruak di hati pria dingin ini.
"Maafkan aku, Vyn. Kau sampai begini karena diriku. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi mu setelah aku menceraikan Raisa. Kau benar, aku tidak perlu sekeras ini mempertahankan wanita yang hanya menginginkan kematian ku." Franklin berkata dengan lirih sambil memeluk raga Vyn yang polos. Ia mengecup pucuk kepala Vynnitta lama sekali, sebelum akhirnya ia turun dari pembaringan.
"Aku akan memanggil Brandy untuk memeriksa mu." Setelah menyelimuti Vynitta, Franklin pun berlalu untuk membersihkan dirinya. Di depan kaca wastafel ia melihat pantulan dirinya.
"Ternyata, Vynnitta adalah penangkal racun di tubuhku. Ketika melakukan penyatuan dengannya, aku merasa ada yang di tarik paksa untuk keluar dari dalam sini. Aku merasa enteng dan sangat segar. Sedangkan dirinya menjadi lemah seperti itu," gumam Franklin menyalahkan perlakuannya sendiri.
"Hah, ku harap dirinya baik-baik saja." Setelah menghela napas kasar demi mengurai resah. Franklin pun membasuh wajahnya lalu keluar dari kamar mandi. Tak lama kemudian seorang pelayan mengantar Brandy ke kamarnya.
"Apa yang sudah kau lakukan padanya!" sarkas Brandy yang baru saja memeriksa denyut nadi Vynnitta. Dokter dengan rambut panjangnya yang berwarna silver itu melirik tajam ke arah Franklin.
"Aku–aku melakukan itu padanya," ucap Franklin terbata. Ekspresi Brandy membuatnya semakin merasa bersalah.
"Kenapa?"
" Kenapa harus dengan keadaan seperti ini? Apa kau memaksanya?" cecar Brandy dengan tatapan menyelidik.
"Tidak Brand, dia yang menyerahkan dirinya padaku. Karena jika tidak, mungkin saat ini kau sudah mendapat kabar kematian diriku."
"Apa racun mu baru saja kambuh lagi?!" kaget Brandy. Ia bahkan sontak bangun dari duduknya kemudian menghampiri Franklin sahabatnya.
"Yah, dan barusan aku hampir saja membeku dan menjadi gletser," jelas Franklin seraya mendekati tempat tidur dimana Vyn masih memejamkan matanya.
"Ia kelelahan. Seluruh tenaganya terkuras oleh kekuatan yang baru saja ia salurkan kepadamu," jelas Brandy, ia menahan dada Franklin mencoba membuat pria itu tenang. Karena sahabatnya itu sangat gusar dan merasa teramat bersalah.
"Duduklah, aku juga ingin memeriksa dirimu!" titah Brandy, membuat Franklin seketika duduk di pinggiran ranjaang.
"Luar biasa kawan! Alat pendeteksi milikku, tak lagi menemukan kadar racun beku dalam tubuhmu. I–ini benar-benar ajaib!" takjub Brandy. Ia menoleh seraya menatap lamat pada Vynnitta. " Siapa dia sebenarnya, kekuatan apa yang ia miliki?" Brandy berkata dengan ekspresi terkejut dan tak percaya.
Ia begitu heran, kagum sekaligus bingung. Satu sisi ia juga senang dan bersyukur. Karena sahabatnya telah benar-benar terbebas dari penyakit yang mematikan. Akan tetapi, satu sisi ia tak habis pikir. Ilmu kedokteran dan magisnya bahkan tak sampai untuk menganalisa apa yang terjadi.
"Frank. Aku harus melakukan pemeriksaan menyeluruh padanya. Bolehkan aku membuka selimutnya?" tanya Brandy serius. Akan tetapi pria gemulai itu langsung mendapat sorotan tajam dari sepasang mata elang milik Franklin.
"Ck. Kau ini kan bukan suaminya. Kekasih juga bukan. Kau itu cuma majikan kurang ajar yang memanfaatkan pelayan cantik nan polos mu ini!" sarkas Brandy kesal. Ia sebenarnya juga penasaran akan apa yang ada di bawah selimut tebal ini. Kenapa bagian atas tubuh gadis ini sangat menonjol. Bagaimanapun jiwanya adalah laki-laki normal.
"Keluarlah!" usir Franklin pada akhirnya.
