NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 Konflik Menegangkan

Di dalam Mansion, tempat tinggal Clara dan Olivia.

Setelah kepergian Susan, kini hanya tersisa dua sosok di ruangan itu—Clara dan Olivia. Entah mengapa, suasana yang semula tenang berubah menjadi begitu sunyi dan menyesakkan. Kesunyian itu seolah bukan hanya ketiadaan suara, melainkan kabut bisu yang membekukan udara di antara mereka.

Clara tak banyak bicara. Tubuhnya tegang, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Ini adalah kali pertama, setelah sekian lama, ia harus berhadapan langsung dengan kakaknya—sosok yang sekaligus membuatnya rindu dan takut. Kenangan lama tiba-tiba menyeruak, menggali luka masa lalu yang belum benar-benar sembuh. Trauma itu mengintai dari balik bayangan pikirannya, membuatnya nyaris membatalkan niat untuk berbicara.

Tapi tidak. Tidak kali ini. Aku tidak boleh membiarkan rasa takut mengendalikan diriku.

Clara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia harus berani menghadapi semua ini.

Dengan suara bergetar, ia memulai, "H-hai... Kak Olivia. Bagaimana kabar kakak saat ini...?"

Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, Olivia menatapnya dengan sorot tajam dan penuh kejengkelan. Bibirnya tertarik membentuk senyum sinis sebelum ia berkata, dingin dan menusuk, "Jangan panggil aku 'Kakak', gadis pembawa sial."

Ucapan itu menampar Clara bagai angin dingin di musim salju. Ia terdiam membeku, terpaku oleh rasa sakit yang mendadak menyeruak.

Olivia belum selesai. Dengan nada yang semakin keras dan penuh penolakan, ia melanjutkan, "Sebenarnya aku tidak ingin bertemu denganmu. Tapi, ada satu hal yang harus aku sampaikan. Jadi, terpaksa aku datang."

Ia menunjuk Clara dengan jari telunjuknya, gerakannya tajam seolah menusuk jantung lawan bicaranya.

Clara mencoba bertahan, menelan kepedihan yang muncul. "Kenapa, Ka— maksudku... Olivia. Kenapa kamu ingin menemuiku? Apakah aku telah melakukan kesalahan?"

Ada kebingungan dalam nada suaranya, dan lebih dari itu, ada ketakutan yang tersembunyi. Ia tak mengerti, namun bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk tengah menantinya.

Dan dugaannya benar.

Olivia mengangguk dingin. "Benar. Kamu membuat masalah besar. Masalah yang membuatku muak." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu menatap Clara dengan penuh kemarahan. "Kenapa kamu menceritakan semua itu kepada pengawal rendahan itu!? Apa kamu tidak mengerti arti kata privasi?"

Clara tersentak, kebingungan. Ia mencoba mengingat apa yang dimaksud. Dengan nada rendah, hampir berbisik, ia bertanya, "Tentang yang mana, ya...?"

Ekspresi Olivia berubah semakin gelap. "Apa kamu berpura-pura tidak tahu? Kamu yang membocorkan cerita masa lalumu. Kamu pikir mudah membicarakan aib keluarga? Kamu menyebarkan hal yang seharusnya kita kubur dalam-dalam!"

"Aku... aku tidak tahu kalau hal itu akan membuatmu semarah ini. Maaf..." Clara menunduk, suaranya pecah. Tapi ia tak berhenti. Hatinya sudah terlalu penuh untuk terus diam.

"Aku hanya... tidak sanggup menahannya. Beban itu terlalu berat. Apakah kamu tahu, Olivia? Selama ini aku selalu menangis diam-diam di kamarku. Berpura-pura kuat di hadapan semua orang, padahal hatiku rapuh dan penuh luka. Aku menyembunyikannya, berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi... itu menyakitkan."

Ia menatap Olivia, air matanya menggenang. "Sampai akhirnya aku bertemu Herald. Dia mendengarkan. Dia tidak menghakimi. Dia bilang, tidak apa-apa untuk membagi rasa sakit, bahwa kita tak harus menanggungnya sendirian. Dan sejak saat itu, aku merasa lega. Beban yang selama ini menghimpitku... perlahan menghilang."

