Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Suara itu lagi"
Pada awalnya, tidak ada yang terasa berubah.
Hari-hari Alya berjalan seperti biasa—atau setidaknya, seperti versi “biasa” yang kini ia kenal. Pagi diantar ke sekolah. Siang belajar. Sore bekerja di kafe. Malam pulang ke rumah besar yang sunyinya tidak lagi menakutkan.
Ia tidak sadar bahwa perubahan tidak selalu datang dengan suara keras. Kadang, ia datang lewat mata yang terlalu lama memperhatikan.
Di Kafe Senyawa, Alya kembali menempati jadwal lamanya. Ia bekerja lebih rapi, lebih cepat, dan—tanpa ia sadari—lebih tenang. Luka di lengannya tertutup lengan panjang yang bersih. Wajahnya tidak lagi terlihat sekosong dulu.
Beberapa pelanggan memperhatikannya.
“Kayaknya kamu beda sekarang,” ujar seorang pelanggan tetap suatu sore. “Lebih cerah.”
Alya tersenyum kecil. “Mungkin karena nggak sering sakit lagi.”
Kalimat itu terdengar ringan. Tapi dari balik meja kasir, ada mata lain yang mengamati.
Bukan pelanggan.
Sesama karyawan.
Awalnya hanya pertanyaan biasa.
“Kamu pindah kos, ya?”
“Sekarang pulangnya bareng siapa?”
Alya menjawab seperlunya. Tidak lebih. Tidak kurang.
“Sama keluarga teman,” katanya, selalu begitu.
Tidak ada yang langsung membantah. Tidak ada yang tertawa. Namun Alya tidak melewatkan satu hal pun—cara senyum mereka sedikit tertahan, cara pandangan mereka saling bertemu sejenak setelah mendengar jawabannya.
Seperti menyimpan sesuatu.
Di sekolah pun begitu.
Tidak ada ejekan terang-terangan pada awalnya. Tidak ada kalimat kasar yang dilemparkan langsung ke wajahnya. Hanya perubahan kecil yang sulit dijelaskan.
Bangku di sebelahnya mulai sering kosong. Kelompok belajar yang dulu membiarkannya ikut, kini lebih sering lupa mengajaknya. Obrolan berhenti ketika ia mendekat.
Alya mencoba tidak memikirkannya.
“Mereka sibuk,” katanya pada dirinya sendiri.
Ia ingin percaya itu.
Namun suatu siang, saat ia berdiri di depan kelas menunggu guru datang, ia mendengar namanya disebut dari barisan belakang. Pelan. Hampir berbisik.
“Mobilnya bagus, ya.”
“Iya. Tiap hari beda sopir.”
Alya pura-pura tidak mendengar. Ia membuka buku. Menulis ulang catatan lama.
Tangannya sedikit gemetar.
Bel pelajaran berbunyi, memecah percakapan itu. Tidak ada yang menoleh padanya. Tidak ada yang meminta maaf. Seolah bisikan itu tidak pernah ada.
Dan memang—itulah cara terbaik menyakiti seseorang.
Bukan dengan teriakan.
Tapi dengan membuatnya merasa sendirian di tengah keramaian.
Malam itu, Alya duduk di kamarnya lebih lama dari biasanya. Ia menatap seragam sekolah yang tergantung rapi. Sepatu yang masih bersih. Tas yang tidak lagi sobek.
Semua ini… terlalu kontras dengan hidupnya yang dulu.
Dan tanpa ia sadari, justru itulah yang membuat orang mulai bertanya.
Mulai menebak.
Mulai mengarang cerita.
Alya menarik napas panjang, lalu berbaring, memunggungi lampu.
Ia belum tahu bahwa ketenangan ini sedang diperhatikan terlalu banyak orang.
Dan bahwa bisik-bisik itu—yang masih samar hari ini—akan segera menemukan bentuknya.
Lebih tajam.
Lebih kejam.
Dan jauh lebih sulit diabaikan.
Keesokan harinya, dunia terasa sama lagi
Kedekatan itu tidak pernah diumumkan.
Tidak ada pengakuan. Tidak ada perubahan mencolok yang bisa ditunjuk dengan jari.
Namun justru karena itulah—orang-orang mulai memperhatikannya.
---
Di Kafe Senyawa, suasana tak lagi sama.
Alya kembali bekerja setelah beberapa hari izin, tubuhnya terlihat lebih segar, wajahnya tidak sepucat dulu. Seragamnya rapi. Rambutnya terikat bersih. Bahkan langkahnya kini tidak lagi terseok.
Dan perubahan kecil itu… mengundang tanya.
“Eh,” bisik salah satu barista saat Alya masuk ke ruang ganti. “Dia makin kinclong, ya.”
“Iya,” sahut yang lain, sambil pura-pura membersihkan meja. “Katanya sekarang dijemput mobil. Mobil hitam lagi.”
Mira mendengar itu.
Ia menoleh tajam. “Jaga mulut kalian.”
“Lah, kita cuma ngomong,” jawab seseorang sambil tertawa kecil. “Orang juga bebas beropini.”
Alya keluar dari ruang ganti tepat saat itu.