"Dasar pelit! Kita kan sahabat. Kau seharusnya juga berbagi kebahagiaan denganku. Bukan hanya kesusahan saja," cebik Brandy kesal.
"Dia, bukan barang yang bisa ku bagi! Jangan sembarangan bicara, atau ku potong lidahmu itu!" ancam Franklin penuh penekanan.
Brandy pun berlalu sambil memutar bola matanya. Axe yang menunggu di depan pintu ikut membungkukkan badannya tanda pamit pada Franklin.
𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘵𝘶𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭. 𝘉𝘶𝘬𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘮𝘱𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘢𝘮𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢. 𝘊𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘱𝘶𝘭𝘢. 𝘏𝘢𝘩 ... 𝘳𝘶𝘮𝘰𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘳 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘎𝘪𝘭𝘭 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘴𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯.
Batin Axe menyayangkan isi dalam pikirannya selama ini. Ia menyesal kenapa begitu percaya pada pria super lebay macam Gill.
"Apa yang kau pikirkan Axe?" tanya Brandy heran. Kedua matanya sempat memicing sekilas memindai keanehan pada asistennya itu.
"Tidak Dokter! Cuma mikirin pacar saya yang minta kawin." Axe menjawab asal. Untung saja ia tidak keceplosan.
"Sejak kapan kau punya pacar?" Brandy mengerutkan keningnya.
𝘌𝘩 𝘪𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘰𝘮𝘣𝘭𝘰.
Axe hanya menyeringai garing sambil menggaruk tengkuknya.
"Ngarepnya sih gitu Dok. Ada cewek yang minta saya kawinin," jawabnya asal.
"Halu melulu! Kerja dulu biar sukses, nanti kau bisa tunjuk gadis manapun!" saran Brandy macam pakar saja. Padahal dia sendiri juga belum laku.
"Dokter udah sukses, kok belom nunjuk cewek?" sindir Axe.
"Siapa bilang? Nanti kalau aku sudah punya klinik sendiri baru bisa di bilang sukses!" kilah Brandy mengelak. Padahal, dirinya pun sedang bingung pasal pasangan hidup. Masalahnya usianya sudah cukup dewasa.
"Tapi ...,"
"Sudahlah." Brandy pun merangkul bahu Axe yang lebih pendek darinya. Axe tak menghindar lagi, karena ia yakin jika Brandy itu adalah pria normal.
𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘉𝘳𝘢𝘯𝘥𝘺 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘴𝘪𝘰𝘯? 𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘍𝘳𝘢𝘯𝘬𝘭𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘣𝘶𝘩 𝘭𝘢𝘨𝘪? 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢? 𝘈𝘱𝘢 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘪 ?
Raisa, mencengkeram besi pagar di lantai tempatnya berdiri. Rahangnya mengeras karena dendamnya yang belum tuntas.
"Seharusnya pria itu sudah mati. Racun itu pasti sudah menghancurkan hatinya. Kenapa Mansion ini begitu tenang?" gumam Raisa bingung. Ia pun mengendap-endap mendekati kamar sebelah.
"Ughh ...," Vyn melenguh dan menggeliat pelan. Buru-buru Franklin menghampiri tempat tidur. Ia menggapai tangan Vyn, menggenggamnya.
"Tuan muda. Kau baik-baik saja?" tanya Vyn yang baru saja sadar. Ia berusaha bangun, tapi Franklin mencegahnya.
"Istirahatlah. Aku tak apa. Semua berkat dirimu," jawab Franklin. Membuat Vyn menghela napasnya lega
"Apa kau lapar? Biar aku pesankan makanan pada pelayan," tanya Franklin lembut dan penuh perhatian.
"Ehm, iya. Aku sangat lapar. Tapi biarkan aku saja yang kebawah." Vyn kembali berusaha bangun dengan menyingkirkan selimut tebalnya.
"Akh!" Betapa kagetnya ia ketika selimut itu terbuka. Kedua pipinya kini sudah semerah stroberi.
" Tak apa, biar aku saja. Kau istirahatlah. Kau juga perlu mengembalikan tenaga mu yang terkuras karena menolongku. Terima kasih." Franklin kembali menutup raga polos Vyn sambil menelan ludahnya. Ia masih mengingat bagaimana bentuk setiap inchi tubuh Vyn yang kini tertutup selimut tebal.
𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯? 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 ...
Raisa mengepalkan tangannya, dengan segala spekulasi kotor dalam pikirannya sendiri.
Bersambung>>>