Clara menarik napas gemetar, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih tegas. "Sekarang giliranmu untuk berubah, Olivia. Kamu masih terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Tapi ketahuilah satu hal: aku bukan penyebab kematian ibu. Dan kamu harus mulai menerima kenyataan itu."

"DIAM!"

Bentakan itu menggema di seluruh ruangan. Suara Olivia meledak, dipenuhi emosi yang tak lagi terkendali. Clara tercekat. Ucapannya terputus di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap kakaknya, tidak tahu harus berkata apa lagi.

Keheningan kembali turun, kali ini terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya.

Wajah Olivia menghitam seiring amarah yang memuncak. Mata yang sebelumnya hanya dingin, kini menyala penuh kebencian. Suaranya meledak, menggema hingga ke dinding mansion yang sunyi.

"Apa yang kamu tahu soal Ibu, hah!? Berani-beraninya kamu bicara seperti itu! Kamu itu anak pembawa sial! Kamu yang merusak segalanya! Dan—dan kau bahkan dilahirkan cacat!"

Tenggorokannya tercekat sesaat, tapi ia melanjutkan, lebih tajam dari sebelumnya.

"Kamulah penyebab kematian Ibu! Dan tidak ada yang bisa mengubah itu!"

Kemarahan Olivia begitu besar hingga tubuhnya bergetar. Tapi di balik suara garangnya, Clara melihat sesuatu yang lain—yang tersembunyi di balik topeng kemarahan itu. Ada luka. Ada kesedihan yang menahun. Dan yang lebih dalam dari semuanya: ada rasa takut.

Dia masih terpenjara dalam masa lalu, pikir Clara lirih.

Clara menatap kakaknya dengan mata yang tidak lagi gentar, melainkan penuh kelembutan.

"Olivia... setidaknya, kamu pernah merasakan kasih sayang Ibu. Kamu pernah merasakan hangatnya pelukan itu. Suara lembutnya, senyumannya... Semua kenangan itu masih hidup bersamamu."

Ia menarik napas, menahan perih yang mendesak dari dada. "Sedangkan aku... aku bahkan tak tahu seperti apa wajahnya. Aku lahir dalam kehampaan. Tidak pernah merasakan kehangatan yang kamu nikmati. Aku tumbuh dalam kesunyian yang dingin. Rasa sakit itu—aku telan sendiri, selama bertahun-tahun. Tapi aku tetap bertahan. Aku iri padamu, Olivia... Karena kamu masih punya kenangan. Kamu orang yang beruntung."

Clara lalu melangkah perlahan, mendekati Olivia. Senyumnya tulus, meski air mata membasahi pipinya. Ia mengulurkan tangan, seolah menggapai cahaya di tengah gelapnya masa lalu mereka.

"Kakak... Aku tidak ingin kita terus seperti ini. Aku ingin kita berdamai, bukan sebagai musuh, tapi sebagai keluarga. Mari kita akhiri semua kebencian ini. Kita mulai dari awal. Bersama."

Tangannya terulur. Hatinya terbuka.

Namun, alih-alih menyambutnya, Olivia justru terguncang. Kata-kata Clara menembus lapisan pertahanan yang selama ini ia bangun tinggi-tinggi. Ia tidak pernah memikirkan bahwa Clara, adiknya sendiri, selama ini hidup tanpa kasih sayang—tanpa harapan.

Emosinya mendidih, bukan hanya karena kemarahan, tapi karena rasa bersalah yang selama ini ia pendam dan coba lupakan.

Dan ketika Clara semakin dekat...

"T-tidak... jangan dekati aku!" Olivia panik, dan tiba-tiba ia mendorong Clara dengan kekuatan tak terkendali.

Dorongan itu terlalu kuat. Tubuh Clara terhempas mundur, langkahnya goyah.

Olivia baru menyadari apa yang terjadi ketika pandangannya menangkap tangga di belakang adiknya.

"Clara...!"

Clara terpeleset. Tubuhnya sedikit melayang, seolah waktu melambat. Tangannya masih terulur ke arah Olivia—tangan yang tadinya ingin menyatukan mereka. Tatapannya kosong, penuh keterkejutan.

[Eh...? Aku...]

Dan dunia seakan runtuh.

***

Sementara itu, di sisi lain mansion...

