SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: BATAS TIPIS (bagian 2)
"Aku jatuh cinta padamu sejak hari pertama di kampus," lanjut Laura, air matanya mengalir bebas sekarang. "Saat kamu berdiri di lapangan orientasi dengan tatapan yang serius itu. Kamu tidak mengenalku. Bahkan tidak pernah melihatku. Tapi aku—aku melihatmu setiap hari. Menghafalkan jadwal kuliahmu hanya untuk bisa melihatmu dari jauh. Duduk di perpustakaan yang sama hanya untuk merasakan ada di ruangan yang sama denganmu."
Suara Laura bergetar, tapi dia tidak bisa berhenti sekarang. Setelah sepuluh tahun menyimpan, bendungan akhirnya jebol.
"Aku merayakan setiap pencapaianmu seolah itu pencapaianku sendiri. Aku sedih saat kamu terlihat lelah. Aku khawatir saat kamu terlihat sakit. Dan saat kamu lulus dan menghilang dari hidupku, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri. Tapi aku bilang pada diri sendiri untuk move on. Untuk melupakan. Karena kamu tidak pernah tahu aku ada."
Laura menyeka air matanya dengan punggung tangan, tapi air mata terus mengalir menggantikan yang diseka.
"Lalu dua bulan lalu, takdir mempertemukan kita lagi. Dan aku bodoh—aku sangat bodoh—karena membiarkan diriku berharap. Berharap bahwa mungkin kali ini berbeda. Mungkin kali ini kamu akan melihatku. Dan kamu melakukannya. Kamu mulai melihatku. Tapi kemudian Maudy kembali dan aku sadar—aku tidak pernah punya kesempatan sejak awal."
Julian berdiri terpaku, wajahnya pucat, matanya melebar dengan shock dan sesuatu yang lain—sesuatu yang terlihat seperti rasa bersalah yang sangat dalam.
"Laura—" suaranya parau, nyaris tidak terdengar.
"Jangan," Laura mengangkat tangannya, menghentikan Julian yang melangkah maju. "Jangan mengatakan kamu tidak tahu. Jangan mengatakan kamu menyesal. Karena ini bukan salahmu. Kamu tidak pernah janji apapun padaku. Kamu tidak pernah memberi harapan palsu. Ini aku yang bodoh. Aku yang jatuh cinta pada seseorang yang tidak mencintaiku kembali."
"Tapi aku—Laura, aku merasakan sesuatu untukmu. Kamu harus percaya itu."
"Merasakan sesuatu tidak sama dengan mencintai," jawab Laura, suaranya lebih tenang sekarang meski air matanya masih mengalir. "Dan bahkan kalau kamu mencintaiku—yang aku sangat ragu—kamu masih belum bisa melepaskan Maudy. Kamu masih mencintainya juga, atau setidaknya mencintai masa lalu bersamanya. Dan aku—aku tidak bisa berbagi hatimu dengan orang lain, Julian. Aku tidak cukup kuat untuk itu."
Laura berbalik, berjalan menuju kamar tamunya.
"Laura, tunggu!" Julian mengejarnya, memegang pergelangan tangannya. "Jangan pergi seperti ini. Kita perlu bicara—"
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," Laura melepaskan tangannya dengan lembut tapi tegas. "Aku akan pindah besok. Ancaman Leon atau tidak, aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Aku tidak bisa."
"Laura, kumohon. Biarkan aku—biarkan aku memikirkan ini dengan jernih. Biarkan aku menyelesaikan urusan dengan Maudy dulu, lalu kita—"
"Lalu kita apa, Julian?" Laura menatapnya dengan mata yang lelah. "Lalu kamu akan datang padaku dan bilang kamu sudah selesai dengan masa lalumu? Dan aku seharusnya menunggu seperti boneka yang bisa kamu ambil kapan saja kamu siap? Tidak. Aku sudah menunggu sepuluh tahun. Aku tidak akan menunggu lagi."
Dia masuk ke kamar dan menutup pintu, menguncinya dari dalam. Di balik pintu, dia mendengar Julian berdiri di sana, mendengar napasnya yang berat, langkahnya yang mondar-mandir.
"Laura," suaranya terdengar samar melalui pintu. "Tolong. Jangan seperti ini."
Tapi Laura tidak menjawab. Dia meluncur ke lantai, punggungnya bersandar di pintu, dan menangis—menangis untuk semua yang dia simpan selama sepuluh tahun, untuk ciuman yang terasa seperti mimpi dan berakhir seperti mimpi buruk, untuk cinta yang tidak akan pernah cukup.
Di luar, Julian akhirnya pergi. Laura mendengar pintu kamarnya tertutup, lalu hening.
Dengan tangan gemetar, Laura mengambil ponselnya dan menelepon Nia.
"Laura? Ini hampir tengah malam, ada apa?" Suara Nia langsung waspada.
"Nia," suara Laura pecah. "Bisakah kamu jemput aku? Sekarang?"
"Aku akan ke sana dalam dua puluh menit. Bertahanlah."
Laura mulai mengemas barang-barangnya dengan tangan gemetar, air mata masih mengalir. Setiap barang yang dia masukkan ke koper terasa seperti menutup chapter—chapter yang indah tapi menyakitkan.
Lima belas menit kemudian, ada ketukan pelan di pintu kamarnya.
"Laura?" Suara Julian terdengar lelah, hancur. "Nia ada di bawah. Aku—aku bilang pada security untuk membiarkannya naik. Aku tidak akan menghentikanmu kalau kamu memang ingin pergi. Tapi kumohon, berjanjilah bahwa kamu akan tetap aman. Berjanjilah bahwa kamu akan tetap diantar security kemana-mana. Leon masih di luar sana."
Laura membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat Julian yang berdiri di sana dengan mata memerah dan wajah yang terlihat lebih tua sepuluh tahun.
"Aku janji," bisiknya. "Dan terima kasih, Julian. Untuk semuanya."
"Laura, aku—"
Tapi pintu apartemen terbuka dan Nia masuk seperti angin topan. Dia langsung memeluk Laura yang kembali menangis di pelukannya.
"Ayo kita pulang," bisik Nia, menatap Julian dengan tatapan yang sulit dibaca—campuran kemarahan dan sedikit simpati.
Julian hanya mengangguk, tidak mencoba menghentikan mereka lagi.
Nia mengambil koper Laura dan membimbingnya keluar. Di pintu, Laura menoleh sekali—melihat Julian berdiri di tengah apartemennya yang luas dan dingin, terlihat lebih kesepian daripada yang pernah Laura lihat.
Dan hati Laura hancur lebih dalam lagi, karena bahkan setelah semua ini, dia masih ingin kembali dan memeluknya.
Tapi dia tidak bisa.
Karena terkadang, mencintai seseorang berarti membiarkan mereka pergi. Bahkan kalau itu membunuhmu pelan-pelan.