Percakapan langsung terputus.
Senyum-senyum canggung muncul. Sapaan terasa dipaksakan.
Alya menunduk, berjalan ke arah area bar. Tangannya mulai bekerja seperti biasa—menyeduh kopi, membersihkan gelas. Ia berusaha fokus, tapi bisikan-bisikan itu tetap menempel di telinganya.
“Dulu katanya kerja di bar malam, kan?”
“Sekarang tinggal di rumah orang kaya.”
“Ya jelaslah…”
Kalimat-kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung padanya. Tapi Alya sudah terlalu terbiasa mendengar hal yang tidak dimaksudkan untuk telinganya—namun selalu sampai.
Tangannya sedikit gemetar.
Mira mendekat, menepuk bahunya pelan. “Kalau mereka keterlaluan, bilang ke aku.”
Alya mengangguk kecil. “Aku nggak apa-apa.”
Lagi-lagi kalimat itu.
---
Di sekolah, keadaannya tidak jauh berbeda.
Awalnya hanya tatapan. Lalu bisik. Lalu tawa kecil yang tertahan.
Alya duduk di bangkunya, membuka buku, mencoba mengabaikan suara-suara di belakangnya.
“Eh, Alya,” suara seorang siswi memanggil, nada dibuat ramah tapi matanya tajam. “Kamu sekarang tinggal sama siapa, sih?”
Alya terdiam sejenak. “Sama… keluarga teman.”
“Oh,” sahut yang lain cepat. “Teman atau *teman*?”
Tawa kecil menyusul.
Ada yang berbisik, cukup keras untuk didengar.
“Dulu kerja di bar, sekarang jadi simpanan gadun.”
Kalimat itu seperti tamparan.
Dada Alya sesak. Napasnya tertahan. Jarinya mencengkeram buku sampai buku itu terlipat.
Ia tidak menjawab.
Ia tahu—sekali ia membuka mulut, air mata akan ikut keluar. Dan ia tidak mau memberi mereka itu.
Bel tanda pelajaran berbunyi, menyelamatkannya sesaat.
Namun bisikan itu tidak berhenti hari itu. Tidak juga keesokan harinya.
Setiap tawa yang terarah padanya membuat langkahnya semakin cepat. Setiap tatapan sinis membuat bahunya semakin menunduk.
Ia mulai pulang dengan kepala berat lagi.
---
Zavian menyadari perubahan itu lebih cepat dari yang Alya kira.
Cara Alya makan lebih sedikit. Cara ia diam lebih lama. Cara senyumnya kembali menjadi senyum tipis yang dipaksakan.
Malam itu, mereka makan malam dalam keheningan yang lebih berat dari biasanya.
“Kamu tidak nyaman di sekolah?” tanya Zavian akhirnya.
Alya tersentak kecil.
Ia menunduk. “Nggak… cuma capek.”
Zavian tidak langsung membantah. Ia menatap Alya lama, lalu berkata pelan tapi tegas, “Capek karena belajar tidak membuatmu gemetar seperti itu.”
Alya menggigit bibirnya.
Diam.
Beberapa detik berlalu.
“Ada yang bilang apa padamu?” tanya Zavian, suaranya tetap terkendali.
Alya menggeleng cepat. “Nggak penting.”
Zavian meletakkan sendoknya.
“Bagi saya, itu penting.”
Alya menatap meja. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menekan dadanya.
“Aku cuma…” suaranya pecah sedikit. “Aku cuma nggak mau bikin masalah.”
Zavian menghela napas pelan. Bukan marah. Bukan kesal.
Lelah.
“Kamu tidak melakukan apa pun yang salah,” katanya tegas. “Orang-orang suka menciptakan cerita karena mereka tidak mengerti, dan lebih mudah menghakimi daripada bertanya.”
Alya tersenyum kecil, pahit. “Aku sudah biasa.”
Kalimat itu membuat Zavian menegang.
“Biasanya bukan berarti seharusnya,” ujarnya dingin.
Ia berdiri. “Istirahatlah.”
Alya mengangguk dan berjalan ke kamarnya dengan langkah pelan.
Begitu pintu tertutup, Zavian mengambil ponselnya.
“Bayu,” katanya singkat saat panggilan tersambung.
“Iya, Boss.”
“Sekolah Alya. dan cafe. Saya ingin tahu siapa yang mulai bicara.”
Nada suaranya tenang—terlalu tenang.
“Dan pastikan… mereka belajar sopan.”
---
Di kamarnya, Alya duduk di tepi ranjang, memeluk lutut.
Kata-kata itu terus terngiang.
*Simpanan gadun.*
Ia menutup wajahnya dengan tangan.
Ia tidak tahu bahwa perhatian Zavian kini mulai terlihat dari luar. Tidak tahu bahwa kedekatan yang baginya terasa aman—bagi orang lain terlihat sebagai sesuatu yang kotor.
Yang Alya tahu, dunia kembali mengingatkannya pada satu hal lama:
Bahwa menjadi sedikit lebih bahagia pun bisa dihukum.
Dan di luar sana, bisikan-bisikan itu belum selesai.
Mereka baru saja dimulai.