Astalfo, Herald, Hermas, dan Susan bergegas melintasi lorong-lorong besar yang sunyi. Derap langkah kaki mereka menggema, menyatu dengan detak khawatir yang memburu di dada masing-masing. Mereka tahu Clara dan Olivia sedang berbincang—dan itu saja sudah cukup menimbulkan kecemasan besar.

Astalfo menoleh cepat ke arah Susan tanpa menghentikan langkahnya.

"Susan, sudah berapa lama mereka berdua di dalam kamar?"

Susan terengah, tapi tetap menjawab.

"Kurang lebih sepuluh menit... mungkin lebih sedikit."

Astalfo mengatupkan rahangnya.

"Semoga tidak ada hal buruk terjadi."

Herald, yang berlari tepat di belakangnya, bertanya dengan nada penasaran namun cemas.

"Tuan Astalfo... apakah benar seburuk itu kalau mereka bersama? Maksudku... apakah Olivia akan berbuat kasar?"

Astalfo menghela napas, meski napasnya sendiri memburu. "Olivia... dia mudah terbakar emosi. Dia tidak pandai mengendalikan diri, terutama jika berhadapan dengan Clara. Dan kadang... dia bisa bertindak kasar. Itulah yang kutakutkan. Aku khawatir dia—"

Astalfo tidak menyelesaikan kalimatnya. Tapi semua orang tahu apa yang ia maksud.

Herald mengepalkan tangan.

"Kalau begitu, kita harus segera ke sana!"

Tanpa perlu komando lagi, langkah mereka semakin cepat.

***

Beberapa menit kemudian...

Mereka hampir sampai. Satu tangga lagi, dan kamar Clara ada di ujung lorong atas sana. Jantung Herald berdentam cepat.

[Kita sudah dekat,] bisiknya dalam hati.

Namun langkah mereka tiba-tiba terhenti.

Seseorang tergeletak di dasar tangga.

Tubuh mungil, gaun familiar, rambut terurai lemas di lantai marmer. Dan darah.

Susan memekik lirih, wajahnya pucat seketika.

"I-it... Itu Clara!! Itu Clara!"

Astalfo menoleh cepat, lalu berlari tanpa pikir panjang.

"Apa?! Itu benar-benar Clara?!"

Herald dan Hermas segera menyusulnya, kaki-kaki mereka beradu dengan lantai secepat mungkin. Susan menyusul di belakang, lututnya hampir lemas.

Begitu mereka tiba di sisi Clara, pemandangan itu menyayat hati.

Astalfo segera meraih tubuh Clara dan mendekapnya dengan penuh kepanikan. Darah mengalir dari pelipisnya, membasahi gaun dan lantai di sekitarnya. Wajah Astalfo berubah pucat, lalu merah karena panik.

"Clara! Clara, bangun! Sadarlah! Tolong...!"

Tidak ada respons. Nafas Clara lemah, hampir tak terasa.

"Clara!!"

Astalfo menoleh ke Hermas, matanya memancarkan kepanikan yang tiada pernah terbayangkan.

"Hermas! Cepat! Panggilkan dokter! Sekarang juga!"

"Baik, Tuan!" Hermas langsung berlari meninggalkan tempat itu, langkahnya menggema di lorong panjang.

Susan berdiri terpaku di sisi Herald. Tangisnya pecah tanpa suara. Ia menutup mulutnya, gemetar hebat. Matanya tak lepas dari tubuh Clara yang tak berdaya.

Herald sendiri hanya bisa menggenggam keras kain bajunya, merasakan sakit dan rasa bersalah yang menusuk dadanya. Mereka terlambat. Tragedi sudah terjadi.

Dan kemudian...

Herald menoleh ke atas—ke puncak tangga.

Seseorang berdiri di sana. Tubuhnya membeku, seolah tak lagi mengenal dunia.

[Dia...]

Itu adalah Olivia.

Ia berdiri diam, menatap kosong ke bawah. Tubuhnya kaku, seolah telah menjadi batu. Rambutnya berantakan, dan mata yang biasanya penuh kemarahan kini hanya menyisakan kehampaan.

Ia tidak berkata apa-apa.

Tidak bergerak.

Hanya... berdiri. Seakan dunia telah berhenti baginya.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!